Peka
Dari sekian banyaknya pria tampan yang ada di sekolah, kenapa Pamela malah terusik dengan playboy bernama Ace? Bukan sebuah rahasia umum, cowok itu mendekati banyak cewek di sekolah, dan gberakhir meninggalkan mereka. Pamela sama sekali tidak tertarik dengan alasan Ace. Namun tak bisa dipungkiri, belakangan ini nama Ace selalu berkeliaran di pikirannya.
Apakah Ace berniat menjadikan Pamela sebagai target selanjutnya? Tapi sedekat ini, Pamela belum merasakan apa yang sering orang lain bicarakan. Katanya, Ace selalu membuat lawan bicaranya terbawa perasaan karena ucapan-ucapan yang kepalang manis. Namun selama berinteraksi dengan Pamela, alih-alih banyak bicara, justru Ace lebih banyak bertindak.
Bohong jika Pamela tidak terusik sedikitpun dengan perlakuan-perlakuan Ace. Bagaimana mungkin Ace bisa sesantai itu sedang Pamela tidak bisa menahan semu merah yang tiba-tiba muncul di pipi. Jika diingat, Pamela sedikit malu dengan kejadian hari itu.
"Tapi lo semua ngerasa, nggak, sih. Si Ace mulai deketin Pamela sejak kejadian bola di lapangan upacara itu."
Pamela memang tidak pernah menceritakan kejadian sebelumnya. Namun tidak bisa dipungkiri, ucapan Dini memang ada benarnya. Sejak saat itu, sebagian besar hari-hari Pamela diisi dengan kehadiran Ace. Ace mendekati Pamela secara terang-terangan. Bahkan, mereka tidak lagi mendengar desas-desus kedekatan Ace dengan cewek lain di luar kelas sana. Apakah itu artinya, Ace sedang berusaha menjadikan Pamela satu-satunya?
Pamela menggeleng keras. Ia mengenyahkan segala kemungkinan yang melintas di pikiran. "Apa, sih, kalian. Inget, Ace itu playboy kelas kakap. Lo bertiga mau cemplungin gue ke sungainya si Ace?"
Citra terbahak. Kelakar Pamela terlalu lucu untuk didengar. "Manatau, sama lo Ace jadi tobat, Pam. Nggak jadi buaya lagi. 'Kan banyak, tuh, kasus playboy yang tobat setelah bertemu dengan cewek yang tepat," harapnya.
"Heh," Tiwi menginterupsi, "perpustakaan, bego. Suara kalian kenceng banget buat ukuran perpustakaan. Tahan dulu ghibahnya."
"Ghibah apaan, coba," Dini menyangkal. "Ghibah tu ngomongin orang yang lagi nggak sama kita. Ini si Pamela kan ikutan ngomong. Lagian, tumben banget. Biasanya lo paling semangat soal ngerumpi. Gue liat-liat hari ini lo nggak bersemangat juga, kenapa?" tanya Dini akhirnya.
Tiwi menghembuskan napas berat. Seharusnya, ia tak bereaksi berlebihan seperti ini. Karena kondisi yang saat ini bukan yang pertama kali ia alami.
Citra mendengus pelan. Ia melirik buku yang sebenarnya tidak ia baca dengan sungguh-sungguh lantas berkata, "Biasa, si Cepi punya pacar baru setelah sebulan jadi jomlo. Tiwi jaga jarak—lagi, buat jaga perasaan ceweknya Cepi yang sekarang."
Dinu berdecak, "Lagian, Wi, kalo ada perasaan, tuh, bilang. Semua orang aja bisa ngeuh kalo ada sesuatu di antara kalian berdua. Lo-nya nggak peka, sih, sama perasaan sendiri. Sekarang udah kali ke sekian si Cepi punya pacar, masa lo harus mundur lagi, sih. Jadi agresif dikit nggak papa kali."
Tiwi tertawa pelan. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. "Apa, sih. Orang gue sama Cepi nggak lebih dari sekedar temen. Yang kalian lihat itu beda sama yang sebenernya terjadi. Kita nggak ada apa-apa. Cuman karena rumah kita deketan makanya sering barengan, termasuk numpang di motornya dia pas pulang sekolah. Lagian, gue nggak kenapa-kenapa mau dia gonta-ganti cewek sekalipun. Toh, artinya gue cuma kehilangan tumpangan doang, 'kan?"
Citra menggeleng pasrah. Pamela, Tiwi ... dia dan juga Dini tidak heran kenapa sampai saat ini mereka masih saja sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top