Curahan Hati

Pamela menaikan nada bicara. Seperti biasa, Citra terlalu blak-blakan jika emosinya sedang di luar kendali. Pamela khawatir, Dini belum terbiasa dengan cara Citra memedulikan orang yang disayanginya. Pamela takut cewek itu tersinggung dengan apa yang dikatakan Citra.

"Gue ... gue sayang sama dia."

Citra berdecak. Demi apa pun, ia merasa alasan Dini tidak cukup logis untuk mempertahankan Justin. "Sayang doang nggak cukup, Din. Selama ini, apa lo ngerasa bahagia? Apa aja usaha Justin buat bahagiain lo sebagai pacarnya?"

Tiwi menghela napas berat. Sejujurnya, ia tak ingin Dini merasa tersudutkan seperti ini. Namun, ia juga paham mengapa Citra lagi-lagi berbuat seperti sekarang.

Dini menatap kosong susu kotak di atas meja. Perasaan itu kembali mencuat. Pikiran dan hatinya kerap kali bertengkar gaduh di dalam sana. Terlebih, ucapan teman-temannya menambah kadar kegelisahan pada dirinya.

"Sebenernya, yang gue ceritain tuh tentang jeleknya doang. Meski Justin sering goda-godain cewek, gatel, keliatan playboy ... di beberapa keadaan gue ngerasa disayang banget sama dia. Sama Justin, gue bisa jadi diri sendiri—yang mungkin sama kalian, kadang gue nggak bisa kayak gitu.

"Justin itu, rumah buat gue. Tiap harinya, gue jadi semangat buat pergi ke sekolah. Padahal dulu semenjak ada dia, buat bangun tidur aja gue harus dibangunin berkali-kali sama bibi. Banyak sisi positif yang belum gue ceritain ke kalian. Pada intinya, sedikit banyak Justin bisa ubah hidup gue yang terlalu monoton."

"Tapi, Din ...."

"Lo nggak tau rasanya kayak gimana, Cit. Karena gue sendiri yang alamin. Seberusaha apapun gue jelasin, kalian tetep nggak bakal bisa rasain. Iya, gue sering goyah karena kelakuan buruknya Justin. Tapi, gue selalu inget baiknya dia kayak gimana. Gue nggak mau kehilangan Justin ...," tutup Dini seraya menyeka air mata.

Ketiga temannya saling pandang. Hati mereka tiba-tiba luluh mendengar penuturan Dini. Baru kali ini cewek itu bercerita dengan tenang, tapi terlihat jelas sangat pilu.

Pamela menegakkan tubuh. Ia membuang napas berat sebelum menatap mata Dini dalam. "Bener, kita semua nggak tau perasaan lo kayak gimana. Meskipun kami ngerti, itu cuma berdasarkan sudut pandang kami sendiri.

"Gue nggak pernah mau ikut campur soal hubungan lo sama si Justin, right? Cuman, gue tetep punya rasa peduli buat sahabat-sahabat gue. Buat lo, buat Citra, buat Tiwi ....

"Karena cuma lo yang paham gimana perasaan lo yang sebenarnya, artinya emang cuma lo sendiri yang bisa pertimbangin semua ini. Apa lo ngerasa, sama si Justin itu lebih banyak bahagianya atau sebaliknya.

"Ucapan Citra nggak sepenuhnya salah, nggak juga sepenuhnya bener. Kami cuma pengin yang terbaik buat lo, Din. Kami peduli, dan sama kayak Justin ... kami sayang sama lo."

Citra dan Tiwi tersenyum menggoda. Mereka melirik Pamela serta Dini bergantian. Pamela, si penutup cerita yang tidak selalu tertebak kata-katanya.

"Intinya, kami tetep di sini kalo lo butuh tempat buat keluarin rasa capek. Asal, lo jangan kapok kalo lagi-lagi di goblok-goblokin sama si Citra. Kita temenan udah lama, jadi—"

"Jadi lo harus paham dan terbiasa dengan cara gue menunjukkan kasih sayang."

"Pfft." Dini menutup mulut menahan tawa. Manusia mana yang mengutarakan rasa sayang dengan raut jutek seperti Citra? Dini mengerucutkan bibir. Ia merasa sangat bersyukur karena memiliki mereka.

"Makasih banyak, yaa. Goblok-goblok gini, gue juga sayang, kok, sama kalian."

Begitu saja, sampai mereka berpelukan layaknya Teletubbies meski tak bertahan lama. Sebab Pamela si physical attack justru melepaskan diri mengusap bahu sebagai bentuk risih.

Namun, ketiganya malah menarik Pamela kembali ke pelukan. Mengabaikan protes yang melayang, ketiganya tertawa dengan binar bahagia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top