Canggung
Entah sudah berapa kali, Pamela mencuri pandang ke arah Kibo hanya untuk memastikan jika ia baik-baik saja. Namun, sepersekian detik setelah pandangan mereka bertubrukan, Kibo memutus tatap seolah enggan berpandangan.
Pamela berpikir ... apa yang salah? Ia rasa, semenjak permainan truth or dare pekan lalu, Kibo menjaga jarak darinya. Padahal sebelum itu, cowok gembul itu selalu mengintil untuk mengusili Pamela setiap harinya.
"Kenapa? Masih heran sama perubahan si Kibo? Gitu amat ngeliatinnya, ngerasa kehilangan, ya?" celetuk Tiwi yang sedari tadi memperhatikan.
"B aja," kilahnya.
"Kayaknya, ya, si Kibo ni baper karena lo confess kemarin. Makanya sekarang dia agak canggung harus bersikap kayak gimana," terka Tiwi sok tahu.
"Confess matamu," kesalnya. Pamela menyandarkan punggung sembari memandang Kibo dengan tatapan menerawang. Ia lanjut berkata, "Gara-gara kalian, sih. Gue jadi kehilangan mood booster gue di sini."
Tiwi menoyor bahu kiri Pamela. Ia tak rela disalahkan seperti ini. "Itu, 'kan, permainan. Lagian, lo sendiri yang milih dare. Kita mana tau konsekuensinya bakal kayak gini," bela Tiwi akhirnya.
Helaan napas berat Pamela keluarkan. Ia bingung harus bersikap seperti apa. Terlebih, Kibo ada di satu kelompok yang sama dengannya di pelajaran Sosiologi.
"Udah, sana. Bu Sri bilang sebelum beliau datang udah harus kumpul sama kelompok masing-masing," usir Tiwi.
Pamela berjalan lunglai menghampiri di mana teman satu kelompoknya berada. Dua meja sudah Fikri satukan agar enam anggota tersebut dapat duduk melingkar dengan leluasa.
Diskusi kelompok berjalan seperti yang Pamela kira. Kibo tak banyak bicara, Pamela sedikit terganggu karenanya.
"Oh, iya, Pam. Dasar interaksi sosial yang kemarin, udah lo pahamin? Gue mau denger," ujar Citra.
Pamela mengangguk sekali. "Hal yang mendasari adanya interaksi sosial itu, yang pertama ada faktor imitasi. Biasanya berkaitan dengan tindakan menyimpang, reaksi negatif, serta pelanggaran kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.
"Kedua, ada faktor sugesti, yang berlangsung karena adanya pandangan baru seperti sugesti atau saran. Yang ketiga ada faktor identifikasi, mengacu pada kecenderungan seseorang untuk meniru orang lain baik disengaja ataupun tidak.
"Terus terakhir, faktor simpati.
Faktor simpati ini lebih ke proses di mana seseorang tertarik dengan individu lainnya ...." Pamela mengambil jeda. Tatapannya terkunci pada netra Kibo di seberang meja.
"... dengan melibatkan perasaan," lanjutnya tepat sebelum Kibo mengalihkan pandang.
Sedikit banyak, Citra menyadari perubahan Kibo yang tak seperti biasanya. Cowok itu selalu ceria, kapan pun dan di mana pun. Namun, entah kenapa setiap ada Pamela, keceriaannya seolah terenggut. Citra rasa, Kibo jadi tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
Tentu saja, Citra juga menyadari jika dirinya menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi pada Kibo.
"Heh, Kibo."
Kibo menoleh seraya berdeham.
"Kok diem aja, lo lagi sariawan?"
Kibo melirik Pamela yang sedang memperhatikannya. Mendadak, Kibo diserang oleh perasaan aneh yang membuatnya bingung harus bersikap. Gelagatnya menjadi aneh, bukan seperti Kibo yang biasa orang-orang lihat.
"Gue ... gue mau ke toilet. Bentar, ya."
Akhirnya, tidak ada kalimat lain yang mampu terucap. Kibo memilih menghindar daripada menjadi pusat perhatian di antara kelompoknya, apalagi Pamela.
Kibo tak paham mengapa dirinya seperti ini. Pengakuan Pamela tempo hari, cukup mengganggu pikirannya belakangan ini. Ia menjadi lebih sering tidak fokus, pikirannya seolah dipenuhi oleh Pamela.
Cewek yang belum Kibo yakini, sudah mencuri hatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top