6
Satu tahun kemudian
Sidney keluar dari ruang prakteknya dengan menghembuskan nafas lega. Hari sudah malam, dan diluar hujan sangat deras. Dari ujung lorong dilihatnya dokter Arga setengah berlari menuju ruangannya.
"Sudah selesai Ne?" Tanya Arga
"Udah mas"
"Jadi pulang bareng kan?"
Sidney mengangguk sambil tersenyum. Segera mereka menyusuri lorong yang sudah sepi. Beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka memberi ucapan selamat malam. Yang dibalas dengan ramah oleh keduanya.
Arga membukakan pintu untuk Sidney sebelum akhirnya ia memasuki mobil dari sisi sebelah kanan.
"Gimana tadi pasiennya Ne?"
"Biasa mas, namanya juga anak anak semua. Lagi musim flu kayaknya. Rata rata itu aja keluhannya. Gimana OR tadi?"
"Biasa, setiap hari pasti ada aja kan orang yang harus dioperasi"
"Iya sih mas. Oh ya mas udah makan?"
"Makan malam belum, tapi tadi sempat makan roti sama minum teh buat ngganjel perut"
"Aku juga belum makan. Mampir dulu yuk mas di tempat biasa" yang dimaksud biasa oleh Sidney adalah tempat makan kaki lima yang menghidangkan Seafood dengan rasa luar biasa.
"Ok princess" ujar Arga.
Selesai makan, barulah mereka pulang. Arga mengantar Sidney sampai di rumah. Rasa letih membuat perempuan itu tidak menyadari kehadiran seseorang yang sejak tadi sudah menunggunya.
"Baru pulang Ne?" Tanya mama
"Iya ma, banyak pasien. Namanya musim hujan"
"Jangan terlalu capek, nanti malah kamu yang sakit"
"Nggak lah ma, aku seneng kok. Kalau masih ada orang berobat tandanya kan masih percaya sama aku?"
"Diantar dokter Arga?"
"Iya, aku nggak bawa mobil tadi. Nebeng sama Ceci. Mama kok belum tidur?"
"Mama mau ngomong sama kamu"
"Ngomong apa?"
"Richard mau melamar Ceci"
"Bagus dong ma. Udah empat tahun pacaran juga kan"
"Tapi kamu gimana?"
"Ya nggak apa apa. Aku baik baik aja kok. Mau menikah dimana mereka?"
"Di scotland negaranya Richard. Tapi nanti ada resepsi disini"
"Kapan lamarannya?"
"Rencana dua minggu lagi. Boleh mama undang tantemu Celia dan ommu Azka?"
"Ya terserah mama. Asal jangan si brengsek itu aja yang mama undang. Kalau dia datang aku yang bakal nggak datang" ujar Sidney ketus. Kemudian meninggalkan mamanya yang merasa bersalah.
***
Acara lamaran Ceci dan Richard berjalan lancar. Seluruh tamu yang diundang datang. Sudah diputuskan selain adat Jawa maka adat batak akan tetap dilaksanakan. Sidney terlihat cantik mengenakan kebaya berwarna ungu. Terlihat cocok dengan kulit putihnya. Sampai kemudian ada seorang sepupunya yang menyindir
"Kamu pakai warna ungu kayak warna janda aja Ne"
Mendengar itu, Sidney langsung sewot "lo nggak nyadar gue sebentar lagi memang janda"
Sepupunya langsung terdiam. Begitu juga Celia yang ada di dekatnya. Calon mantan mertuanya itu hanya bisa mengelus dada mendengar ucapan kasar Sidney. Ya, dia memang sudah berubah. Bukan Sidney yang dulu lagi. Bahkan pada Celia pun menantunya itu menunjukkan sikap bermusuhan. Walau di depan orang banyak ia terlihat menjaga sikap
Dan Celia menyadari kalau Bragy putranya sudah turut andil dalam merubah Sidney. Namun sebagai ibu Celia hanya bisa memberi saran. Bukan sebagai pengambil keputusan. Karena buat Celia keputusan Bragy yang mau mengakui anak kandungnya adalah perbuatan yang baik. Walau cucunya itu lahir diluar pernikahan.
Namun Sidney tetap tidak bisa menerima bahkan memutuskan hubungan dengan Bragy. Celia kadang sedih melihat hubungan mereka. Dan sahabatnya Luna pun tampak membela anaknya. Ya wajar, tapi tetap saja Celia kecewa. Seandainya Elang masih ada, mungkin tidak akan serumit ini. Elang lebih bijaksana dalam menyelesaikan hal hal yang sulit.
***
Bragy membanting surat permohonan cerai yang sudah ditanda tangani oleh Sidney. Ini sudah ketiga kali selama tahun ini. Surat itu diberikan oleh pengacara keluarga istrinya itu.
"Bilang sama Sidney, sampai kapanpun saya tidak akan pernah menceraikan dia"
"Tapi pak, anda tidak menandatangani pun, kali ini surat gugatan akan tetap dilayangkan oleh klien kami ke pengadilan"
"Bilang juga sama dia, tunggu saya mati. Setelah itu dia baru bebas dari saya. Saya akan mengatakan hal yang sama di pengadilan"
Ketika pengacara itu pergi, Bragy membanting gelas yang sedang di pegangnya hingga hancur. Sidney sangat keras kepala. Padahal Bragy dan keluarganya sudah berusaha menjelaskan bahwa ia tidak akan menikahi perempuan lain. Namun Sidney tetap tidak percaya.
Delia bukanlah alasan untuk sebuah perceraian bagi Bragy. Sampai kapanpun ia akan mempertahankan perkawinan mereka. Ia sudah pernah berjanji pada ayah mertuanya sebelum mereka menikah. Awalnya ayah mertuanya tidak menyetujui pernikahan mereka dengan alasan masih sama sama terlalu muda. Namun Bragy terus memohon. Ia sangat mencintai Sidney. Dan tidak ingin memiliki anak diluar nikah. Sampai akhirnya Elang mengijinkan mereka.
Bragy tidak akan mengambil kembali janjinya. Ia akan terus berusaha menjaga Sidney. Tapi istrinya juga sangat keras kepala. Dulu mereka berpisah karena Sidney tidak mau mendengarkannya. Bayangkan ia yang terbiasa menyetir dengan kecepatan tinggi tiba tiba disuruh berbalik hanya karena buah jamblang. Oke lah kalau demi memenuhi keinginan ibu hamil. Tapi akibat pemaksaan Sidney?
Belum lagi Sidney yang selalu memuji muji Arga di depannya. Suami mana yang suka mendengar itu walaupun katanya mereka hanya bersahabat. Sidney boleh marah, lalu ia tidak boleh? Sidney boleh berprasangka buruk terhada Delia. Lalu bagaimana dengan dia? Ia juga cemburu pada Arga.
Pada laki laki yang selalu mengantar dan menjemput istrinya setahun terakhir. Yang selalu menemani pada saat ada seminar seminar kesehatan. Pada saat ia harus bertanding. Tidakkah Sidney tahu kalau ia membutuhkan seorang istri?
Setahun ini ia sudah menahan diri. Hanya menemui matthew putranya seminggu sekali. Itupun hanya dua jam. Demi siapa coba. Demi Sidney yang cemburu buta pada Delia.
Ketika kecelakaan maut di sirkuit terjadi, dokter meragukan kemampuan Bragy untuk memiliki keturunan. Karena jumlah spermanya turun sampai dibawah normal. Ketika kemudian ternyata ia memiliki anak dari hasil perselingkuhannya. Oke dia salah. Tapi anak itu tetaplah anaknya. Matthew adalah seorang Wiratama. Dan sudah dibuktikan oleh hasil tes DNA.
Tidak sekalipun ia membiarkan Delia mendekatinya. Setiap pertemuan selalu saja didampingi oleh mamanya. Lalu kurang apa lagi? Apa ia harus mendepak anaknya sendiri? Itu gila namannya.
Bragy merasa sudah cukup sabar menghadapi Sidney yang kadang kekanakan. Bisa saja ia menyalahkan Sidney atas kehadiran Delia. Tapi tidak sekalipun ia melakukan itu. Atas kejadian kecelakaan yang menyebabkan bayi mereka meninggal, Bragy tetap mencoba untuk tidak menyalahkan Siapapun. Dan meletakkan semua beban itu dipundaknya. Padahal kecelakaan itu disebabkan pengendara motor yang remnya blong.
Kali ini ia akan menghadapi Sidney. Ok kemarin kemarin ia diam. Tapi sekarang tidak lagi. Kesabaran ada batasnya Sidney! Teriak Bragy dalam hati.
***
Sidney baru selesai berenang ketika melihat sosok Bragy muncul disisi kolam
"Ngapain kamu kesini?" Tanyanya ketus
"Memberikan uang belanja bulanan pada istriku"
"Aku nggak butuh, aku punya penghasilan sendiri" tolak Sidney ketus
"Aku sudah melakukannya dari sepuluh tahun lalu. Trus kenapa baru sekarang bilang kamu punya penghasilan?"
"Biasanya juga kamu transfer, jadi nggak perlu ngomong sama kamu. Lagian aku nggak pakai kok. Semua masih ada di rekening sampai sekarang"
"Terserah kamu, yang penting aku sudah melakukan tanggung jawabku" ucap Bragy sambil.meninggalkan Sidney
"Bagaimana dengan surat permohonan ceraiku" teriak Sidney sambil keluar dari kolam dan mengejar Bragy
"Doakan aja aku cepet mati. Biar kamu cepet jadi janda"
"Kamu error ya Gy lama lama?"
"Nggak ada laki laki yang nggak error menghadapi kamu Ne" kali ini Bragy tidak mampu menahan emosinya.
"Ada"
"Siapa? Arga? Si dokter gay itu?"
"Dia bukan Gay Gy! Jangan asal ngomong kamu"
"Kamu aja pemikirannya terlalu sempit sampai nggak bisa membedakan pria normal dan tidak normal"
"Kamu nggak usah ngejelek jelekin Arga deh"
"Mulai sekarang aku gak akan ngejelekin dia. Tapi aku yang akan mengambil alih semua tugasnya"
"Jangan ngaco Gy. Kita akan bercerai"
"Selama aku bernafas kita akan tetap bersama"
"Bragy tolong aku mau tenang"
"Jangan nggak sopan kamu sama suami, panggil nama tanpa embel embel mas"
"Mau kamu apa sih Gy?"
"Kita kembali bersama"
"Nggak akan selama ada Delia dan matthew"
Kemarahan Bragy semakin memuncak ketika Sidney membawa bawa nama putranya
"Jadi kamu maunya bagaimana? Aku lupakan Matthew? Ok! Aku ikutin mau kamu. Aku nggak akan menemui anakku lagi demi kamu. Dan sekarang juga sebagai imbalannya aku minta kamu tinggal sama aku. Bagaimana?"
"Aku nggak mau balik sama kamu apalagi harus tinggal serumah sama laki laki kayak kamu"
"Kalau begitu, aku yang akan pindah kemari. Sore nanti seluruh barang barangku akan aku bawa kemari. Siapkan kamar kamu supaya bisa menampung dua orang"
"Nggak akan pernah, aku nggak mau hidup sama tukang selingkuh. Yang selalu membuang spermanya dimana mana" balas Sidney.
Bragy mengepalkan kedua tangannya. Penghinaan Sidney sudah diluar batas. Tidak peduli pada mama mertuanya yang sudah berada di dekat mereka. Ia mendekati Sidney.
"Cukup Ne atas semua penghinaan kamu. Ternyata aku salah menilai kamu selama ini. Ternyata aku salah memberikan cintaku buat kamu sepanjang hidupku. Sekarang aku tanya sama kamu. Apa yang harus aku lakukan"
"Ceraikan aku, dan kembalilah pada Delia. Besarkan anak kalian bersama sama. Biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri"
"Kamu yakin cuma itu permintaan kamu?"
Bragy memandang tajam pada Sidney. Sementara rahangnya terlihat mengeras. Untung ada mama Luna yang segera memeluk putrinya.
"Ya, aku nggak nuntut apa apa lagi"
"Baik, demi kebahagiaan kamu. Aku akan menceraikan kamu. Dan akan menikahi Delia secara sah. Aku juga akan membesarkan Matthew dan memberikan rumah yang nyaman untuknya serta sebuah keluarga yang lengkap.
Karena sia sia aku mengejar kamu Ne. Aku memang nggak pernah ada dihati kamu. Jadi kali ini aku akan mengabulkan semua keinginan kamu. Biar aku yang akan menggugat. Kamu duduk santai saja di rumah"
Selesai mengatakan itu Bragy meninggalkan rumah mertuanya. Tanpa menoleh kebelakang. Ia masih mendengar teriakan Luna memanggil Nama Sidney. Ia mendengar suara orang panik. Tapi Bragy sudah tidak mau tahu lagi. Ia sudah sampai pada puncak kelelahan menghadapi seorang Sidney. Lebih baik sekarang ia mengaku kalah dan memulai kembali hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top