20

Bragy melihat langsung Matt terjatuh dari lantai dua dengan mata kepalanya sendiri. Tampaknya tadi Delia menarik putranya dan  tidak ingin menahan putranya. Namun terlalu keras sehingga Matt kehilangan keseimbangan.  Bragy berlari mengejar putranya yang akhirnya terguling ditangga dan  membentur lantai. Semua orang diruangan itu hanya terpaku karena kaget.

***

Hari ketiga Matt belum juga tersadar. Bragy menemaninya disela sela jam kantor. Ia tidak pernah kemari disaat harus pulang ke rumah. Tidak ingin membuat keributan baru dengan Sidney. Sampai sekarang istrinya itu tidak tahu kejadian yang menimpa Matt. Hanya Bragy dan mbaknya Chacha. Bahkan orang tuanya pun tidak diberitahu. Bragy sudah lelah, ketika semua orang menimpakan kesalahan padanya dan putranya. Apalagi jika menyangkutkan semua dengan dosa masa lalu.

Ia lebih memilih menjalani semua sendiri. Dia memberitahukan Charlotte karena tahu kalau mbaknya itu adalah orang yang mampu bersikap netral. Siang itu disela kesibukannya rapat dengan seorang rekan bisnis disebuah restoran. Bragy kembali mampir ke rumah sakit.

Memasuki ruangan Matt, ia hanya bisa tertunduk lesu. Menggenggam tangan mungil itu dengan erat seolah ingin berbagi kekuatan. Rasa bersalah menyesakkan rongga dadanya. Putra sulung itu terjatuh dihadapannya. Delia ingin menarik Matt dan memelukny. Delia tidak ingin anaknya pergi. Tapi kecelakaan itu terjadi begitu saja. Matt ketakutan, berusaha menghindar dan akhirnya terpeleset.

Saat ini Delia tidak tahu apa yang ia inginkan. Saat melihat Matt terjatuh ia histerus, dan akhirny harus dirawat di sebuah klinik sekarang. Perempuan itu semakin tidak terkendali. Kehilangan maminya menambah luka yang selama ini ada. Delia tidak mampu lagi menanggung semuanya.

Apa yang akan dipikirkan Matt kalau tahu bundanya seperti mayat hidup? Apa Matt juga tidak tambah terluka kalau tahu Bragy juga tidak bisa menolongnya? Kemarin ia sudah senang ketika mbaknya Chacha bersedia menampung Matt. Tapi sekarang mbaknya harus mengikuti sang kakak ipar yang bekerja di Thailand. Dan tidak mungkin Matt dibawa.

Bragy kembali menatap wajah pucat itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Atau dia akan membawa putranya ke apartemennya saja. Menyewa seorang pengasuh untuk menemani Matt? Tapi putranya sedang masa pertumbuhan. Tidak mungkin tumbuh tanpa didikan.

Bragy sudah sangat lelah. Saat ini hubungannya dengan Sidney sudah pulih. Buah dari kesabaran dan kekerasan hatinya untuk meraih istri dan putrinya. Tapi Matt lah yang harus menjadi korban. Tidak mungkin Bragy bisa mengejar keduanya.

Syarat dari Sidney kemarin sudah sangat jelas. Ia tidak mau ada bayang bayang dari masa lalu Bragy mengganggu. Tapi saat itu, Matt masih berada dalam pengasuhan eyangnya. Sehingga Bragy bisa sedikit lebih tenang. Ia tahu mami Delia sangat menyayangi cucu tunggalnya. Sementara untuk mamanya Bragy memang tidak mengijinkan Matt dekat dengan mereka karena harus menjaga perasaan Sidney.

Tapi saat ini Bragy merasa sesak. Ia seperti makan buah simalakama. Salah satu harus menjadi korban. Dan kali inipun korbannya tetaplah Matt. Anak yang tidak bersalah namun selalu disalahkan. Semua orang menganggap kehadirannya sebagai pembawa sial. Tapi tidak untuk Bragy.

Ia menyayangi putranya, tidak ada alasan membenci Matt. Ia anak yang manis, penurut dan selalu mampu membuat seorang Bragy bangga karena prestasinya.

Maafkan papa, maafkan papa. Bisiknya berulang ulang.

***

Matt tersadar keesokan harinya. Ia tersenyum pada tante Chacha disampingnya. Tantenya segera memeluknya erat.

"Matt udah bangun?" Tanyanya sambil tersenyum.

Matt mengangguk lemah.

"Papa?"

"Papa masih dikantor, sebentar lagi pasti datang. Matt mau minum?"

Matt hanya mengangguk pelan. Tante Chacha bukan orang baru baginya. Tapi ia tahu tidak boleh bersikap tidak sopan. Karena itu bisa membuat orang lain makin tidak menyukainya.

Matt kecil bukan tidak tahu kalau eyang sudah tidak ada, hidupnya akan terlantar. Dulu eyangnya pernah bilang, ia harus jadi anak baik dan mandiri. Karena kalau eyang sudah meninggal, bisa saja ia akan diasuh orang lain atau bahkan tinggal dipanti asuhan.

Sekarang eyang sudah tidak ada, berarti kemungkinan itu semakin membesar. Tapi tampaknya ia akan memilih untuk tinggal dipanti asuhan. Disana semua orang tidak punya orang tua. Sehingga tidak akan ada yang mengejeknya. Hidupnya akan lebih tenang karena tidak lagi bertemu dengan orang yang menatapnya tidak suka.

Dulu sekali, ia pernah berharap akan tinggal dengan papanya. Tapi sekarang tidak lagi karena ada aunty Sidney dan Kay. Ia sudah ditolak dan tak akan pernah diterima dalam keluarga besar papanya. Tentu saja tante Chacha adalah pengecualian. Tantenya itu selalu baik dan ramah padanya. Bahkan sering membelikan mainan. Tapi seperti kata eyang, ia tidak boleh ngelunjak. Ia harus tahu diri dan tidak berharap terlalu tinggi untuk diterima.


Sidney pov

Mas Gy pulang dari kantor sudah hampir larut malam. Ia terlihat lelah dan tersenyum padaku. Seperti biasa ia mengecup keningku sebelum masuk ke rumah.

"Mas mau mandi dulu" ucapnya tanpa kutanya.

Aku tahu kebenaran yang disembunyikannya. Matthew ada di rumah sakit. Aku tahu itu dari mbak Chacha. Tapi kali ini  aku ingin suamiku berbagi. Ini sudah minggu kedua tapi mas Gy sepertinya tetap ingin menyimpan sendiri. Ia tidak pernah berkata apapun tentang Matt. Hanya saja pulang kerja selalu lebih larut dari biasanya.

Ma Gy langsung memasuki kamar mandi seperti biasa. Aku menyiapkan pakaian rumahnya dan meletakkan di tempat tidur. Kemudian aku bertanya

"Mas mau makan atau minum juice aja?"

"Juice aja Ne" jawabnya dari dalam. Segera aku meninggalkan kamar menuju dapur.

Selesai semua, aku kembali ke kamar. Namun mas Gy tidak ada disana. Aku tahu dimana ia berada. Mendekati kamar kerjanya, aku mendengar suara suamiku sedang berbicara di telepon

"Mbak udah cek tempatnya? Apa aman untuk anak anak?"

.....

"Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin mbak. Tadi aku sudah bicara dengan Matt dan dia setuju. Aku sudah bilang aku akan sering mengunjunginya disana"

.....

"Aku rasa ini yang terbaik mbak. Aku juga nggak tega. Tapi mau gimana lagi? Sikap Sidney sudah jelas, ia menolaknya. Aku capek ribut terus seumur hidup. Kalau memang Matt yang harus dikorbankan ya sudah. Tapi aku akan tetap berusaha menjadi ayah yang baik untuknya. Aku akan sering mengunjunginya"

.....

"Matt tidak mungkin lagi tinggal bersama Delia. Mengurus dirinya sendiri pun sekarang Delia tidak mampu. Apalagi mengurus Matt. Sudahlah, ini yang terbaik. Lagi pula tempatnya nggak jauh mbak. Nanti seminggu dua atau tiga kali aku akan curi waktu kesana. Mbak tenang saja nggak usah merasa bersalah"

Selesai mengucapkan itu tidak ada suara apapun lagi. Aku mengintip sedikit dan melihat suamiku sedang memijat keningnya. Ia tampak sangat letih.

Aku mengurungkan niat untuk masuk. Sambil duduk di sofa aku berpikir, sudah benarkah aku? Dulu aku memang membenci Matt. Karena ia membuat mas Gy berbagi perhatian denganku. Tapi pantaskah aku cemburu padanya sekarang? Sementara aku tahu ia tidak ada bedanya dengan anak yatim piatu.

Mendengar pembicaraan mas Gy tadi, tampaknya Matt akan diserahkan ke panti asuhan. Apakah aku tidak berdosa kalau membiarkan itu? Selama ini mas Gy sudah banyak mengalah demi kebersamaan kami. Seandainya hal itu terjadi pada Kay, pasti sangat menyakitkan. Menyadari sudah terlalu lama termenung, akhirnya aku kembali bersiap siap untuk mengantarkan juice pesanan suamiku.

Pagi itu aku ke rumah sakit setelah mengantar Kay sekolah. Dengan mudah aku menemukan ruangan Matt. Anak itu dijaga seorang suster. Ia terlihat kaget dan takut saat melihatku.

"Aunty... " panggilnya pelan.

Aku mendekatinya, ia terlihat lebih kurus dan pucat. Begitu aku berdiri disampingnya ia menunduk seperti orang bersalah. Perlahan kulihat airmatanya jatuh.

"Apa kabar?" Tanyaku sambil berusaha menahan air mataku yang entah kenapa tiba tiba datang.

Dia diam, dan terus menunduk. Aku memberi kode pada suster yang menjaganya. Aku ingin privasi kali ini.

Kupandangi tubuh kurus itu. Tidak tampak keceriaan khas anak anak disana. Ia terlalu dewasa untuk anak yang berusia enam tahun. Baik itu sikap, perilaku maupun tutur bahasanya. Terlihat jelas ia mengalami tekanan.

Namun satu yang bisa kurasakan, ia sangat tegar. Tidak ada kemarahan atau kebencian dimatanya untukku. Dan entah kenapa aku merasa ia sedang sedih. Apa dia sudah tahu bahwa papanya akan membawanya ke panti asuhan sekeluar dari sini?

Tiba tiba kulihat ia gelisah.

"Kamu kenapa?" Tanyaku lagi.

Matanya masih berkaca saat menatapku.

"Apa aunty masih marah sama aku?"

Aku menatap mata polosnya. Bagaimana bisa anak berusia segini  mampu melihat rasa tidak suka orang lain terhadapnya?

"Aunty nggak marah, karena itu aunty datang untuk membesuk kamu"

Kulihat seulas senyum menghias wajahnya.

Kembali kupandangi wajahnya yang sudah tertunduk. Ini pertama kali aku bisa menatapnya dengan intens. Wajah mas Gy terlihat jelas disana. Hanya kulitnya   sedikit sawo matang entah menurun dari siapa. Sementara mas Gy putih. Rambutnya hitam dan tebal tampaknya sudah harus dipotong. Sebagian menutupi telinganya.

Tak lama kudengar ia terbatuk.

"Kamu mau minum?" Tanyaku

Ia menggeleng dan kembali tertunduk. Tiba tiba ada rasa kasihan yang terselip dihatiku. Anak sekecil ini harus menanggung kesalahan yang dibuat oleh orang tuanya. Melihatnya terus menunduk akhirnya aku ingin pamit pulang. Aku tahu tidak ada lagi yang bisa kulakukan disini.

Dari yang kudengar tadi malam. Tidak akan ada  yang akan  merawat Matt dengan baik. Itu alasan singkat yang kudengar dari pembicaraan mas Gy dengan mbak Chacha. Aku berusaha menepis rasa dendamku. Akhirnya aku merasa harus mengatakan sesuatu agar Matt tidak salah paham dengan kedatanganku. Aku bukan ingin memarahinya.

"Aunty hanya ingin membesuk kamu. Nggak boleh?"

Akhirnya ia menganguk. Tangan mungil itu meremas selimutnya. "Boleh" jawabnya dengan sedikit senyum.

Aku duduk disisi ranjang, Matt tetap tidak berani menatapku. Apakah aku sedang berperan sebagai ibu tiri yang jahat? Pikirku.

"Bagian mana Matt yang masih  sakit?" Tanyaku akhirnya. Setelah mengucapkan itu aku menyesal. Itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah kuucapkan.

"Kepala sama kaki aunty"

Aku membelai tangannya, ia tampak terkejut dan menatapku tidak percaya. Namun kembali tertunduk. Sama sekali tidak ada rasa percaya diri dalam dirinya.

Merasa bahwa aku tidak bisa melakukan apapun lagj. Akhirnya aku bangkit berdiri dan pamit pulang. Ia kembali mengulurkan tangannya dan menyalamiku. Tidak lupa meletakkan punggung tanganku di keningnya. Mungkin ini adalah ajaran eyangnya. Anak ini ternyata dididik dengan cukup.baik.  Meski berat akhirnya aku keluar juga dari ruangan itu.

***

Malam ini mas Gy pulang dalam keadaan berantakan. Aku tahu, hari ini ia mengantar Matt ke panti asuhan tersebut. Tanpa berkata apa apa ia masuk ke rumah. Kemudian mendekam di kamar mandi sampai hampir satu jam. Keluar dari sana ia langsung menjatuhkan tubuh di kasur. Tampak seperti orang yang punya beban berat.

Aku mengelus rambutnya. Ia menahan tanganku. Dan membawa keceruk lehernya.

"Mas" panggilku.

"Ya sayang"

"Bisa kita bicara?

"Tentang?"

"Matt"



06 des 2018

Happy reading. Maaf untuk typo dan kata kata yang tidak nyambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top