|tom yum goong|

Putih pada papan tulis telah dikotori oleh jajaran angka dan simbol-simbol yang tidak jelas. Buram, tampaknya seperti semut berbaris dengan potongan gula di pundak mereka. Kris mendengkus, memangku dagu dan memutar bola matanya malas. Jarum jam seakan melambat 5x lipat saat bertemu matematika.

Mau sampai kapan Khru Padee mengocehkan rumus-rumus itu? batinnya seraya menguap.

Kris pun melipat dua lembar jawaban yang teronggok di samping buku bahasa Thailand. Kertas yang penuh coretan tinta merah itu ia jadikan kipas sebab pendingin ruangan Matthayom 5-1 tidak bekerja dengan baik. Mungkin sudah nasib. Duduk di pojok kiri paling belakang kadang membuatnya tidak mendapat jatah.

"Ok, sekarang tulis soal-soal ini, yang pertama …."

"Shia euy!"

Anak itu mengumpat lirih saat guru matematikanya mulai mendikte soal. Ia lantas memanyunkan bibir, menirukan mimik lelaki berkepala botak itu penuh penghayatan. Sungguh, apa gunanya papan selebar 3/4 kelas, jika ia harus menulis soal lewat seruan Khru Padee?

Namun, bukannya mencatat pertanyaan tersebut, Kris justru membungkuk dan merogoh laci tanpa melihat. Ia meraba-raba hingga menyentuh benda kotak nan pipih yang ia sembunyikan di bawah tas hitam.

"Dapat!"

Perlahan, Kris mengeluarkan ponselnya lalu membuka kunci tanpa sandi. Ia lekas mencari fitur kamera dan dengan lihai mencuri tiga buah jepretan wajahnya sendiri. Tanpa ekspresi, ia hanya menekan tombol di tengah sambil sesekali melirik ke depan, berjaga-jaga kalau sang guru menatap ke arahnya.

"Aku bosan, ingin makan tom yum goong," ucapnya sambil mengetik di bawah foto, lalu mengunggah ke instastory.

(Na beua, yak kin tom yum goong)

Baru beberapa detik, Kris sudah salah tingkah. Pipinya seperti kepiting yang baru direbus--merah dan segar. Ia tidak berhenti tersenyum saat melihat puluhan akun telah melihat statusnya.

"Krittinai Yoovidhya!"

Tubuh yang tersentak itu refleks menyembunyikan ponsel ke dalam laci. "Krab?"

"Apa yang kamu lakukan?"

Kris celingak-celinguk lalu memamerkan deretan gigi putihnya. "Bukan apa-apa, Khru."

"Jangan main di kelas. Cepat catat soalnya."

Anak itu segera mengangguk dan meraih pulpen hitamnya. Tentu, ia tidak menulis apa pun. Kris hanya berlagak memainkan benda tersebut. Tangan kirinya lebih memilih mengambil ponsel dan membuka Instagram kembali.

"Kris! Ai'Kris!"

"Arai?"

"Letakkan ponselmu. Kalau kena marah lagi, kamu bisa mati!"

"Biarkan saja. Aku terlalu tampan. Malaikat gak akan tega mencabut nyawaku."

Kris mengangkat alis dan menjulurkan lidah pada Pan, sahabatnya sejak masuk Rajavinit Matthayom School. Ia sudah terbiasa mendengar teguran anak berkacamata bulat dengan rambut superklimis itu. Sayang, bukan Kris namanya jika langsung mengiakan omongan Pan.

Terlahir dengan wajah pemberian surga--begitulah orang menyebutnya--membuat Kris tidak ragu untuk berbagi. Setiap hari, jam, menit, bahkan detik, ia akan menggunggah fotonya di Instagram, entah lewat postingan feed maupun instastory. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, ia tidak pernah absen menyapa pengikut yang tidak lebih dari enam ribu tersebut. Meski begitu, Kris tetap menyebut dirinya sebagai selebgram tampan dari Krung Thep.

"Selebgram pong!" ejek Pan saat keduanya tengah mengantre makan siang.

Setelah mentas dari mimpi buruk Khru Padee, mereka lekas bergegas ke kantin untuk mengisi perut. Siapa cepat, dia yang dapat, begitulah moto makanan enak di tempat ini. Terlambat beberapa menit saja akan membuat jatah lauk mereka berkali lipat lebih mini dari yang lain.

"Kamu saja yang mengantre. Kutunggu di sana."

"Gak makan?"

"Malas. Ambil saja jatahku kalau mau."

Kris segera duduk di tempat yang lumayan sepi. Seperti biasa, ia langsung mengeluarkan ponsel dan stand seukuran telapak tangan. Apa lagi? Tentu Instagram-lah tujuannya. Sambil menunggu Pan, ia pun melakukan live streaming.

Anak itu merapikan rambut menggunakan sela-sela jari. Hari ini, belah kanan menjadi pilihannya. Tak lupa Kris juga menambah volume dengan minyak rambut hasil endorsement.

"Sawatdee khab," ucapnya manis sambil memberi wai. Ia terus tersenyum saat satu per satu pengikutnya muncul dan menyapa tanpa henti.

"Kamu sedang apa, Kris? Oh, aku sedang menunggu teman. Dia antre makan siang. Kalian sudah makan?"

Kris membaca komentar-komentar tersebut dengan telaten. Ia semakin antusias saat mereka bertanya 'mengapa ia tidak mengantre seperti kawannya'.

"Aku gak nafsu makan. Menu hari ini kurang membuatku berselera," jawabnya seraya mengangguk.

Kris sedikit mendongak saat Pan membawa sepiring nasi plus lauk pauk yang menumpuk. Anak itu lekas duduk tepat di sebelahnya.

"Aku ingin makan tom yum goong, apa kalian ada rekomendasi?"

Pan mendengkus sebelum melahap makan siangnya. Ia semakin geleng-geleng saat berbagai komentar random muncul di siaran langsung sahabatnya. Kata-kata seperti tampan, manis, imut dan boyfriend material selalu muncul, meski Kris tengah membahas hal lain.

"Kob khun khab, nanti aku akan ke sana dan mencobanya. Tunggu reviunya, ya. Akan ku-posting secepatnya. Bye-bye na ja."

Senyum yang membuat mata Kris menjadi segaris itu membuat Pan mual. Ia lantas berlagak memuntahkan makanannya sambil mendelik jijik.

"Bye-bye na ja," tirunya meledek, "nasiku menangis melihat tampangmu tadi."

"Kenapa? Dia menangis karena aku terlalu tampan atau karena banyak orang yang mengagumi ketampananku?"

"Hah …." Pan mengembuskan napas panjang seraya menggeleng. Ia tak lagi menjawab apa pun.

"Temani aku nanti sore, ya."

"Apa? Gak ada. Tugas matematika sebanyak itu. Aku harus mencicilnya."

Bibir Kris mengerucut saat mendengar jawaban Pan. "Ayolah, aku ingin makan tom yum."

"Beli saja di Bibi Em lalu dibungkus. Kayak biasanya, Kris. Jangan banyak tingkah."

"Tapi ini sekalian reviu buat konten Instagram, Pan."

"Konten apa? Pengikut baru segitu saja sok-sokan. Sudahlah, Kris. Kalau gak ada tugas baru ke sana."

Kris semakin cemberut. Topik jumlah pengikut terlalu sensitif di telinganya. Memang kenapa kalau sedikit? Itu tidak mengurangi kadar kecintaannya pada Instagram.

"Kali ini saja, Pan. Aku belum pernah ke daerah situ. Tersesat berdua kan lebih baik daripada sendirian. Aku mau makan tom yum goong di tempat ini. Na …, Pan."

Menyerah, Pan pun mengangguk. Ia tidak akan betah dengan rengekan Kris yang 11/12 seperti ponakannya di rumah.

"Yeay, terima kasih, Pan yang gantengnya gak lebih dari Kris."

"Hah …, hanya demi Instagram kamu mau repot-repot memelas padaku seperti itu," ujar Pan heran.

"Pastinya. Aku harus memberi makan pengikutku dengan wajah lo dan narak ini."

Tangan Pan terangkat untuk menutup telinga. Kalau mulut Kris mulai membanggakan dirinya sendiri, ia akan terus mengoceh sampai bel masuk berbunyi. Terbiasa mendengarnya tidak lantas membuat Pan baik-baik saja. Malah, ia sampai bergidik karena terus-menerus mendengar kalimat yang sama.

Sepulang sekolah, Kris benar-benar menyerat Pan ke tempat yang direkomendasikan pengikutnya. Kedua anak itu cukup asing dengan nama jalan yang tertera karena belum pernah menginjak tempat tersebut. Alhasil, Kris hanya mengikuti ke mana pun google maps menuntunnya.

Setelah sepuluh menit berjalan dari halte, mereka berhasil menemukan kedai khusus tom yum tersebut. Kris lantas menarik tangan Pan untuk segera masuk dan memesan makanan.

Bangunan baru dengan nuansa cokelat klasik pedesaan itu belum ramai. Mungkin sekitar setengah jam lagi, mengingat waktu pulang kerja masih kurang sekian. Kris pun memilih tempat yang memiliki pencahayaan yang bagus agar bisa mengambil gambar dengan baik.

"Kamu mau makan apa?" tawarnya pada Pan setelah mendapat buku menu.

"Sama saja denganmu."

"Baiklah."

Kris segera memesan dan mempersilakan pelayan berbaju hitam-putih itu untuk pergi. Antusiasnya memuncak saat lampu oranye di sekitar tiang menyala. Tanpa basa-basi, ia mengeluarkan ponsel dan segera mengambil fotonya sendiri.

"Pan, ayo sini. Kita selfie."

"Nanti saja, aku mau ke kamar mandi dulu."

"Oh, oke."

Ponsel keluaran lama yang masih bagus itu tak henti mengeluarkan suara jepretan. Kris berkali-kali mengganti angle wajahnya hingga mendapat kepuasan. Setelah mendapatkan hasil terbaik, ia pun mengunggahnya ke instastory.

"Permisi, Kak. Ini pesanannya."

Fokus Kris terpecah saat bau kuah tom yum menusuk hidung. "Terima kasih."

Mata Kris terbelalak saat melihat mangkuk berisi udang dan jamur dengan taburan daun ketumbar dan dedaunan lainnya. Kuah oranye dari nam phrik pao yang mengepulkan asap seketika membuatnya menelan ludah. Anak itu bahkan tanpa sadar menggigit bibir, terpikat dengan visual kuah panas dan asam tersebut.

"Foto dulu, ah," ucapnya seraya berdiri.

Kris mengangkat ponselnya tepat di atas sup yang teramat menggoda itu. Ia memotretnya mulai dari potrait hingga landscape. Sesekali Kris juga membenahi tatanan sendok dan pelengkap lain agar tom yum goong tersebut kian nikmat dipandang.

"Wah, sudah datang," seru Pan dari samping.

Laki-laki itu berlari ketika mencium aroma pedas yang menarik. Pandangan Pan fokus pada makanan yang diidamkan oleh Kris sampai ia tidak menyadari batu sebesar kepalan tangan ada di depannya. Sontak, ia pun tersandung dan menabrak punggung Kris.

"Hei!"

Kris berseru saat ponselnya terlepas dari genggaman dan masuk ke kuah tom yum. Begitu pula dengan Pan yang berusaha mengambil benda itu, tetapi tak kunjung berhasil saking panasnya. Sahabat karib itu lantas kompak melongo sebab benda pipih kesayangan Kris berenang di kuah yang asam dan pedas siap santap. Seketika Kris mengepalkan tangan dan menatap Pan tajam.

"Ai'Pan!!"

DAY 1
4 APRIL 2021

'footnote
Matthayom: sistem pendidikan sekolah menengah di Thailand; Matthayom 1-3 setara SMP, sedangkan Matthayom 4-6 setara SMA
Khru: guru
Arai: apa
Shia: umpatan seperti sial
Krung Thep: Bangkok
Pong: umpatan seperti bullshit
Wai: salam dari Thailand dengan menyatukan kedua tangan
Kob khun: terima kasih
Lo: ganteng
Narak: imut
Nam phrik pao: pasta cabai Thailand

Ini cerita (novel) pertamaku yang berlatar Thai. Semoga suka ♡


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top