|khanom krok|

Tangan yang kuat menggenggam ponsel tampak gemetaran. Kalau saja sedang sendiri, ia pasti telah menepuk mulut berkali-kali. Bisa-bisanya mengucap sesuatu tanpa berpikir dulu. Alhasil, semua mata kini memandang dengan alis bertaut. Tampang ketiganya seolah ingin melahap Kris bulat-bulat.

"Maksudmu apa, Kris?"

"Kamu mau membeli ponsel itu dibanding ponsel baru?"

Ditanya demikian, Kris tak berkutik. Dulu saja ia menggebu-gebu dengan barang anyar sampai mengemis pada orang tuanya. Sekarang? Mulut yang suka memuja diri itu malah mau membeli barang yang belum rilis, meski telah selesai dibuat sejak lama.

Apa boleh buat? Kris tidak ingin kehilangan kemampuannya. Ia tidak mau berpisah dengan black box. Sungguh, tidak ada ponsel yang memiliki fitur seperti ini. Ia telah mencoba ponsel lain, mulai dari milik Pan dan beberapa teman kelasnya. Namun, nihil. Keajaiban ponsel ini hanya satu dan hanya Kris-lah yang boleh menggunakannya.

"Thammai? Kamera dan kapasitas ruang ponsel ini bagus, kok. Lagi pula nanti pasti bakal dirilis, jadi setidaknya aku jadi orang pertama yang punya. Iya, 'kan?"

Kris tersenyum akan jawabannya sendiri. Setelah bergeming memikirkan alibi yang cukup masuk akal untuk meyakinkan semua orang, di sinilah ia--berbangga dengan jawaban super-narsistik seperti biasa. Anak itu pun meminum segelas cola yang belum diberi es batu.

"Benar juga."

"Terus gimana, Pan? Kamu jual?"

Pertanyaan Ming membuat Kris dan anak-anak lain sontak menoleh, menatap lelaki yang sibuk mengunyah nasi ikannya. Mereka hanya bertukar kedip dan saling tunggu. Terlebih Kris. Ia hanya menelan ludah saat Pan menopang dagu dan beralih memandangnya dengan seringai aneh.

"Habiskan makananmu, Kris. Setelah ini kita ke tempat servis, sekalian pulang. Sudah gelap. PR dari Khru Bank belum kukerjakan."

Hah, lelah menanti dengan degup tak keruan, ternyata belum ada jawaban yang diberikan. Kris lantas mendengkus saat mendengar kalimat itu. Ia menepuk jidat dan menggeleng tanpa henti, sedangkan Pan hanya tertawa.

"Shia, Pan. Tinggal jawab apa susahnya," kesal Kris sambil mengetuk piring menggunakan garpu.

"Ai'sat, sabarlah! Aku harus tanya dulu ke Ayah. Gak usah menekuk wajah begitu."

Ming dan gengnya ikut terkikik saat menyadari kebenaran ucapan Pan. Muka Kris saat ini memang tak jauh berbeda dari gadis SMP yang baru saja menstruasi. Bibir tipis yang mengerucut itu membuat pipinya naik dan membentuk dua buah bakpao. Siapa pun yang melihatnya pasti tergelak.

"Maeng, lanjutkan saja tawa kalian."

Kris menjulurkan lidah lalu segera membuka Instagram. Ia kemudian membuat instastory tanpa background. Hanya latar hitam polos bertulis 'seru, bukan?' dengan emoji '😐' sebagai representasi kekesalannya.

(Sa nook mai? 😐)

Jadi orang tampan memang berat. Imut sedikit ditertawakan. Susah, 'kan? Kris tidak berhenti memikirkan kalimat ini. Apalagi kawan-kawannya masih saja melayangkan candaan. Ia pun bersandar pada kursi lalu menyilangkan kedua tangan.

"Setelah ini aku gak akan mentraktir kalian lagi."

}{

Pan berjalan sambil mengunyah jajanan penutup yang ia beli di pinggir jalan. Bukan, lebih tepatnya ia yang memalak Kris untuk membelikannya. Berbagai serabi mini dengan toping daun bawang yang gurih dan labu yang manis telah habis ia santap.

Sejak dari mal, teman sekamarnya itu belum mau bersuara. Bahkan untuk mampir ke tempat servis saja tidak jadi mereka lakukan. Kris hanya beralasan malas dan belum mau mengeluarkan uang lagi. Ya, awalnya Pan iya-iya saja. Namun, saat anak itu mau menjajakan khanom krok yang memang tak seberapa mahal ini, Pan jadi berpikir dua kali.

Terlebih gelagat Kris makin tidak-tidak saja. Sedetik pun ia enggan melepaskan ponsel dari genggaman. Bahkan Pan tak dibiarkan untuk mengintip respons pengikutnya setelah mem-posting instastory ala-ala dark dan meresahkan.

Saking diamnya, anak itu bahkan membuka pintu tanpa merengek. Sontak Pan mengernyit dan memiringkan kepala bingung. Setan mana yang memasuki tubuh sahabatnya ini?

"Ada apa, Kris?" tanyanya tidak tahan.

Namun, sosok yang menatap lantai dengan kosong itu hanya menggeleng dan nyelonong ke kamar mandi. Pan pun menelan ludah lalu duduk di ranjang kasurnya.

Apakah jenis kecanduan Instagram sekarang sudah kian beragam? Mengapa kala berganti hari Kris semakin menjadi-jadi? Sekarang, ponsel baru itu sudah seperti kekasihnya.

"Hantu mana yang membuatmu ngoh seperti ini, Kris?"

"Please, Pan, jual saja ponsel ini untukku. Ya? Ya? Kumohon."

Anak yang sudah mentas itu tergopoh-gopoh memeluk kaki Pan lalu terus meminta. Ia bahkan menitikkan air mata dan membasahi lutut Pan. Kris terus merengek dengan suara parau.

"Ai'Kris, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!"

"Mai! Sampai kamu mau menjual ponsel itu padaku."

"Thammai wah? Sebentar lagi ponselmu sudah selesai diperbaiki. Atau kalau kurang puas, kamu bisa membeli ponsel baru yang lebih bagus."

"Kan aku sudah bilang, aku mau jadi orang pertama yang memiliki ponsel ini, Pan."

"Tapi--"

"Kumohon …."

Ok, ini tidak beres, batin Pan. Seaneh-anehnya Kris, ia tidak mungkin menjatuhkan harga diri untuk mengemis padanya. Kalaupun iya, mengapa tidak sedari dulu saja ia melakukannya?

Pan bisa saja mengiakan. Toh, ia tidak membutuhkan ponsel tersebut. Akan tetapi, apakah kegilaan Kris akan berhenti begitu saja ketika ia memberi lampu hijau? Entah mengapa, otak Pan justru mengatakan yang sebaliknya.

Namun, apa yang bisa ia lakukan? Pan menggigit bibir sambil menggaruk kepala. Dunia Kris terlalu asing untuknya. Ia tidak bisa berpikir jauh.

"Kumohon, Pan. Aku akan melakukan apa pun asal kamu gak mengambil ponsel ini lagi. Berapa pun yang ayahmu minta juga akan kukasih, kok."

Tangis Kris semakin menjijikkan. Pan tak berhenti bergidik dan berusaha melepaskan diri. Sayang, dekapan anak itu sungguh kuat sampai kakinya tak dapat bergerak.

"Jangan kekanak-kanakan seperti ini, Kris."

"Bodo amat! Aku gak peduli. Aku gak mau kehilangan ponsel ini. Aku gak mau kehilangan interaksi dengan pengikutku, Pan."

Nan ngeh, Instagram lagi alasannya. Pan sontak menepuk jidat dan mendengkus. Apa yang harus ia lakukan agar anak gila ini kembali waras?

"Oke, kalau begitu."

"Hah?"

Kris seketika bangkit dengan gigi yang berjajar rapi. Sorot matanya berbinar penuh harapan. Pan memutar bola matanya sebelum menepuk pundak Kris beberapa kali.

"Aku akan izin ke Ayah untuk memberikan ponsel itu padamu, tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa?" Kris mengerutkan kening.

Pan tak segera menjawab. Ia masih memikirkan hal apa yang bisa membuat Kris kesulitan. Anak berkacamata bulat itu pun memejamkan mata, berharap mendapat wangsit dalam hitungan detik.

"Ok," ucap Pan yakin dengan seringai tipis, "kamu harus mendekati selebgram sekolah sebelah dan memacarinya. Kuberi waktu selama sebulan."

"Hah? Selebgram mana? Siapa?"

"Dao."

DAY 7
10 April 2021

'footnote
Thammai: kenapa
Nan ngeh: nah kan

Masih dalam mode unmood 😐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top