|hanami|
Mulut yang menganga masih sibuk meraup oksigen, menggantikan tugas hidung yang disumbat dua lembar tisu. Bercak merah yang menodai benda itu sudah memperjelas apa yang terjadi. Namun, Kris tetap abai dan memperhatikan black box pada postingan terbaru Dao.
Entah kemasukan setan dari mana, bisa-bisanya seorang Pan yang menatap perempuan saja tidak berani, memilih menantangnya dengan cara ini. Apakah bath sudah tidak menarik lagi di matanya? Betapa baiknya ia membuat Kris repot-repot mengejar gadis seperti sekarang.
Ditawar dengan tantangan lain pun, Pan tidak mau mundur. Iming-iming belajar mandiri tanpa memaksanya membocorkan pekerjaan rumah juga tidak mempan. Segala hal telah Kris lakukan. Namun, tidak ada yang menembus pertahanan anak itu.
Alhasil, mau tidak mau Kris harus mengiakan. Ia pun memikirkan segala cara untuk dapat bertegur sapa, lalu berlanjut ke jenjang yang lebih menjanjikan--memiliki ponsel super-fantastis secara permanen. Salah satunya dengan berkutat pada akun gadis yang Pan minta--Dao.
Meski begitu, tangan kanannya tetap lancar meraba bungkus snack hanami. Kerupuk udang yang sedari siang mengganjal perutnya itu kian terkikis. Maklum, setelah berjam-jam berlalu, Kris belum beranjak dari ranjangnya. Seratus kali pun Pan berteriak untuk menyerah saja, ia tetap bodo amat.
"Sial, kenapa gak ada yang menarik?"
Setelah mengumpat, anak itu lekas mengaduh, melempar ponselnya ke kasur lalu menjambak rambut kuat-kuat. Kepalanya tiba-tiba berdenyut tak keruan. Semakin lama ia berkutat di Instagram, semakin nano-nano pula yang ia rasakan.
"Nyerah, Kris?"
"Mai!"
Dunia belum berakhir. Masih banyak jalan ninja yang bisa ditempuh. Anak itu kembali menggeleng dan membaca satu per satu komentar yang muncul. Namun, tidak ada yang berubah. Hanya pujian yang tertera di kolom maupun kotak hitam yang ada di atasnya.
Kris menggerutu lalu melempar tisu bekas mimisannya ke bawah. Ia sengaja mengotori lantai agar Pan kerepotan. Batinnya masih kesal dengan tantangan konyol yang diberikan padanya kemarin sore.
Mengencani seorang gadis? Tentu urusan kecil, apalagi untuk lelaki berwajah tampan layaknya pemberian surga seperti Kris. Baginya, hal ini tidak lebih sulit dari mengocok telur dan menggorengnya tanpa cela.
Sayang, gadis yang terpilih untuk dijadikan ajang taruhan itu tergolong tinggi dan susah diraih. Terhitung sudah lima kali Kris mengirim pesan, tetapi belum ada hasil. Mulai dari 'hai' sampai berkenalan model apa pun telah ia lalukan. Namun, hilal balasan tidak kunjung tampak.
Alhasil, Kris memanfaatkan waktu untuk mencari tahu kesukaan Dao lewat black box yang muncul di foto yang diunggah sejam lalu. Libur sekolah ia habiskan hanya untuk mencari cara dalam mendekati primadona sekolah sebelah tersebut.
"Sudah, Kris. Kembalikan saja ponsel itu. Ngejar cewek seperti ini bukan style-mu banget."
Kris berdecak. "Diam, Pan!"
Semakin berkunang-kunang, anak yang kian pucat itu lekas menyingkirkan ponsel dari pandangan lalu mengusap wajah. Ia pun berbaring dengan mata tertutup rapat, mencoba menenangkan diri sebelum berperang lagi.
Namun, saat terpejam pun, manis senyum Dao masih memenuhi benaknya. Kris tak berhenti mengagumi rambut cokelat terang sepanjang siku yang lurus itu. Ukuran tubuh gadis tersebut terlihat minimalis, cocok dengan tinggi yang terlihat kurang-lebih setara bahu Kris.
Jadi ini selera Pan? batinnya sambil menyeringai. Syukurlah, sahabat yang menurutnya kelewat nerd masih punya selera. Mendekati Dao agaknya lumayan pantas sebagai pengganti ponsel ajaib itu.
Mulai membaik, Kris meraih ponselnya dan membuka Instagram. "Belum dibalas juga, Pan. Enaknya gimana, ya?"
Anak yang sibuk mengerjakan tugas harian itu mendongak, menatap Kris yang telentang memandangi langit-langit. "Ya udah, gak usah dilanjutin."
"Oy, itu bukan solusi."
"Lagian tanya aku juga percuma, Kris. Aku gak paham duniamu."
Kris menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Terus nanya siapa?"
"Ya, siapa gitu yang lebih paham. Followers-mu mungkin."
"Hei', benar juga."
Secepat kilat, Kris kembali duduk dengan kaki bersila. Ia pun mengambil foto dinding di sampingnya secara asal. Kemudian kedua jempol segera mengetikkan satu kalimat pendek pada fitur 'question' pada instastory.
'Apa yang kalian lakukan saat mendekati seseorang?'
Anak itu menekan layar bertulis 'kirim' lalu menunggu sambil menggigit jari. Ia beralih menopang dagu saat puluhan akun yang melihat statusnya belum ada yang menjawab pertanyaan. Lagi-lagi Kris merebahkan diri tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
Mengiriminya pesan.
Itu pun kalau berani.
Berbicara dengannya, datang ke rumah, ngajak jalan dan lain-lain.
Ekspektasi.
Diam saja. Aku tim mengagumi dari jauh.
Benar begitu, 'kan? Mentalku jauh lebih rendah dari anak ayam.
Kris menelan ludah. Tidak ada yang memuaskan. Mengirim pesan? Ia sudah berani melakukannya, tetapi masih zonk. Datang ke rumah atau main ke suatu tempat? Bagaimana bisa? Salamnya saja tidak disambut.
"Hah …." Kris menepuk jidat.
Memberi perhatian lebih, seperti mengantarnya ke sekolah atau ke mana pun itu.
Terlebih kalau motor yang dipakai model nyentrik, pasti cewek pada klepek-klepek.
Apa lagi ini? Mengantar ke sekolah? Ia bahkan belum pernah berbicara langsung. Eh, tetapi tunggu …. Kening Kris berkerut seolah otaknya mulai berputar.
"Bentar, ke sekolah, ya?"
"Hah?" seru Pan yang samar-samar mendengarnya.
Kalau pesan tidak balas dan tidak ada kontak lain yang bisa dihubungi, mengapa tidak menemuinya langsung? Iya, 'kan?
Kris mulai membatin sambil cengar-cengir. Ia sudah menemukan solusi yang terbaik.
"Ai'Pan?"
"Wa?"
"Kamu tahu sekolah Dao, 'kan?"
"Ya, tahulah. Gak jauh, kok, dari sekolah kita. Kamu saja yang belum pernah cuci mata di sana, Kris. Gadis sekolahnya cantik-cantik, loh. Kalau kamu … eh, diao," Pan berhenti berbicara lalu menoleh ke arah Kris yang menatapnya, "kenapa tanya?"
Senyum lebar pun Kris sajikan saat kacamata bulat Pan merosot. "Pas istirahat makan siang aantarkan aku ke sana, ya."
"Hah?"
"Na? Kumohon. Kamu tahu sendiri aku mudah tersesat, Pan."
"Buat apa kamu ke sana, Kris?"
"Menemui Dao."
"Kenapa gak pas pulang sekolah saja?"
Kris mengerucutkan bibir. "Takutnya nanti dia sudah pulang."
"Gila. Kamu sudah gila!" Alis Pan bertaut dan ia pun menggeleng cepat--kurang habis pikir menghadapi permintaan sahabatnya. Lama kelamaan ia mendengkus, menyesali tantangan yang terucap.
Percakapan itu berhenti tanpa tawar menawar. Seperti biasa, Kris tidak mau ditolak, terlebih oleh Pan. Anak tersebut tak lagi merespons dan kembali berbaring. Terserah apa yang Pan katakan, yang terpenting anak itu mau menemaninya ke sekolah khusus putri, yang rumornya memiliki banyak bunga segar.
Mulai besok, misinya akan berjalan--mengejar Dao agar dapat menggenggam ponsel itu selamanya. Hanya dengan membayangkan, Kris sudah merem-melek kesenangan.
"Tunggu tanggal mainnya, Dao."
DAY 8
11 April 2021
'footnote
Wa: apa
Diao: sebentar
Ini dia--Dao
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top