|end|

Pening yang menyapa saat pertama kali membuka mata masih terasa, meski telah membiasakan diri dengan cahaya pagi hari. Sosok yang masih berkedip dan mengedarkan pandanga itu tampak mencari separuh nyawanya. Namun, yang ia lihat hanya hamparan putih, mulai dari dinding hingga langit-langit.

Kris lantas menyentuh kepalanya yang kembali berat. Ia sedikit terkejut melihat jarum infus tertancap di tangan kirinya. Ah, ini di rumah sakit, gumam anak itu setelah sadar akan keberadaannya saat ini.

Perban yang melilit kening pun Kris raba perlahan. Setelahnya ia menyentuh wajah, lalu ke kedua lengan hingga tubuh bagian bawah sebisanya--memastikan tidak ada luka lain yang melukai ketampanannya. Syukurlah, ia baik-baik saja. Setidaknya tidak begitu buruk.

"Di mana ponselku?"

Meski lemas, Kris mencoba duduk lalu bersandar pada dinding. Sekujur tubuhnya terasa nyeri bagai ditusuk-tusuk akupuntur. Ia menelan ludah sebab kering dan serak melanda tenggorokannya.

Anak itu mencoba menggapai nakas. Namun, hanya ada sepiring makan pagi dan segelas air putih. Ia lantas bergeser mendekat, berusaha membuka laci satu per satu. Kris terus melakukannya, tak peduli dengan selang infus yang tertarik dan membuat pergelangannya terluka.

"Kamu sedang apa, Kris?"

Terpanggil, ia pun menoleh ke sumber suara. Senyum Kris lekas mengembang saat mendapati sahabatnyalah yang bergegas masuk dan meletakkan tas transparan berisi pakaian di atas sofa.

"Kamu nyari apa? Biar kubantu. Kamu belum boleh banyak gerak dulu." Pan menuntun Kris untuk kembali berbaring.

"Terima kasih."

"Er."

Pan menata selimut Kris lalu kembali ke barang yang ia bawa dari asrama. Anak itu mengeluarkan satu per satu helai baju dan menatanya di laci nakas bagian bawah. Kemudian ia menarik kursi dan duduk di samping anak yang terdiam--masih menunggu dan menceritakan semuanya.

"Ayah dan ibumu semalaman menunggu di sini. Tapi karena harus bekerja, mereka memintaku menemanimu sekarang. Lagi pula keadaanmu gak ada yang perlu dikhawatirkan."

Kris mengangguk. "Makasih, ya."

"Mai ben rai."

"Em … Pan …."

"Iya?"

"Ponselku di mana?"

Pan mendengkus. Ia sudah menduga Kris akan mempertanyakan benda tersebut setelah sedetik membuka mata. Anak itu kembali beranjak menuju tas yang menggantung pada kapstok. Sebuah kantung plastik berisi separuh nyawa yang Kris cari-cari pun dikeluarkan.

"Nih." Pan menyerahkannya lalu duduk menyilang kaki.

Kris segera membuka dan mengeluarkan ponsel yang telah berubah bentuk. Layarnya tergores dan pelindungnya pecah. Bahkan, tidak bisa dinyalakan. Ia lekas memukul-mukul benda tersebut, berharap tombol on/off-nya segera berfungsi dan ia bisa melihat dunia.

Anak itu mulai gusar. Ia meringis dan merintih, lelah dengan aksi berulang yang tak membuahkan hasil. Kris beralih membanting ponsel itu di atas kasur. Ia terus-menerus melakukannya hingga layar tersebut mulai menyala. Namun, yang ada hanya kedipan warna-warni selama sepuluh detik sebelum kembali gelap gulita.

"Sudah, Kris. Cukup." Pan menahan tangan sahabatnya dan merampas ponsel yang tak lagi bernyawa itu.

"Gak bisa, Pan. Gak bisa. Aku gak bisa hidup tanpa ponsel itu."

Pan melempar benda yang dimaksud lalu menepuk bahu Kris kuat-kuat. Ia mencengkeram dan mengarahkan sosok itu tepat di hadapannya. Mereka pun saling tatap cukup lama.

Untuk kali kedua, Pan menjumpai sorot keputusasaan dari mata Kris. Ia mengusap wajah sebelum kembali menekan pundak Kris. Hari ini adalah waktunya. Semua harus berakhir.

"Cukup, Kris. Ponsel itu sudah gak bisa dipakai. Kamu bisa pakai ponsel lamamu atau beli yang baru. Aku akan meminta Ayah untuk menyarankan model terkini untukmu."

"Tapi Pan, a-aku gak bisa hidup tanpanya."

"Kris--"

"Terus gimana caranya aku tahu perasaan tersembunyi semua pengikutku?" Kris mulai menangis, "aku gak akan bisa memuaskan keinginan mereka, Pan. Tanpa ponsel itu, gak ada lagi Kris si serbatahu."

Pan mengerutkan kening. Sungguh, benaknya dipenuhi tanya. Namun, ia tak lantas mengutarakan itu semua sebab Kris masih sibuk menggerutu. Ia paham, selamanya kehilangan akan menjadi pengalaman yang menyakitkan.

"Ja yen yen. Tanpa atau dengan ponsel itu, kamu tetaplah Kris yang kita kenal. Gak ada yang berubah."

Kris sontak mendorong tubuh Pan. "Kamu gak tahu apa-apa!"

"Memang … karena kamu gak pernah cerita apa pun, Kris."

Sosok yang tiga perempat tubuhnya terasa lemas itu lekas bersandar dan menatap lantai kosong. Kris belum bisa mempercayai keadaan. Setelah menghabiskan waktu dan mendapat banyak bantuan dari ponsel tersebut, ia harus menerima kenyataan pahit ini.

"Karierku sudah berakhir."

"Gak akan," Pan menggeleng cepat, "kamu tetap bisa melanjutkannya, Kris. Ingat, sebelum mendapat ponsel itu pun kamu sudah memulai semuanya. Apa yang kamu takutkan?"

Kris bergeming. Ia memang memulai, tetapi ia tidak mengangkat namanya seorang diri. Sekarang, siapa yang akan membantu menemukan konten yang akan membesarkan akunnya Hah, sontak ia mencengkeram selimut lalu memukul kasur berkali-kali.

"Dunia gak berhenti hanya karena ini, Kris."

"Tapi dunia Instagram-ku yang berhenti, Pan."

Percakapan itu berhenti. Pan hanya mengembuskan napas panjang. Sekeras apa pun ia mencoba memahami Kris, otaknya tak akan sanggup mencerna. Ia lantas berdiri, menepuk pundak Kris untuk terakhir kali sebelum berjalan ke tas yang sama.

Anak itu mengeluarkan ponsel lama Kris dan menyerahkannya ke sang empunya. "Kamu masih punya ini. Aku panggil dokter dulu untuk memeriksamu."

Tak segera diambil, Pan lantas meletakkan benda tersebut di atas nakas. Ia segera keluar ruangan dan meninggalkan Kris untuk berdiam menenangkan diri.

Fokus yang semula tak acuh itu lekas beralih ke arah jendela. Kris terus menatap ponsel yang semula menemani kesehariannya sebelum berenang di kuah tom yum. Ia pun mengambil dan menyalakan dayanya.

Setelah aktif, Kris segera membuka kamera dan mengambil foto wajahnya yang jauh dari kata baik, lalu membuat instastory. Selesai, ia segera menutup ponsel dan berbaring, menarik selimut hingga setinggi dada. Matanya terpejam dan kembali menyelami mimpi, berharap di dalam sana ia bisa bertemu dengan separuh nyawa yang meninggalkannya.

Ini Kris. Aku sedang sakit sehingga gak bisa membuat konten apa pun. Mungkin setelah ini aku akan menghilang sampai waktu yang gak bisa ditentukan. Terima kasih atas semua dukungan yang kalian berikan. Selamat tinggal, Instagram.

Dunia ini tidaklah menyenangkan tanpa black box. Kris bukanlah Kris lagi jika tidak bisa membaca batin pengikutnya. Sosoknya dapat terganti dan kekecewaan tiada henti akan bermunculan. Hal-hal negatif itu memenuhi pikiran hingga enyah pun menjadi pilihan.

DAY 20
23 April 2021

Khob khun ka, udah nemenin cerita di luar zona nyamanku ini.

I luv you 3M 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top