"Elsi, bangun! Ayo, kita keluar!"
Gadis itu menggeliat kecil dan mengusap mata. Tak kunjung bangun, aku mengguncang tubuhnya sekuat mungkin.
"Ayo, Elsi!"
"Ada apa, sih?"
Kutangkup kedua pipinya ketika dia terduduk. Matanya masih sedikit merah dan rambut panjangnya kusut. Wajah putih bersih itu sangat mirip denganku, tapi hanya dia yang bisa merawat keindahan diri. Sedangkan aku setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah dan bekerja keras mencari uang di kota besar.
"Ini malam tahun baru, ayo kita buat api unggun! Tadi siang aku membeli beberapa sosis, ayo kita bakar!"
Sebelah alisnya terangkat, sedetik kemudian dia semringah. "Malam tahun baru! Kenapa tidak membangunkanku sejak tadi! Ayo, nanti kita ketinggalan!"
Enak sekali dia bicara, padahal sudah kuguncang tubuhnya selama dua jam sambil berteriak. Sudah seperti itu, aku ditinggalkan pula. Dia bahkan tidak merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu. Menghela napas, aku beranjak tanpa merapikan kekacauan di kamar itu. Biar saja, kali ini dia harus membersihkan tempatnya sendiri.
Dengan langkah kaki yang sengaja dihentak kuat, aku pergi ke halaman belakang. Di sana, Elsi sudah duduk diam di atas bongkahan kayu besar, menatap langit.
"Alsi, ayo cepat nyalakan api unggun dan bakar sosisnya!"
Tanpa menyahut sedikit pun, aku kembali ke dalam rumah, lebih tepatnya di dapur untuk mengambil beberapa gelondong kayu bakar. Sekitar tiga sampai empat kali aku bolak-balik dari dapur ke halaman belakang. Sedangkan Elsi masih bergeming di tempat, bahkan tak berniat menawarkan bantuan sama sekali. Padahal dia melihat tubuhku penuh dengan peluh serta lecet karena beberapa kali terjatuh.
Bruk!
Kulempar dua kayu terakhir ke dalam lubang di tanah. Kemudian, aku jatuh terduduk karena seluruh tubuhku sudah lemas. Nafasku menjadi tidak beraturan, angin malam yang dingin membuat dadaku terasa sesak.
"Alsi, apa sosisnya sudah ma—astaga, kenapa kau duduk di sana?"
"Aku lelah…" lirihku.
Tanpa menunggunya bicara lagi, aku langsung bangkit dan berjalan cepat mengambil sosis. Sebelum membuka bungkusannya, kupandangi tiga buah sosis besar yang—akhirnya—bisa terbeli setelah menabung berbulan-bulan. Dibandingin itu, kenapa aku tidak membeli sekilo daging saja, ya? Biarlah, aku ingin makan enak sesekali, karena biasanya hanya ada satu potong roti keras untuk satu hari.
"Alsi, nyalakan apinya!"
Menghela nafas berat, kuambil korek di saku piyama. Dengan cepat, api melahap kayu bakar begitu sebatang korek api kulempar ke sana. Dalam satu menit, kobaran apinya sudah menyaingi tinggi tubuh Elsi yang sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Api terbesar yang pernah aku buat. Kenapa aku membuatnya jadi sebesar itu, ya?
"Alsi, sosisnya!"
Kembali menghela nafas, aku kembali ke dalam. Dengan sisa tenaga, semua sosis itu aku tusukkan bambu runcing kecil. Setalahnya, ku bawa lagi ke halaman belakang. Elsi berdiri di dekat api unggun sambil menjulurkan tangan. Kalau tidak hati-hati, dia bisa terbakar. Apa harus kuperingatkan?
"Biarkan saja," lirihku.
Dengan langkah lebar aku menghampirinya dan meletakkan nampan berisi sate sosis di tanah. "Ini Elsi, ambil dan bakarlah!"
Elsi membakar sosis sambil bersenandung kecil. Angin malam menerpa rambut pirangnya. Cahaya rembulan dan kembang api terpantul di wajahnya. Dia sangat cantik. Tubuh ramping, suara merdu, dan baju bagus yang dia pakai. Semua keindahan itu dia dapatkan dengan uang yang kuberikan. Pada dasarnya dia sangat bodoh dan malas. Kenapa hanya aku yang bekerja keras selama ini?
Bertahun-tahun yang lalu, ayah meninggal ketika sedang bekerja. Tak lama setelahnya, ibu pergi meninggalkan kami di rumah kayu tua ini. Waktu itu Elsi berusia tujuh tahun, sedangkan aku masih balita. Sebenarnya, alasan aku bekerja karena setelah kepergian ayah dan ibu, Elsi jatuh sakit. Mau tidak mau, aku yang harus bekerja di kota, menuruni bukit dan menyeberangi sungai setiap hari. Hanya supaya kebutuhan hidupku dan Elsi terpenuhi.
Namun, melihat dirinya sekarang sangatlah bersinar, sepertinya hanya kebutuhan dia saja yang terpenuhi. Padahal dulu aku sangat mirip dengannya—selain tinggi badan. Sekarang, tubuhku sangat kotor dan bau, pakaian usang dan sobek, rambut kasar dan rontok. Sangat berbanding terbalik dengan Elsi. Setiap hari aku selalu memastikan bahwa dia dapat makan tiga hari sekali dengan cukup, sementara aku sering kelaparan. Selagi aku mempertaruhkan nyawa seorang diri untuk mendapatkan satu koin emas, dia enak-enakan tidur tanpa melakukan pekerjaan rumah. Lama-kelamaan… aku menjadi muak.
Menghela nafas, aku berpikir untuk mengambil satu tusuk sosis dan mengarahkannya ke api unggun. Perutku sangat lapar karena belum mengkonsumsi apapun sejak kemarin malam. Aku harus cepat membakarnya.
"Alsi, apa yang ka—Ah!"
Tersentak, aku menoleh ke kanan-kiri, tapi tidak menemukan Elsi di manapun. Aneh, padahal sejak tadi dia ada di sampingku. Kemana Elsi pergi? Hingga, ketika melihat ke bawah—
"Astaga, Elsi!"
—Elsi terjatuh ke lubang yang penuh kobaran api. Apa yang terjadi? Apa aku tidak sengaja mendorongnya? Kapan? Tidak, sekarang bukan waktunya memikirkan itu, aku harus menyelamatkannya karena gadis itu sudah berteriak melengking. Kalau dibiarkan, Elsi bisa mati… Tunggu, Elsi bisa mati? Elsi mati… Elsi mati!
"Ah! Tolong! Alsi!"
Berkali-kali Elsi berteriak sambil menggeliat seperti ulat yang terbakar. Suaranya memekakkan telinga, tapi tubuhku bergeming. Rasanya seluruh energi di tubuhku seperti menghilang. Sementara itu, terlihat jelas di hadapanku bagaimana tubuh Elsi semakin lama semakin gosong. Bau angus yang aneh sangat menyengat, tapi sekali lagi tubuhku tetap bergeming. Suara Elsi teredam oleh meriahnya kembang api di langit.
Biasanya, aku akan mendengak sampai leherku sakit. Namun, sekarang seluruh atensiku hanya tercurah pada api unggun. Tempat Elsi meregang nyawa…
"Alsi… Tolong… Panas…"
Itu adalah kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Elsi. Pada akhirnya, aku sama sekali tidak menyelamatkan Elsi dari kematian. Api unggun itu tetap menyala dengan tubuh Elsi di dalamnya. Dan aku masih memperhatikannya tanpa bergerak sedikitpun.
"Elsi…"
Sekarang, sudah tidak ada suara lagi selain percikan api. Benar-benar hening… Bagaimana nasib Elsi? Apa yang terjadi padanya? Apa dia sudah meninggal? Kalau Elsi meninggal, bukankah seharusnya aku menangis? Namun, kenapa aku sangat ingin tertawa? Rasanya seperti ada kupu-kupu di dadaku yang ingin diledakkan keluar. Aku… kenapa?
Brukk…
Lututku mendarat di tanah. Energi di kakiku benar-benar sudah tidak mampu menopang berat tubuh. Sambil menatap langit, aku tertawa keras dengan air mata bercucuran.
Akhirnya, Elsi tiada. Dengan begitu, aku tidak perlu tinggal di rumah jelek ini lagi. Aku tidak perlu menetap di hutan ini lagi. Seperti impianku, aku bisa ke kota dan hidup sebagai orang kaya di sana yang menjalankan bisnis. Aku juga bisa mengubah penampilanku menjadi secantik Elsi.
Setelah beberapa jam berlalu, kini api itu sudah padam. Meninggalkan sisa abu dan tubuh Elsi yang sudah hitam. Dia… benar-benar hangus. Kemudian, entah kekuatan dari mana, tubuhku bangkit dan mengambil sekop. Dengan sangat hati-hati, kutimbun Elsi dengan tanah serapat mungkin.
"Aku tidak sengaja mendorongnya ke dalam api, ini bukan salahku… Kenapa pula dia sama sekali tak membantu meringankan pekerjaanku?"
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top