Kesumat
Tampak cerah wajah Imas. Tak henti pula tembang lawas disenandungkannya. Lama sudah dia menantikan saat ini. Meski hanya bunyi kletek dari jagung yang dibakar dan dentum yang mengantar bunga-bunga api di langit menemani malam akhir tahunnya, semringah tidak akan luntur.
***
Selepas menyajikan kopi, Imas tak lantas beranjak. Diajaknya bokong menindih sisi sofa sebelah Cokro. Dilirik suaminya itu. Pandangnya bukan pada ponsel yang tengah dimainkan, penampilan Cokrolah yang dia perhatikan. Tak terhitung sudah berapa kali Cokro seperti ini. Selepas isya bukannya memakai kaos oblong dan sarung, lelaki itu bakal mengenakan setelan bagus. Terkadang kemeja dengan celana bahan. Tidak jarang kaos lengan panjang yang dipadukan celana jin. Bahkan pernah memakai jas resmi. Rambut Cokro ditata apik, dibuat klimis memakai gel. Parfum yang disemprot pun bisa terendus dari pintu depan. Acap kali ditanya, “Tugas kamu itu cuma ngurus rumah! Bukan ngurusin urusan saya!” ketus suara Cokro membuat mulut Imas semakin bungkam.
Memang biasa Imas ditinggal. Namun, malam ini berbeda. Dia ingin mencoba minta ditemani. Maka, dikikislah jarak di antara mereka hingga bahu keduanya nyaris bersentuhan. Tatap Imas tertancap pada jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Hela dan embus napasnya sudah pasti didengar Cokro. Namun, lelaki itu tak menoleh, masih sibuk dengan ponselnya.
“Mas.” Bergetar suara Imas. Bertahun-tahun, hanya memanggil Cokro butuh keberanian lebih. “Ini malam tahun baru berdua terakhir kita. Masih ada jagung dan—”
Ucapan Imas terhenti karena dengusan Cokro. Lelaki itu tak lantas bersuara. Diseruputnya terlebih dahulu kopi yang tersaji. “Jangan macam-macam! Tidur sana. Saya ada urusan! Jangan lupa, lusa pagi kita ke KUA.” Cokro kembali meneguk kopi. Tidak diberi barang sedetik pun matanya melihat Imas.
Imas manut. Tidak ingin dia menuntut. Raganya masih kelewat sakit. Bekas dari benda yang dilempar Cokro tidak hanya meninggalkan retak di ujung atas kaca rias di kamar mereka, denyut nyeri di sekujur tubuh Imas pun masih terasa. Wanita itu tak lantas merebahkan tubuh. Duduk dia menghadap cermin. Meja rias ini dia dan Cokro pilih bersama sebagai barang seserahan. Terbuat dari jati asli dengan ukiran di sisi cermin. Harap mereka tersimpan agar kelak rumah tangga yang dibina bisa seawet kayu jati.
Imas tersenyum disertai meringis. Jantungnya berdegup cepat. Bibirnya bergetar dan isak terdengar. Terlampau pahit yang diberi Cokro. Padahal dulu suaminya itu tidak begini. Cokro yang dia kenal tidak hanya membawa buah tangan ketika menyambangi rumahnya, santun pun Cokro tunjukkan. Lembut suara serta perlakuan Cokro bahkan saat Imas tidak sengaja menumpahkan teh ke celana Cokro. Tidak ada celah bagi Imas untuk berburuk sangka. Terlebih, mereka sudah saling mengenal sejak SMU. Sudah sering ke alun-alun ketika malam Minggu atau semalam suntuk menonton wayang di lapangan. Keduanya juga mengenal baik masing-masing orang tua. Imas bahkan pernah diajak mengantar Cokro yang akan kuliah di Jakarta. Dan ketika lamaran itu ditawarkan, tanpa halangan ijab kabul terucap.
Imas tidak menyangka, kepindahan mereka dari kampung ke Jakarta sedikit demi sedikit membuka tabir baru. Tabiat asli Cokro mulai terlihat. Awalnya, hanya berupa bentakan dan makian. Imas berasumsi bahwa Cokro tertekan dan kelelahan bekerja. Seperti bapaknya dulu yang kerap marah-marah ketika pulang dari pasar. Imas maklum. Namun, lambat laun tangan Cokro mulai ringan. Terlebih, setelah mereka melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan pindah ke perumahan, tempat yang mereka tinggali sekarang. Hampir saban malam tangan dan kaki Cokro mampir ke tubuh Imas. Sering yang jadi pemicu hanya berupa masalah sepele macam Imas belum memasak air untuk Cokro mandi.
Pernah Imas pulang ke kampung tanpa seizin Cokro. Meminta perlindungan orang tuanya. Namun, bukan atap untuk meneduh melainkan ceramah panjang yang didapat. Imas disudutkan, dituding tidak mampu memenuhi urusan dapur dan kasur. Padahal sudah sepanjang riwayat jadi orang tua, bapak terutama ibu, merasa sudah memberi pengarahan yang cukup terhadap Imas dan saudara-saudaranya. Maka, sudah seharusnya mumpuni mengurus rumah tangga.
“Jangan suka umbar-umbar masalah rumah tangga! Jadi perempuan memang harus banyak-banyak sabar dan belajar. Kalau suami seperti itu, pasti penyebabnya di kamu. Kamu yang harus memantaskan diri. Tidak mungkin dia begitu, kalau kamu apik dalam melayani. Dan lagi, kasih Cokro anak!”
Imas terisak. Memang benar apa yang dikatakan ibu tempo lalu. Semua akar permasalahan memang berasal dari dia. Dia tidak mampu memberi apa yang Cokro mau. Namun, apa harus seperti ini? Apa harus pakai pukulan dan tendangan? Apa harus pakai makian?
Debaran di dada Imas menjalar. Sekujur tubuhnya kini gemetar. Dia tatap pantulan diri. Di dalam balutan baju yang dikenakan ada memar di bawah tulang selangka, dada sebelah kanan, perut, punggung, dan lengan atas. Sakitnya masih bernadi.
Cokro mengamuk seminggu yang lalu. Kali ini murka itu begitu besar. Imas dihajar habis-habisan sebelum akhirnya menyerah dan membuat surat pernyataan rela dimadu. Sudah lama dia sadar Cokro bermain di belakang. Dia juga tahu hubungan Cokro sudah terikat pernikahan siri. Tentu dia ingin bercerai. Namun, lagi-lagi orang tuanya tidak terima dan Cokro pun enggan melepaskan. Dia yakin, Cokro hendak menjadikannya budak. Kala wanita yang tengah mengandung itu datang sebagai istri sah kedua, Imas harus siap menjadi kacung.
Imas sempat berencana kabur. Namun, terendus dan tanpa ampun Cokro memaki, mengatakan bahwa Imas—tanpa Cokro—hanya gelandangan. Keluarganya jelas tidak mau ikut campur dan tidak sudi kembali menampung. Mau ke mana dia bila benar-benar kabur? Tak ada tujuan. Tak punya uang. Tak memiliki teman. Cokro menekankan, Imas harus bersyukur tidak diceraikan.
Imas tidak bisa nekat. Batinnya tidak menerima, jika suatu hari dia lihat Cokro bersama si istri baru hidup senang, sedangkan dia luntang-lantung di jalan. Namun, hatinya terus meronta minta kebebasan. Imas tahu apa yang sudah dilakukan adalah dosa yang teramat besar. Seminggu ini pikiran dan hatinya bergelut. Ada ketakutan, tetapi bahagia sangat kuat ingin dicecap. Meski mungkin hanya secepat kedipan mata, dia memutuskan siap. Maka dikumpulkanlah semua keberanian. Dia yakin ini sudah tepat. Bila tidak bisa dilepas, baik dihabiskan.
Bibir Imas perlahan tersenyum. Pelan dia tarik laci meja rias. Tangannya gemetar ketika menyeka air mata. Dia poles gincu pada bibir dan bedak di wajah. Tersenyum lagi dia melihat pantulan diri sebelum beranjak. Sekilas, dia lihat tas Cokro yang tergeletak di bantal, yang tidak akan disambar untuk dibawa keluar. Tertatih langkahnya ke dapur. Masih sesenggukan dia ambil alat dan bahan untuk memanggang. Tidak dilirik sedikit pun tubuh Cokro yang terkapar dengan posisi ganjil; bagian atas tubuh Cokro menyentuh lantai sedang kakinya masih menimpa sofa.
Bibir bergetar Imas kembali mencetak senyum. Di teras dia siapkan semua. Arang dalam kuali sudah berasap dan mengeluarkan api sedang. Tak perlu mentega atau bumbu cabai, jagung itu mulai dibakar, dan tembang lawas dia nyanyikan. Tembang tentang pengkhianatan cinta yang didaulatnya sebagai cerminan hidup. Namun, berbeda dari lirik yang menggambarkan salah satu pihak mengalah, dia justru memberontak.
Imas terkikik. Teringat dia akan Cokro. Cokro yang baik hati. Lalu Cokro yang bejat. Tembang lawas kembali disenandungkan. Dentum mulai terdengar dan bunga api bermekaran di langit. Dia menengadah. Bebas sudah batinnya. Mulai besok, bukan hanya tahun yang baru, hidupnya turut menjadi seperti apa yang dimau. Tanpa Cokro.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top