Indri, Kembang Api, dan Ritual Masker Gas

30 Desember 2022

Aku dan beberapa teman SMA-ku menyiapkan rencana untuk malam tahun baru. Diiringi suara lato-lato yang dibunyikan hampir di setiap gang. Kami mulai memasang beberapa kembang api tapi bukan kembang api yang diluncurkan ke atas. Bukan pula yang besar meledak di angkasa. Ini hanya kembang api ukuran sedang dan tidak berbahaya.

Kembang api ini canggih, dia punya penghitung waktu mundur. Temanku sudah mengaturnya untuk menyala tepat saat pergantian tahun. Kami memasangnya di beberapa titik di kampung ini. Aku tidak begitu paham bagaimana mereka melakukannya. Aku hanya ikut yang mereka suruh. Sedapat yang kutahu, kembang api itu semacam alarm yang sudah diatur menggunakan kendali jarak jauh yang mengalirkan listrik melalui kabel yang saling tersambung, lalu berubah menjadi percikan api, dan api inilah yang menyalakan si kembang api tanpa perlu menyalakannya satu per satu. Ya, seperti itulah kurang lebih. Jadi, kami tak perlu keluar rumah.

Teman-temanku ahlinya dalam hal ini. Mereka sewaktu di SMA begitu cerdas, praktik IPA mendapatkan nilai sempurna. Jika bisa dibilang, mereka ini genius. Namun, kampung ini rasanya terlalu congkak menganggap mereka seperti sampah. Mereka tidak mampu kuliah, tapi warga di sini tidak pernah memberdayakan mereka. Sekadar mengajak mereka kerja atau mengajak mereka mengikuti kegiatan positif, apalagi untuk melakukan inovasi agar kampung ini semakin maju. Tidak, mereka justru dikucilkan dan akhirnya mencari kerja di luar kampung.

Tidak sampai di sana. Mereka pun dicap berandalan karena selalu nongkrong bersama preman kampung yang sering mabuk-mabukan. Preman kampung itulah yang menerima mereka menjadi teman ngobrol sehabis mumet sepulang kerja. Itu pun tidak setiap malam. Seharusnya kampung ini berterima kasih, karena preman itu sekarang jarang berbuat ulah. Teman-temanku banyak mengajarkan pengetahuan baru kepada mereka, apalagi yang tidak sekolah. Namun, mereka harus menyiapkan beberapa sogokan setiap kumpul, seperti sebotol minuman keras, rokok, dan cemilan. Preman-preman itu akan menjadi baik. Bajingan memang.

31 Desember 2022

Kopi membasahi lidahku yang berminyak sehabis menyetubuhi gorengan tahu. Pagi yang cukup cerah untuk memandangi warga kampung yang datang dan pergi. Mataku seolah sayu, tubuhku masih merindukan kasur yang cukup untuk dua orang, jika mereka saling berpelukan. Kasur itu seolah memanggil dari balik pintu kamar.

Aku tidak sendiri. Temanku, namanya Indri. Dia wanita yang bisa kubawa ke mana saja tanpa perlu mengurus diplomasi izin yang kini tidak begitu berarti. Dia, Indri, sudah kubawa di setiap sudut kontrakanku, kecuali kasur. Aku belum pernah tidur dengannya, sungguh. Dia tidur di kamar lain, meski kami tinggal satu atap.

Kamu pasti berpikir, malam tahun baru adalah momen yang tepat untuk merenggut keperawanannya, bukan? Aku tidak berpikir menggunakan cara rendahan seperti itu. Indri adalah wanita yang indah. Aku tidak ingin hanya memiliki kemaluannya, apalagi hanya satu malam. Aku ingin memiliki semuanya, termasuk hatinya.

Indri, meskipun dia tinggal denganku, bukan berarti dia menyukaiku. Bukan berarti dia membuka hatinya untukku. Bukan berarti kami memiliki hubungan yang seperti kalian pikir. Kami hanya sepasang teman kampus. Indri tidak berasal dari kampung ini, dia bertengkar dengan kedua orang tuanya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Lalu di sinilah dia berada, sebuah kontrakan kecil di pinggir kampung, yang setiap warga lewat selalu berbisik sambil melihat ke arah kontrakan ini.

Ya, bagi seorang lajang yang membawa wanita dalam satu atap itu bukan perkara biasa pastinya. Aku tahu sekali hal itu. Ibu dan bapakku pun marah besar dan memutuskan untuk tidak memberiku uang kuliah dan kontrakan, sehingga sekarang aku harus melanjutkan kuliah sambil bekerja. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah kedai makanan, pecel lele.

Aku bekerja di dekat kampus. Indri juga mengalami nasib yang kurang lebih sama. Dia tidak lagi diberi uang untuk biaya kuliah. Untuk itu, dia kerja jaga warung di dekat kampus juga. Kami sering pulang larut dan kadang ikut nongkrong dengan teman-teman SMA beserta preman kampung. Aku pernah dengar, beberapa warga menyebut kami pembawa sial di kampung ini. Namun, tidak ada dari mereka yang berani mengusir kami, karena tidak ingin berurusan dengan preman kampung.

Hari ini aku libur kerja, Indri juga. Jadi, aku bisa berduaan dengan Indri di kontrakan. Namun, sebelum itu, aku mengambil sesuatu di rumah temanku. Indri juga ikut.

“Itu apa?” tanya Indri.

“Ini yang akan melindungi kita nanti,” jawabku.

“Melindungi dari apa? Kembang api? Itu kan cuma kembang api?” tanyanya. Aku memang tidak memberitahu dia tentang semuanya. Sengaja, aku ingin dia tidak terlalu memikirkannya.

Aku mengambil barang tersebut dan membungkusnya dalam plastik hitam. Saat perjalanan menuju rumah, beberapa warga melihat kami. Aku tidak peduli. Indri dengan polosnya tersenyum membalas tatapan mereka. Tentu saja mereka tidak membalas senyumnya.

Dengan tenang, aku berbincang dengan Indri sembari mengulangi kegiatan pagi tadi, memerkosa kopi. Aku tidak merokok meski suka kopi, karena bau rokok memuakkan. Entah kenapa banyak orang tolol yang suka dengan rumput buluk yang dibakar itu, termasuk teman-temanku dan para preman kampung. Ya, makanya aku tidak terlalu lama nongkrong dengan mereka. Aku hanya datang jika ada teman SMA yang kebetulan mampir atau kalau lagi sial, sendirian, aku hanya datang memberi sogokan, minum kopi sebentar, lalu pulang. Lagian untuk apa? Aku punya bidadari di sampingku. Gairahku lebih membara bersama Indri dibanding bersama mereka yang paling hanya main mobile legends, rokok, saling diam kayak orang tidak saling kenal, bersalaman sok akrab, dan pulang sambil mabuk.

“Kamu, beberapa menit sebelum pergantian tahun langsung pakai ya masker gasnya, anggap saja kita sedang bermain sebuah permainan. Jangan keluar kontrakan sampai besok sore. Oke?” ucapku sambil memberikan barang yang ada di plastik hitam. Ya, itu adalah masker gas.

“Memangnya kenapa?” tanya Indri

“Tenang, ikuti saja.”

Detik berganti detik. Menit berganti menit. Jam berganti jam. Malam melahap sore. Udara dingin tak menghalangi warga untuk keluar meramaikan jalanan di kampung ini. Ada yang masih main lato-lato sialan itu, ada yang main kembang api dan petasan, ada yang jajan makanan dan minuman, ada juga yang sekadar jalan-jalan menghabiskan waktu.

Aku masih duduk menonton televisi yang sudah lama mati karena orang-orang kurang kerjaan di sana membuat kita harus membeli set top box. Biar tidak bosan aku menggunting gambar wanita setengah telanjang dari kalender yang kudapat dari tempat sampah dan menempelkannya pada layar televisi. Indri tertawa melihatku melakukan itu.

Aku akan melamarmu ketika tahun berganti. Terima lalu temani aku di tempat ini atau kau akan pergi dan mati.
Aku tidak tega mengatakan itu pada Indri. Aku akan mencari kalimat yang indah untuknya. Benar ya, saat sedang jatuh cinta, mau kau perayu handal sejagad raya, tetap saja kau tolol untuk menemukan satu kalimat pemungkas untuk sekadar mengajaknya bercinta. Bercinta, aku tidak sedang membayangkan bersetubuh dengannya. Bercinta, Kamus Besar Bahasa Indonesia menyamakannya dengan bersetubuh. Cinta ya cinta, tubuh ya tubuh. Kau tak bisa menukar cinta dengan tubuh walaupun kemaluanmu berkata sebaliknya.

Detik-detik pergantian tahun tiba. Aku dan Indri sudah mengenakan masker gas. Tahun berganti, aku mengucapkan selamat tahun baru padanya ditemani sebatang lilin yang tidak kami tiup. Kuletakkan lilin itu di meja kamar Indri lalu mengucapkan selamat tidur. Aku akan menyatakan perasaanku padanya esok hari. Kulihat dia melihat beberapa kembang api dari jendela yang terpasang di depan rumah, mereka sudah menyala. Namun, aku memintanya tetap di rumah karena aku ingin tidur dan besok pagi ada yang ingin aku bicarakan dengannya.

Keesokan harinya, Indri yang manis itu mandi. Aku bersiap di ruang tamu dengan penerangan yang kurang karena gorden masih dalam keadaan tertutup. Setelah selesai, berhias, dan mengenakan baju juga masker gas. Aku menyambutnya dan mempersilakan dia duduk.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” ucapku.

“Apa itu?” tanya Indri.

“Jadilah istriku, kita bisa memulainya di sini,” ucapku sambil serta merta mencoba memeluknya. Namun, tangan Indri menghalanginya.

“Maaf, tidak bisa. Sepertinya aku tidak bisa lagi bersamamu di sini. Kamu sudah tidak memandangku sebagai temanmu.”

Apa yang dikatakan betina ini ada benarnya. Aku sudah menganggap dia sebagai sumber fantasi liarku. Aku bukan tipe yang memaksa, kalau dia mau pergi ya pergi saja. Dia pun mengemas barangnya dan mungkin akan kembali ke rumah orang tuanya, semoga. Aku menyuruhnya untuk tetap mengenakan masker gas dariku. Namun, dia menolaknya.

“Tahun baru sudah selesai, aku sudah tidak lagi merayakannya denganmu. Maaf ya. Aku pergi.” Itu katanya. Dia membuka pintu dan berjalan keluar. Aku pun memandangnya sebentar lalu menutup pintu.

Aku melihat dari jendela kaca. Dia mulai menggenggam lehernya dan kejang-kejang di depan. Dia berusaha kembali masuk ke kontrakanku, tapi sudah terlambat. Dia mati bersama warga kampung ini. Kembang api yang kubicarakan itu bisa mengeluarkan gas beracun tanpa bau dan warna, yang bisa membunuh manusia. Gas tersebut mungkin sekarang sedang mengepul di seluruh kampung ini. Untuk itu, aku memakai masker gas.

Ah, sayang sekali. Kamu mati dengan cara seperti ini, Sayang. Aku pun bergegas pergi dari kampung ini bersama teman-teman SMA. Aku melihat bangkai manusia tergeletak sepanjang jalan dan di depan rumah warga, termasuk preman kampung. Ah, aku memang pembawa sial untuk kampung ini rupanya.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top