Hidrangea

Gadis lima belas tahun itu duduk di atas karpet kelabu sambil memeluk Debora; boneka kelinci merah muda dengan pita hitam di salah satu telinga. Dia, Laila, menatap TV tabung di depan tanpa berkedip. Atensinya dipenuhi sosok gadis kepang dua yang nyentrik; Friday. Tokoh utama wanita yang belakangan popular karena karakternya yang unik.

Serial “Friday” ia tonton berulang kali, menghipnotisnya; membuat seorang Laila, gadis lugu kutu buku membuang senyum malu-malunya, mengganti semua barang merah mudanya dengan warna gelap, kecuali Debora. Bisa dibilang, ia ingin menjadi Friday dalam dunia nyata.
Tak hanya itu, meski terdengar seolah kontradiksi dengan betapa gelapnya karakter Friday, namun Laila memutuskan untuk menekuni hobi baru, yakni menanam pohon bunga hydrangea. Bentuk bunganya cantik dan warnanya pun cerah; warna yang akan muncul sesuai keasaman tanah, yang tampak begitu menonjol seolah menjadi pusat dari segala kesuraman kamarnya—setidaknya itulah yang akan dilihat dari kacamata orang awam.

Laila menyirami pohon bunganya sambil tersenyum tipis. Senyum yang keji. Bunga-bunganya mekar dengan biru pekat. Penuh memenuhi pot. Besok ia akan memangkasnya, mengeringkannya, dan menggilingnya menjadi bubuk.
Gadis itu menoleh, memerhatikan lacinya yang terkunci rapi. Senyumnya makin keji.
Suara radio tua yang ia beli dari toko barang antik mendadak menyala, dan seorang wanita muda bicara diikuti suara gemeresak, “Tahun baru sebentar lagi ...”

“Tahun baru sebentar lagi,” Laila mengulangi, diikuti tawa kecil.

Dan di hari-hari berikutnya ia mengunci dirinya sendiri di kamar.

--

Tahun baru berarti awal yang baru, dan itu mungkin harapan semua orang. Namun bagi Laila itu adalah kepastian.

Sehari sebelum malam itu tiba, orang-orang akan sibuk membeli apa-apa yang bisa dibakar, atau dipanggang. Anak-anak akan membeli seplastik penuh petasan, dan orang dewasa akan membeli segala jenis makanan. Dan Laila, gadis keji itu susah menyiapkan semuanya, jauh sebelum hari ini datang.

Sambil duduk di pekarangan rumahnya, duduk di atas kursi kayu sambil memegang kedua tangannya dengan tenang, ia melihat betapa semangatnya orang-orang. Ayahnya sedari tadi keluar-masuk rumah untuk mempersiapkan alat dan perlengkapan panggang. Ibunya duduk di atas tikar sambil bersenandung, sibuk menusuk-nusuk daging ayam yang ia potong-potong kecil tadi siang. Ia sendiri telah mengerjakan tugasnya, membuat bumbu sesuai resep dan arahan ibunya tadi siang. Jadi ia menyelinap, pergi ketika melihat peluang.

Tempat yang Laila dan keluarganya tinggali bukanlah kota, karena itu masih banyak pohon di sana, jalan setapak, pun semak-semak. Meski juga tak bisa disebut desa karena semua tampak serba modern; rumah, kendaraan, bahkan ada minimarket dan taman.

Sore itu—ketika matahari nyaris menghilang—ia menyusuri jalan setapak yang sama seperti tahun lalu. Lalu melihat sebuah adegan yang sama persis seperti kenangannya; tiga bocah lelaki bergerombol di balik sebuah pohon. Saling berkicau tak jelas. Entah apa yang tengah mereka perdebatkan.

Lalu, mereka menoleh. Akhirnya menyadari kehadiran gadis itu yang sebenarnya diam-diam menonton mereka seperti sebuah acara televisi yang menarik.
“Ho! Siapa ini? Cewek cupu yang tahun lalu kita palak petasannya.”

Laila mundur selangkah, berniat untuk kabur. Tapi ketika anak itu berlari ke arahnya, menarik salah satu rambut kepangnya. Gadis itu menjerit.

“Mau ke mana? Kau ke sini karena mau menyalakan petasan, ‘kan? Kita juga, kok,” kata anak yang paling gendut dan tinggi.
Laila memegangi rambutnya yang masih ditarik. Ia merintih.

“Tapi, sayangnya punya kami kurang.”
Dan kini mata gelap gadis itu mengarah pada kantong plastik hitam yang digenggam anak berbaju kuning. Semua itu petasan.
“Sini, mana punyamu!”

Laila pasrah ketika mereka mengambil beberapa petasan yang ia simpan dalam saku jaketnya.

“Aku tahu ibumu bakal marah kalau kau main beginian. Jadi berikan saja pada kami,” timpal si anak gendut tadi. “Tapi awas kau ya kalau mengadu!”

Anak itu melepaskan cengkeramannya pada rambut Laila, lalu pergi begitu saja dengan teman-temannya sambil tertawa-tawa.
Namun, Laila juga tertawa, jauh di lubuk hatinya. Tidak hanya itu, ia juga merasa bersemangat menunggu raungan sirene ambulans, berdengung bertalu-talu tumpang tindih dengan bunyi kembang api. Oh, itu pasti sangat indah.

Jadi ia kembali, sambil terkikik-kikik sendiri.

--

Laila ingat sekali bagaimana akhirnya ia bisa pindah ke tempat ini. Komplek kecil di pinggiran kota. Itu karena pekerjaan ayahnya.

Ia juga ingat, bahwa anak seusianya yang pertama kali ia temui adalah Si Gendut, dengan perut buncit dan mulut meletupkan balon dari permen karet, tentu saja, dengan dua anak lain bertubuh kering yang mengekornya seperti anak ayam terhadap induknya. Sejak hari itu, Laila mulai merasa tidak bahagia.

Si Gendut adalah preman sekolah. Dia tidak memalak uang, tapi ia suka menjahili temannya dan meminta barang yang kiranya tidak bisa ia beli—karena ibunya melarangnya. Dan petasan adalah salah satunya. Di luar rumah Si Gendut terlihat sangar, padahal di dalam rumah dia sekadar anak Mama yang hanya merengek ketika keinginannya tidak dituruti.

Laila tahu itu karena ia sendiri mengalaminya; ibunya melarangnya membeli petasan karena menurut mereka berbahaya. Jadi ia membelinya diam-diam tahun lalu. Naasnya, ketiga preman kecil itu merenggutnya dengan paksa.

Laila merajuk. Ia mogok sekolah. Ia marah dan sedih. Kehidupannya tak lagi bisa tenteram karena ketiga preman kecil itu, sampai akhirnya Friday muncul dalam layar televisi. Jiwa pendendam Laila muncul ke permukaan. Dan—boom!—senyum keji terpampang di wajahnya.

Nyaris setiap orang dewasa berkata, “Jangan main petasan. Bahaya!”

Tentu saja, anak-anak tidak memahaminya, dan bagi Laila, petasan tidak begitu berbahaya sampai bisa mengancam nyawa, tapi berbeda cerita jika ia bisa membuatnya jauh berbahaya.

Racun? Ah, sianida!

Laila meraih ponselnya, lalu menemukan bunga hidrangea di sana. Bunga yang memiliki kandungan sianida dalam kelopak bunganya.

Ia membaca, sianida tidak hanya bisa diminum, asap yang mengandung sianida pun sama berbahayanya, terlebih dalam ruangan tertutup. Gejalanya mulai dari pusing, cemas, sakit kepala sampai bisa menyebabkan kematian.

Jadi otaknya bekerja, ia akan membuat petasan dengan kandungan bubuk bunga hidrangea di dalamnya.

Meski, sebenarnya ada satu masalah, bunga hidrangea tidak dijual terbuka. Toko-toko hanya menyediakan bunga palsu, karena bunganya berbahaya.

Laila tersenyum. Tidak masalah, selalu ada jalan menuju Roma.

Begitulah semua ini dimulai. Kini ia bangga pada dirinya. Otak selalu lebih kuat daripada otot. Dan untungnya, ia pintar.

Dan pagi itu sirene kembali berbunyi, meski kali ini berasal dari mobil polisi. Laila melihatnya dari jendela kamarnya di lantai dua, seraya menyirami pohon yang telah kehilangan seluruh bunganya.

Untuk waktu yang lama, akhirnya ia bersiul ceria. Menunggu pohonnya kembali berbunga.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top