Happy New Year, Sayang!

Dalam rengkuhan dunia yang sempit ini,
tak ada manusia yang dasarnya berhati jahat.
Bukan berarti semua manusia pada awalnya jelmaan malaikat,
melainkan sangat polos, seperti kanvas putih.
Namun, ada satu hal kecil yang membuat manusia melakukan hal jahat.
Yakni, sesuatu yang dinamakan hasrat.
Dia terpendam di dalam hati setiap manusia bak benih kecil.
Setelah itu dia tumbuh, tumbuh dan terus tumbuh hingga berbuah.
Manusia tidak bisa mengelak adanya hasrat.
Namun, manusia bisa mengendalikan hasrat itu.
Kalau tak dikendalikan,
maka pantas bila ada yang mengatakan bahwa orang jahat di dunia ini sungguhan ada.

Aku berhenti menggulir layar ponselku setelah menemukan postingan gambar berisi tulisan itu di explore Instagram. Entah siapa yang menulis sesuatu seperti itu, tetapi tulisan itu menjadi seperti magnet bagiku. Sebelum akhirnya kulupakan dan kuberalih dengan menguntit akun seseorang.

"Kamu udah cantik, mahasiswa berprestasi, lagi! Kok bisa, ya, belum punya pacar?" ucap teman sekelasku yang duduk di sebelahku sambil mengemil basreng. "Mana body goals banget, lagi! Aku baru makan dikit aja udah naik dua kilo!" serunya. Namun setelah dia mengatakannya, diambilnya kembali segenggam basreng dari bungkusnya dan dimasukkannya semua ke dalam mulutnya.

Melihatnya, aku hanya tersenyum.

Bu Wanda
Karin
Saya sdh di ruangan

Dosenku membalas pesan chat yang sudah kukirimkan sejak setengah jam lalu. Aku pun bangkit dari bangku kuliahku, lalu berpamitan pada temanku tadi dan melangkah meninggalkan ruangan kelas. Sudah setengah jam lebih tadi aku menghabiskan waktu di dalam ruangan kelas sejak selesainya jam mata kuliah. Sekarang aku harus menemui dosenku untuk bimbingan.

"Draf proposalmu hanya tinggal penulisannya saja yang diperbaiki sedikit," ucap Bu Wanda Claire, dosen pembimbing skripsiku. Kami duduk berhadapan di meja kerjanya. "Daftar saja seminar usul bulan depan," lanjutnya.

"Apakah itu berarti setelah libur tahun baru, Bu?" tanyaku.

Bu Wanda mengangguk. "Benar," jawabnya. Namun, setelah itu dia menatapku agak lama. Seperti aku adalah subjek penelitiannya. "Karin, kamu cantik dan berprestasi. Pasti banyak mahasiswa laki-laki yang mengincarmu, 'kan?" tanyanya. "Apa kamu punya pacar?"

Aku tersentak. Bu Wanda yang biasanya hanya membahas tentang penelitianku, mengapa tiba-tiba menanyakan hal semacam ini? Kuakui memang, sudah nyaris tak terhitung berapa orang yang menanyakan hal ini padaku. Sepertinya, mereka berpikir bahwa sosok cantik dan berprestasi seharusnya memiliki pacar. Namun, entah mengapa tatkala Bu Wanda yang bertanya seperti ini, sontak kedua tanganku mengepal erat.

"Belum, Bu." Aku menjawab sambil terkekeh. Namun, entah mengapa kedua kepalan tanganku ini berhasrat untuk menghantam sesuatu.

Bu Wanda tersenyum. Hanya saja, senyumannya terkesan begitu misterius. "Oh, begitu?" Dia terdengar tidak yakin dengan jawabanku. "Kalau begitu, saya harap kamu bisa mendapatkan laki-laki yang baik ... dan tidak mengambil milik orang lain."

Deg.

Jantungku mencelos. Namun, tak lama setelah itu terdengar tawa dari Bu Wanda.

"Hahaha!" Dia menertawakanku sambil memegangi perutnya. "Astaga, perut saya sampai sakit. Reaksi kamu lucu sekali!" serunya sambil menunjukku. Setelah itu, dia kembali membuka-buka drafku. Raut wajahnya masih dipenuhi tawa. "Hahaha, maafkan saya. Sepertinya ini efek dari menonton drama Korea tentang perselingkuhan. Tapi, saya yakin bahwa perempuan secantik dan sepintar Karin tidak akan melakukan hal seperti itu. Benar, 'kan?"

Kali ini, Bu Wanda menatapku sambil menaik-naikkan alisnya. Aku tak bisa mengucap apapun selain menyunggingkan senyum seadanya.

Namun, jauh di lubuk hatiku, aku merasa sangat emosi. Emosi sekali sampai aku ingin merusak semua yang akan kusentuh beberapa detik lagi--termasuk wajah Bu Wanda. Aku benar-benar tidak mengerti sama sekali dengan gejolak yang bersemayam di dadaku. Sama sekali tidak mengerti, perutku rasanya juga seperti dikoyak oleh cakar tajam harimau.

"Kamu merayakan tahun baru di mana, Karin?" tanya Bu Wanda tiba-tiba. "Sendirian di indekos?"

"Iya, Bu," jawabku. "Belum dibolehin pulang sama Bunda sampai skripsi kelar," lanjutku yang membuat Bu Wanda tertawa kecil.

"Ya ampun ...," gumamnya tak habis pikir.

"Bu Wanda sendiri?" tanyaku. "Merayakan tahun baru di mana?"

"Di rumah saja, bersama keluarga." Dia menekankan kata keluarga, seakan-akan semakin berhasrat untuk mengintimidasiku. "Kalau begitu, ikut saja merayakan tahun baru bersama saya dan keluarga. Tau, 'kan, rumah saya?" tanyanya.

Aku menelan ludah.

"Tau, Bu," jawabku sambil terkekeh.

Selesai bimbingan, aku langsung pergi ke toilet terdekat dan menatap wajahku di depan cermin wastafel.

"Sialan ...." Aku menggumam sambil tertawa sarkastis. " ... merayakan tahun baru bersama keluarga Bu Wanda? That's really sucks."

Benar-benar sialan. Disuruhnya aku melihat kemesraannya dengan suaminya? Haha, aku tak sudi! Aku sangat benci melihat keluarga yang terlihat harmonis itu, benar-benar benci. Aku sama sekali tak ingin berada bersama mereka, tetapi di sisi lain aku sangat ingin merayakan tahun baru bersama Pak Cahyo. Dia adalah suami Bu Wanda Claire, pria yang paling kucintai hingga ingin mati rasanya. Pria yang juga paling membuatku merasa dicintai, dan sosok paling sempurna yang pernah kutemui. Wakil rektor di kampus, kali pertama pertemuan kami adalah saat dia memberi selamat padaku atas titel mahasiswa berprestasi yang kudapatkan.

Aku bimbang.

Tentu kalau aku datang ke rumah itu, aku akan melihat Pak Cahyo dan Bu Wanda yang terlihat saling memandang dengan cinta. Hatiku bisa sakit melihatnya, benar-benar sakit. Setelah itu, aku akan berpikir bahwa setega itu Pak Cahyo padaku. Membiarkanku melihat sesuatu yang jelas-jelas paling enggan kulihat.

Namun, kalau aku tidak datang, aku tidak akan bisa melihat dan menghirup aroma Pak Cahyo secara langsung sebagai salah satu kenangan manis pada malam akhir tahunku. Mungkin aku hanya bisa melihat dan mendengar suaranya lewat video call, itu pun tidak mungkin karena dia tak mau ketahuan Bu Wanda.

Akhirnya, aku memutuskan untuk datang.

"Sayang, kenalin. Ini Karin, mahasiswa bimbinganku yang paling cantik dan pinter." Bu Wanda yang duduk di sebelahku melingkarkan tangannya ke pundakku. "Ups ...." Sontak, dia menutup mulutnya dengan tangan yang tidak berada di pundakku. " ... aku lupa, kamu pasti udah kenal dia, 'kan, Sayang?"

Aku menatap ke arah Pak Cahyo yang terlihat tertekan dengan ucapan istrinya.

"Kalau udah kenalan ... kok diam-diaman? Ngobrol, dong!" seru Bu Wanda tiba-tiba. Setelah itu, dia melepaskan tangannya dari pundakku dan meraih secangkir kopi panas dari atas meja. "Astaga, disuruh mengobrol malah diam-diaman. Biasanya juga desah-desahan," lanjutnya sambil menyesap kopinya dengan santai.

Deg.

Jantungku mencelos.

Wanita ini sudah tau?

Tubuhku gemetaran. Begitu pula dengan Pak Cahyo yang spontan melotot ke arah Bu Wanda.

"Tolong jaga mulutmu, Wanda!" seru Pak Cahyo.

"Kamu nyuruh aku buat jaga mulut?" balas Bu Wanda. "Gimana kalau aku suruh kamu juga buat jaga keluargamu?"

"Shut the fuck up!" bentak Pak Cahyo.

"YOU'RE THE ONE WHO SHOULD SHUT THE FUCKING UP!" balas Bu Wanda. Dia meletakkan cangkirnya di atas meja dengan kasar. Sementara itu, aku tertunduk dan membeku di tempatku.

"Mom! Dad!"

Seorang anak laki-laki muncul di ruang tamu. Dia mengenakan piyama bergambar beruang sambil membawa boneka beruang cokelat. Dikucek-kuceknya matanya, sepertinya dia baru bangun tidur.

"Mom, apa Mark udah tidur selama satu tahun?" tanyanya sambil menghampiri ibunya. "Mark tadi ketiduran abis main game."

"Belum, Mark Sayang. Belum ada kembang api," jawab Bu Wanda.

Karena bocil kematian itu, Pak Cahyo dan Bu Wanda pun kembali terlihat akrab. Padahal, baru saja tadi mereka bertengkar. Cih, pencitraan di hadapan anak. Aku paham sekali yang seperti ini. Bahkan, Bu Wanda sampai mengajakku untuk pergi ke dapur, mengambil beberapa persediaan jagung untuk dibakar setelah tahun berganti--nampaknya mereka baru bakar-bakar makanan setelah selesai pergantian tahun. Sementara itu, Pak Cahyo terpaksa menemani si bocil yang tiba-tiba minta dibelikan latto-latto ke warung.

Aku tetap waspada. Sebab, mungkin saja ini jebakan.

"Sudah berapa lama kamu dengan suami saya?" tanya Bu Wanda padaku. Dia berdiri memunggungiku.

Alih-alih menjawabnya, aku justru malah meraih pisau yang ada di atas meja dapur. Sebab sudah terlintas di benakku,

bahwa aku akan membakar jagung dan juga daging untuk merayakan pergantian tahun ini.

"Pertanyaan seperti itu saja kamu tidak tau jawabannya." Bu Wanda berbalik menghadapku. "Tolong, jangan membuat saya menjadi orang ja--"

Jleb.

Dengan cepat, aku menusukkan pisau ke perutnya. "'Jangan membuat saya menjadi orang jahat', itu yang mau Ibu bilang ke saya?" ucapku. "Di dunia ini, tidak ada manusia yang dasarnya berhati jahat ...." desisku.

"Ka--kamu ... be--benar ...." Bu Wanda mengernyit kesakitan. Keringat dingin mengucur dari dahinya dan begitu pula dengan darah dari perutnya, sementara itu pisau yang kugenggam masih menancap di tempatnya. "Ta--tapi ... hasrat ... mereka jadi jahat ... kar--karena ... tak ... bisa ... kendalikan ... hasrat mereka ...."

Mendengar ucapan Bu Wanda, semakin murkalah aku. Dengan cepat, kucabut pisau dari tubuhnya hingga dia menjerit. Kutusukkan kembali pisau ke tubuhnya berkali-kali. Dada, lengan, bahkan sampai bagian kepalanya. Aku benar-benar yakin. Setelah ini, dia akan menjadi hidangan untuk perayaan akhir tahun. Tahun selanjutnya, aku akan memiliki Pak Cahyo seutuhnya dan menikmati akhir tahun berikutnya dengan daging bakar yang rasanya jauh lebih enak.

Setelah Bu Wanda tak lagi bernapas, aku memotong-motong tubuhnya. Pak Cahyo tiba-tiba datang, diikuti oleh anaknya. Dia begitu syok setelah melihat apa yang kulakukan. Sementara itu, si bocil sontak menangis keras.

Tepat di luar rumah, terdengar suara kembang api dan sorak sorai perayaan pergantian tahun. Aku menyeringai ke arah Pak Cahyo sambil berseru,

" ... happy new year, Sayang!"

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top