Kouyou
》· · ──────·本·──────· ·《
.
.
.
.
Autumn whispered
to the wind
"I fall,
but always rise again"
- Angie Weiland-Crosby
.
.
.
.
.
.
.
.
Kouyou : (n) leaves changing colour
.
.
.
.
Satu daun jatuh di pertengahan Oktober.
Warnanya merah seakan mengucapkan selamat tinggal pada musim panas. Menuju hari-hari dengan udara kering bertiup. Angin-angin itu bergesekan dengan ranting yang makin rapuh menggigil.
Hela nafas terdengar sedikit berat dari lelaki dengan surai sewarna pasir. Poni miring yang menjadi khasnya tampak lebih panjang dari terakhir kali dia menyadarinya. Risih saat helai itu hampir menyentuh rambut matanya.
Entah apa yang pacarnya akan lakukan kalau Shirabu Kenjirou memotong poninya.
Mengingat ia hobi menyisir poni unik itu dengan jemari mungilnya.
Ngomong-ngomong, mereka ada jadwal kencan hari ini. Karena katanya, kencan musim gugur itu tidak boleh dilewatkan.
Entahlah, tapi Shirabu sesungguhnya lebih memilih berlatih voli untuk kejuaraan musim semi. Timnya itu golongan teratas di prefektur Miyagi dan dia seorang setter utama tim.
Sepertinya kekasihnya itu harus berterima kasih pada Semi Eita. Karena dialah yang memberi kelonggaran pada Shirabu untuk melewatkan latihan mereka. Kalau tidak, Shirabu tak mau membuang waktu menemani sore bersama pacarnya.
Daun kering berjatuhan lebih banyak ketika suhu makin turun. Sejalan dengan Shirabu yang cukup lama berada di bawah pohon momiji menunggu gadisnya datang. Sesekali dia menginjak daun coklat di atas tanah hingga hancur.
Bibirnya terkatup rapat saat melihat gadis berseragam yang sama dengan miliknya mendekat. Sedikit berlari sambil mempertahankan rambut panjangnya agar tidak kusut dan berantakan.
Matanya membentuk bulan sabit saat ia berada tepat di hadapan Shirabu dengan nafas yang sedikit terlalu cepat.
"Maaf, aku terlambat. Sudah lama menunggu ya? Temanku menumpahkan air pel ke lantai kelas. Gah! Menyebalkan sekali aku harus membersihkannya."
Senyum gadis itu terlihat segar. Selalu, seperti biasa. Mungkin karena suhu sedang sejuk-sejuknya?
Tapi rasanya kosong.
"Uhm, tidak juga. Lima menit kurasa. Atau lebih?" jejaka itu tidak benar-benar menghitungnya karena sejak tadi dia hanya memandang daun jatuh.
Dan daun yang makin berubah warna.
Ada sunyi di antara mereka yang hanya diisi si gadis menyisir ujung rambutnya dengan jemari, dan Shirabu yang menatap gadisnya dari ujung netra.
Tidak ada yang salah. Dia selalu cantik seperti lili putih yang anggun dan bahagia. Dia tidak mengganti parfum, karena Shirabu selalu menyukai parfum vanilla yang dia kenakan. Gadis itu yang membuat sang jejaka bahagia.
"Tanganmu, Kenjirou." katanya sambil mengulurkan telapak, berharap sambutan.
Alih-alih meraihnya, Shirabu hanya menatap lamat telapak milik gadisnya yang selalu berada dalam genggamannya. Kukunya sedikit terlalu panjang dan di poles oleh warna merah berglitter. Masih baru dan basah. Tampak lelah mungkin karena dia habis melaksanakan piket kelas. Bengkak di tepi jari telunjuk karena terlalu sering memegang pena.
"Kenapa?"
"Eh? Kupikir kita akan bergandengan seperti biasanya?"
Seperti biasanya ya.
Tapi tangan Shirabu tak bergegas keluar dari saku celananya.
"Hari ini cukup dingin, Kenjirou."
Sayup-sayup keramaian pulang sekolah terdengar. Jarak mereka berdua cukup jauh dari gerbang utama, tapi keheningan ini memperdengarkannya begitu jelas. Ya, musim gugur yang dingin menyejukkan.
Lalu apa?
Shirabu melangkahkan kakinya sesaat setelah dia menghela nafas pendek. Langkah yang menimbulkan bunyi khas helai daun momiji yang khas hingga sapuan angin memindahkannya.
"Sebelum semakin dingin, ayo cepat selesaikan kencan kita."
Shirabu tak melihat kerutan di dahi gadisnya saat ia terpaksa menurunkan telapak tangannya yang menyentuh udara dingin, bukan kehangatan kulit sang jejaka. Dan lelaki itu tak tahu bagaimana repotnya ia ketika mengoles cat pada kukunya, setelah ia harus mengepel lantai kelas hingga membuat Shirabu lama menunggu.
Seperti bunga matahari yang menghadap tuannya, gadis itu segera berbalik, menyusul Shirabu dan berjalan bersisian hingga bahu mereka hampir bersentuhan.
Cat kuku yang masih basah, mungkin Shirabu tak ingin meraih tangannya karena itu.
*
Parfait coklat yang dipesannya sepertinya terlalu manis.
Dua anak yang berkencan itu berada di meja pojok yang menghadap jendela. Tepat sekali menampilkan langit yang perlahan mulai menjadi jingga. Lima belas menit yang lalu, Shirabu digiring sang gadis masuk ke dalam kafe parfait.
Parfait dan musim gugur bukan kombinasi yang biasa, tetapi sang gadis tak mau dibantah.
Bau manis gula dan buah bertebaran. Tawa renyah seperti potongan biskuit ada di setiap sudutnya. Denting sendok yang beradu dengan gelas bersamaan dengan Le Jardin yang diputar oleh pemusik kafe.
Gadisnya duduk manis tepat di depannya. Netranya berkilauan pada segelas tinggi parfait coklat yang terlihat terlalu manis itu. Sedangkan Shirabu hanya memesan teh yang berwangi jahe, tanpa es dan hanya setengah sendok teh gula.
"Mereka bilang, parfait di sini itu yang terbaik." sang gadis menyendok krim dengan bubuk coklat dari gelasnya. Sedetik saja langsung menyentuh ujung lidahnya. "Maniis, seperti ada kembang api gula yang meledak di lidahku!"
Reaksi yang sedikit berlebihan. Tapi gadisnya itu terlihat bahagia. Pipinya memerah karena terlalu senang dan lukisan senyumnya tak memudar.
Shirabu memperhatikannya lamat-lamat. Mereka bilang melihat gadismu bahagia adalah kebahagiaan seorang lelaki juga.
Tapi kenapa dia merasa biasa saja?
Rasanya aneh. Shirabu tak ingat kapan terakhir kali dia merasa berdebar hanya dengan menatap matanya. Atau saat dia merasa merona ketika gadis itu berada di dekatnya. Shirabu lupa bagaimana hatinya berdesir seperti tertiup angin musim semi, ketika berpapasan dengan gadis itu.
Ketika berjalan ke sekolah, Shirabu tak lagi mempercepat langkahnya demi melihat tawa pagi gadisnya. Dia menghabiskan waktu di lapangan klub voli sepanjang liburan musim panas meski gadisnya mengirim foto liburannya. Dia tak lagi menantikan bagaimana si dara menelponnya malam-malam untuk bercerita.
Seperti puzzle yang kehilangan kepingnya. Ada yang hilang.
"Kenjirou-kun," suara lembut menginterupsi Shirabu dari lamunan. Tatapan gadisnya begitu teduh seperti sinar bulan yang menundukan momiji. "tehmu tak lagi hangat tau."
Tak lagi sehangat dulu.
Beberapa titik di bibir si dara terdapat jejak coklat dan krim putih. Lapisan merah muda yang terasa manis saat Shirabu dulu mengecupnya. Pasti sekarang lebih terasa manis. Hanya saja, tak ada lagi kupu-kupu berterbangan dalam perutnya, yang menggoda untuk menempelkan bibirnya pada gadisnya.
Kenapa detik berjalan sangat lambat?
Rasanya baru kemarin para gagak sore hari mendengar debaran hati dua anak manusia itu. Ketika Shirabu Kenjirou mendekap gadisnya di tengah musim panas tahun pertama mereka dan berbisik lembut, menitipkan hatinya pada yang tercinta.
Masih jelas Shirabu ingat pipinya yang bersemu dan bibir sewarna mawar merah muda terlihat begitu cantik. Setitik air mata penuh haru saat gadis itu mengiyakan permintaannya.
Rasanya begitu indah, melalui hari-hari seolah bunga bermekaran sepanjang jalan dan kupu-kupu berterbangan. Mereka bilang, begitulah jatuh cinta. Hal-hal kecil saja membuat segalanya terasa lebih indah.
Shirabu sangat menyukai kala rambut gadisnya bermandikan binar senja saat menunggunya selesai berlatih. Ketika mendapatinya diantara puluhan penghuni tribun gedung olahraga. Ditengah ketegangan lapangan, netranya menangkap senyum manis si gadis yang tak pernah luntur tersapu hujan. Detik itu juga, lelah Shirabu menguap menjadi buih.
Saat dimana mereka menghabiskan sepanjang malam untuk bercerita juga sesuatu yang disukainya. Diantara jembatan penghubung bernama telepon, tawa jernih gadisnya terasa begitu hangat seperti memeluknya. Nafasnya yang terdengar karena terlalu bersemangat cerita hingga mereka saling menunggu untuk terlelap.
Kini rasanya hampa. Seperti kaleng kosong yang menimbulkan bunyi aneh ketika dipukul.
Shirabu menyesap tehnya dengan netra diam-diam menatap gadis di sebrangnya. Lihat betapa menyenangkan senyumnya ketika melahap suapan terakhir parfait. Ronanya bermekaran kala manis meleleh di bibirnya.
"Ada yang salah padaku?"
Jejaka itu hampir saja tersedak karena sang gadis memergoki pandangannya. Shirabu meletakkan cangkirnya, kembali menguasai diri. "Tidak ada." Ia mengelus tengkuknya yang tak gatal. Matanya gugup berkeliaran hingga tertuju pada gelas parfait gadisnya. "Cherry-nya, tidak kau habiskan?"
Gadisnya itu bukan tipe orang yang menyisakan makanan. Terlebih cherry merah mekar adalah favoritnya dari gelas parfait.
"Aku menyisakan bagian paling enak untuk dimakan terakhir." katanya sambil tersenyum geli.
"Oh begitu."
Shirabu tidak akan terlalu peduli kalau saja gadisnya itu tak menyodorkan gelas parfaitnya. "Untuk Kenjirou saja."
Cherry merah dengan krim...
"Kenapa? Kau kan menyukainya."
Kurva cantik terlukis di wajah sang gadis. "Kenjirou terlihat banyak pikiran. Aku menyisakan bagian terenak memang untukmu. Biar Kenjirou semangat lagi."
Detik itu juga rasa gelisah menyelimuti diri Shirabu. Lihat bagaimana tulusnya dara ini, tak menuntut, tak merajuk. Gadis yang sangat disayanginya itu...
Rasa asam bercampur manis menyatu dengan lidahnya ketika Shirabu melahap cherrynya. Memberi senyum lebih hangat di wajah gadisnya. Sepertinya sanggup membuat angin musim gugur menepi.
"Terima kasih ya."
Dan maafkan aku.
*
Cakrawala hampir sewarna jingga momiji.
Dua insan berjalan bersisian dengan semilir angin yang dingin. Keheningan sepanjang sore yang tak dipecahkan sejak mereka keluar dari kafe. Dengan dua tangan saling terpaut. Karena sang gadis bilang tangannya dingin.
Meski genggamannya tak lagi terasa hangat.
Langkah Shirabu terasa berat. Ruang hatinya berantakan seperti tumpukan daun kering yang porak-poranda oleh badai. Gelisah dan ragu mencekiknya.
Daun maple sedikit demi sedikit berjatuhan. Meninggalkan ranting yang meranggas dan kedinginan. Daun yang berubah warna menjadi kemerahan, menari bersama udara. Menyisakan ranting yang kini sepi.
Apakah sakit rasanya, ketika ranting melepaskan daunnya?
Semudah itukah?
Tumbuh lalu pergi?
Seperti daun maple yang berubah warna, apakah perasaan juga berubah semudah itu? Lalu pergi meninggalkan rantingnya?
Ranting akan kesakitan.
Shirabu tak pernah ingin menyakitinya. Tidak ingin setetespun air mata kesedihan jatuh karena dirinya. Mata bulan sabit itu terlalu berharga untuk menangis.
"Kenjirou," si dara memanggil namanya pelan ketika mereka berhenti di depan sebuah rumah, bertuliskan nama keluarganya. Seulas senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya. Rinai baskara memandikannya, membuat sang gadis terlihat sangat cantik. "Terima kasih ya."
"Ah, iya."
Jika warna daun yang berubah, siapa yang harus disalahkan?
"Sore yang indah bukan?" panggung musim gugur yang indah. Warna jingga dan merah yang menghangatkan diantara para dingin.
"Ya. Selalu."
"Selalu indah saat bersamamu, Kenjirou."
Gadisnya tersenyum. Diantara daun kering dan ranting yang meranggas. Senyumnya terlihat sedih. Batin Shirabu tertampar begitu saja.
"Kamu juga seindah itu."
Jangan tersenyum seperti itu. Kumohon.
"Mereka bilang hati itu seperti langit musim gugur," katanya kala netra mendongak menatap bentangan luas di atasnya. "Berubah-ubah dan tak dapat di tebak. Tetapi terlihat indah sekali."
Gadisnya terlihat rapuh. Shirabu takut akan menghancurkannya.
"Ketika daun berubah warna, mereka akan jatuh ke tanah loh," katanya lagi dengan tawa kecil. "Pohon yang paling setia. Mereka menunggu daun dan bunga bersemi lagi di tengah kesepian itu."
Jika Shirabu memutuskan pergi, pasti dia akan merasa kesepian.
"Kamu merasa kesepian?" kata Shirabu dengan suara tertahan.
"Aku tak ingin merasa kesepian," lagi-lagi senyumnya itu terlihat sedih. "Jika daun ingin pergi, pohon momiji akan tetap berdiri, kan?"
Rasanya ada tangan yang menjepit hati Shirabu. Tak mau melepaskannya dari rasa gelisah yang menyakitkan. Sakit, bahkan ketika melihat gadisnya juga.
Shirabu Kenjirou melangkah dan merengkuhnya. Memeluk gadis itu karena ia terlihat rapuh seperti ranting yang akan ditinggal gugur oleh daunnya. Daun-daun berubah warna beranjak pergi dan bebas menari tertiup angin.
"Musim dingin hampir datang." kesepian dan kehampaan yang panjang akan datang.
Jika rasaku telah hilang, apa yang akan kamu katakan?
"Kamu jangan sampai kedinginan."
Bisakah aku meninggalkanmu?
"Kalau kamu kedinginan,"
Dia ingin musim gugur cepat berlalu. Cepatlah pergi, rasa kosong dan hampa yang menyakitkan.
Tumbuhkan kembali bunga-bunga musim semi.
"Aku akan memelukmu."
.
.
.
.
Will you forgive me, even i can't fall in love with you again?
.
.
.
.
》· · ──────·本·──────· ·《
End
Yogs
Ahaha
Ada yg ngga ngerti maksudnya apa? Soalnya pas aku baca ulang takut ngga kesampean maksudnya apa gt..
Jadi ya, ini terinspirasi dari curhatan org2 yg mulai bosen pacaran gt gt, padahal awalnya mereka bucin banget.
Nggaa, aku ngga bermaksud bikin shirabu jadi cowo ngeselin yg udh gaada rasa gt sumpa😭 aku sayang si poni miring eta
Tapi ya namanya jg manusia, perasaan kan bisa aja berubah ubah
Doi nih galau, udh bosen, pengen putus, tapi ya gituuu
Jadi endingnya, apakah shirabu putus dengan ciwinya yaitu [name] yaitu keleenn???
Ya ngga tau ehe soalnya ini oneshot. Sisanya imajinasi sendiri mau dibawa kemana hubungan sama shirabu ahahhaha
Btw pengen banget nulis yg gumush gumush loh sumpaah😭
Udahya, kritik saran kalau ada biar tulisan ini semakin bener lagi
Makaasiihh yaaa yg udh mau baca ceritaku 💚💚 kalian keren banget aku sayaang
6 September 2020
Tobyosan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top