Keluhan Saya Terhadap Uang
Saya benci uang. Ada kisah tentang persahabatan antara dua orang pemuda yang sudah terjalin lama. Sebut saja namanya Asep dan Adang. Awalnya mereka membangun usaha bersama atas asas kepercayaan, tapi setelah pembagian untung di akhir tahun, kedua pihak sama-sama tidak puas. Mereka bedua saling memendam perasaan ingin mendapatkan jatah lebih banyak. Asep merasa berhak karena menyumbang modal lebih besar, sedangkan Adang beragumen dia sudah berkerja lebih giat.
Muncul konflik, salah seorang dari mereka diam-diam membelot ke usaha lain. Selihai-lihainya tupai melompat akhirnya jatuh juga, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi akhirnya tercium juga, besar pasak daripada tiang, air susu dibalas dengan air tuba, bagai air di daun talas, dunia tidak selebar daun kelor, tidak ada rotan akar pun jadi, silakan Anda sekalian pilih sendiri peribahasa apa yang cocok dengan kelanjutan kisah yang sebentar lagi akan saya paparkan. Karena setelah beberapa bulan khianat pada rekan usahanya, Asep kepergok sedang berjualan batagor di depan gerbang sekolah dasar. Benar sekali, usaha mereka berdua adalah berjualan cilok.
Mungkin sampai sini ada sebagian dari pembaca budiman yang mengerutkan kening setelah membaca kisahnya, jadi sebelumnya saya jelaskan terlebih dahulu supaya tidak ada kebingungan di antara kita.
Tidak seperti sekarang yang terlihat biasa-biasa saja, pada zaman orde baru hubungan antara perkumpulan tukang batagor dan komunitas tukang cilok tidak begitu baik. Saya tidak tahu awalnya gimana, tapi waktu itu setiap tukang batagor berjualan di depan gerbang sekolah, tukang cilok tidak mangkal di sana dan begitu juga sebaliknya. Kasus ini hampir mirip dengan perseteruan antara ojek pangkalan dan ojek online pada beberapa waktu lalu. Bedanya dulu pertikaian batagor dan cilok seperti perang dingin, hanya sekadar tidak bertukar sapa dan cuma saling ngomongin di belakang. Kala itu juga belum ada Facebook untuk memanaskan keadaan. Hoax tidak bisa sembarangan dibuat karena alat penggorengannya masih belum tersedia. Mereka tidak dapat saling lempar isu satu sama lain seperti yang dilakukan dua kubu pendukung capres sekarang. Itulah alasan mengapa persaingan ini tidak terekspos media.
Nah, mari kita lanjutkan. Adang yang merupakan seniman garis keras dalam membuat cilok tidak terima akan pengkhianatan Asep. Dia murka dan langsung melabrak temannya itu yang sedang memotong timun.
"Sep, apa yang kamu lakukan ini jahat!"
"Eh, ayam-ayam-ayam!" Seketika Asep mengangkat kedua tangannya ke udara karena kaget bukan main. Pisau terlempar dari tangannya dan mengenai pelipis Adang.
Pembaca budiman, dari kejadian tersebut kita dapat mengambil hikmah jangan sekali-kali mengagetkan orang latah yang sedang memegang pisau.
Adang mengerang kesakitan sambil memegangi pelipisnya yang tersayat. Dia semakin marah dan membalas perbuatan Asep dengan membalikan gerobak batagornya sampai nyungsep di got. Cukup lama mereka baku hantam hingga wajahnya sama-sama babak belur.
Gerbang sekolah sudah ditutup dan sepi. Sebelum penjaga sekolah datang untuk memisahkan perkelahian, hanya ada satu anak SD di sana yang terlambat masuk dan sebelum pulang dia hanya ingin menghabiskan uang jajannya untuk membeli batagor. Tak disangka oleh anak itu dia disuguhkan pertarungan MMA, alih-alih dapat batagor.
Keesokan harinya penjaga sekolah menceritakan latar belakang yang mengawali perkelahian antara Asep dan Adang kepada murid SD itu. Kini si bocah yang sudah dewasa mengisahkan kepada Anda semua. Benar, bocah SD itu adalah saya sendiri.
Terlepas si penjaga sekolah ngarang atau tidak, saya melihat perkelahiannya itu dengan mata kepala sendiri. Pangkalnya sudah jelas, gara-gara uang persahabatan bisa pecah. Jangankan jalinan antar teman, kerabat pun bisa saling pura-pura tidak kenal dan tidak mau salaman waktu lebaran sebab salah satunya belum bayar hutang.
Itu sebabnya saya benci uang. Saya harus bersusah payah kerja pagi sampai malam sampai keringat keluar dari pantat hanya untuk mendapatkan uang. Kalau dipikir-pikir kerja enaknya cuma waktu pas gajian doang. Selebihnya enggak banget. Hanya lelah dan stres yang saya dapat. Bila saja ternak tuyul tidak diharamkan, mungkin saya sudah punya satu peleton tuyul di bawah komando saya.
Iya, saya kerja karena terpaksa, bukan betah tapi butuh. Inilah yang menyebabkan saya masih tetap menjadi sobat miskin sampai sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top