Keluhan Saya Terhadap Tahun Baru

Tahun baru sebentar lagi dan saya masih mencret. Di luar sana pasti banyak orang yang bakal merayakan malam tahun baru dengan hura-hura sambil lihat kembang api. Mereka tidak ada simpatinya sama saya yang lagi diare. Jadi saya doakan kalau malam tahun baru kali ini supaya hujan. Gerimis juga enggak apa-apa, seenggaknya itu dapat sedikit merusak kesenangan mereka. Amin.

Biasanya yang merayakan tahun baru itu para remaja, pasangan kekasih, dan orangtua milenial yang enggak nyadar umur. Setelah kembang api menyala memenuhi langit dengan letusan-letusan dan cahayanya, mereka akan merencanakan macam-macam resolusi untuk setahun ke depan. Ada yang ingin lulus kuliah, mendapat pekerjaan yang lebih baik, menikah, dan masih banyak lagi. Resolusi ini, resolusi itu, babi ngepet. Semua omong kosong.

Karena sesungguhnya tahun baru itu bukan untuk dirayakan, tapi untuk ditangisi. Tahun baru berarti usia bertambah, semakin dekat dengan penuaan, dan bagi seorang jomblo yang matang seperti saya, situasi pelik ini bagaikan bom waktu yang menempel di punggung.

Tahun boleh berganti, tapi resolusi saya tetap sama yaitu mengeluhlah sebelum dikeluhkan. Selama Dajal belum turun ke bumi dan menyesatkan manusia, saya akan tetap memegang teguh prinsip ini. Mengeluh sudah menjadi jalan ninja saya. Rintangan mencret hanya sebatas polisi tidur yang gampang dilewati. Diare saja tidak cukup untuk menghentikan antrean panjang keluhan-keluhan saya yang sudah menunggu giliran buat dimuntahkan.

Apalagi sekarang saya tahu penyebab mengapa saya diare bukan karena diazab terlalu banyak mengeluh, tapi ini semua gara-gara setiap hari makan indomi. Namun bukan salah indomi tercipta, sebab mi instan itu telah beberapa kali menyelamatkan hidup saya dari kelaparan di tanggal tua.

Saya menyalahkan sistem ekonomi dunia yang menjadikan uang sebagai poros utama. Paling malas kalau sesudah makan di restoran atau di pinggir jalan, saya harus bayar pakai duit. Apalagi sekitar awal tahun milenium, sebagian rumah makan dan pedagang masakan di pinggir jalan mulai memberlakukan sistem minum bayar. Artinya mereka tidak lagi menyediakan minuman secara gratis tapi membuat kita terpaksa membeli minuman kemasan yang sudah disediakan. Sistem ini ampuh, karena siapa yang kuat setelah makan tanpa minum? Ujung-ujungnya saya membeli minuman itu dengan hati yang tidak ikhlas. Tapi lama-kelamaan saya sudah terbiasa dengan sistem minum bayar ini dan hati pun sudah mulai ikhlas. Masalahnya adalah setiap awal tahun harga naik. Minuman es teh manis yang biasa saya beli dengan uang Rp 3000 naik menjadi Rp 4000. Bila dikalikan sebulan saya harus mengeluarkan uang lebih sebanyak tiga puluh ribu untuk sekali makan. Lah iya, kalau saya bisa bertahan dengan makan sehari sekali. Begini-begini saya harus mempertahankan otot sixpack perut saya.

Jadi alangkah baiknya bila setiap pedagang tidak memakai sistem minum bayar ini dan menyiapkan minuman gratis, air putih atau teh sudah cukup seperti di warteg dan rumah makan padang untuk para pembeli seperti dulu. Biarkan sistem minum bayar menjadi sebuah pilihan sebagai variasi bukan paksaan. Bagaimanapun, saya masih tidak mengerti mengapa untuk minum segelas air putih pun harus membeli sedangkan saya sudah membayar untuk makanannya. Bukankah itu bisa bernilai tambah untuk pedagang sendiri bila mereka menyediakan minuman gratis untuk para pembelinya.

Andai saja bisa bayar pakai daun mungkin isu global warming tidak pernah ada, kebakaran hutan tak akan terjadi, dan semua orang di seluruh dunia akan berlomba-lomba menanam pohon di halaman rumahnya. Bayangkan betapa asri dan sejuknya planet bumi kita ini bila itu terwujud! Wah, saya jadi kagum pada gagasan saya sendiri. Mungkin, di pemilu yang akan datang saya bakal mempertimbangkan untuk mencalonkan diri menjadi presiden.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top