Buat keperluan sehari-sehari keluar rumah saya selalu pakai sandal jepit Swallow warna hijau. Karena dipakai terus-terusan selama dua tahun, bentukannya itu sudah kelihatan busuk dan tipis. Sebenarnya tali sandalnya pernah putus, tapi saya akali pakai paku buat ganti sangkutan di bawahnya. Sengaja belum beli yang baru biar entar kalau ada yang nukar di masjid hati saya enggak sakit-sakit amat.

Juga harap dimaklum, Anda sendiri tahu saya lagi ngirit buat modal kawin. Jaga-jaga kalau entar calon mertua memberi syarat harus ada organ tunggal sebagai hiburan di kawinan, saya bisa siap sedia tanpa harus hutang ke tetangga. Soalnya saya sama tetangga juga enggak terlalu kenal. Masa, tiba-tiba sekalinya ngobrol mau pinjam duit. Kan, enggak asyik. Nama baik yang selama ini saya bangun dengan susah payah bisa-bisa tercemar cuma karena calon mertua pengin dangdutan.

Dengan penghematan sedemikian rupa akhirnya tabungan saya jadi lumayan banyak. Yah, sekitar lima ratus ribuan. Cukup buat bayar hansip. Takutnya ada penggemar cewek yang patah hati dan enggak rela saya kawin, jadi ada pengamanan ekstra biar acaranya tetap lancar.

Tadinya saya pengin acara kawinan entar diliput media kayak pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina atau macam Vicky Prasetyo dan Angel Lelga supaya ada sponsor buat bantu-bantu biaya sewa tenda. Cuma enggak bisa, soalnya saya bukan artis. Padahal dulu cita-cita saya sempat pengin jadi aktor film, namun keburu sadar diri karena ternyata saya enggak berbakat akting. Saya enggak mau dicap sebagai aktor yang cuma modal tampang doang.

Waktu sore, setelah pulang kerja, saya langsung cari makan di pinggir jalan. Dengan berbekal uang dua puluh ribu di saku celana, hati saya agak jumawa bisa makan apa saja. Kebetulan Sugeng habis bayar hutang lima bulan lalu yang dia pakai alasan buat beli bensin. Dari sekian banyak hutangnya sama saya, dia cuma ingat yang kecil-kecil saja. Saya suka heran, ingatan hutang seseorang kok bisa pilih-pilih gitu, ya.

Tenda pecel lele di seberang jalan melambai-lambai tertiup angin, seolah mengundang saya untuk barang sebentar supaya mampir. Karena saya orangnya gampang tergoda, enggak banyak lama saya langsung menyeberang dengan berlari tanpa memikirkan keadaan sepasang sandal saya yang sudah sekarat.

Saya langsung masuk tenda setelah sampai di seberang. Ternyata di sana sudah banyak orang. Saya jadi merasa enggak spesial. Rupa-rupanya tenda pecel lele bukan cuma menggoda saya seorang.

Mau balik lagi, tanggung sudah kepergok sama cewek-cewek yang sengaja berhenti menyuap nasinya cuma buat lihat saya mau masuk. Gengsi dong, kalau enggak jadi makan.

Saya pesan ayam goreng. Sebenarnya agak aneh memang makan ayam goreng di tukang pecel lele. Mungkin Anda sekalian ada yang penasaran kenapa saya enggak beli pecel lele di tukang pecel lele? Enggak ada? Oh, ya udah. Terserah kalau Anda enggak penasaran dan enggak mau tahu jawabannya.

Kira-kira sepuluh menit kemudian pesanan ayam goreng berhasil dihidangkan di atas meja. Lebih atau kurang, tepatnya saya enggak memperhatikan. Kira-kira saja, soalnya saya enggak punya jam tangan buat menghitung berapa lama tukang dagang pecel lele masak ayam goreng. Saya bukan chef Juna yang memasang wajah galak sambil teriak-teriak sama peserta lomba masterchef. "Lima menit lagi! Cepat-cepat! Jangan teledor! Baca resepnya baik-baik! Jangan sampai pecel lele ini setelah diangkat dari wajan malah jadi ikan asin!" Saya enggak mau kayak gitu, jadi orang yang hanya bisa menambah beban moral sama tukang dagang pecel. Oh, saya memang pemuda yang budiman.

Saya berdoa sebelum makan. Ketika saya baru mau menyuapkan nasi ke mulut, tiba-tiba datang seorang pengemis lewat menjulurkan tangannya. Karena takut dibilang pamer, jadi saya enggak akan kasih tahu ngasih duit berapanya. (Padahal memang enggak ngasih duit sih). Sesudah minta sama saya tapi pulang dengan tangan hampa, saya lihat si pengemis berjalan gontai dan putus asa, keluar dari tenda.

Hati saya seketika terasa pedih memandang pengemis itu pergi. Bukannya saya merasa bersalah karena enggak ngasih sedekah, cuma waktu itu saya enggak sengaja lihat kalau si pengemis itu memakai sandal gunung. Wah, mental saya terguncang bukan main. Enggak dapat menerima kenyataan kalau sandal jepit yang sudah busuk saja masih saya pakai.