Tiga : Reno?

Reno, lelaki jangkung itu masih membiarkan pikirannya melayang pada sosok yang sempat dilihatnya. Seorang gadis dengan rambut kuncir kudanya yang bergerak bebas, mengikuti setiap gerakan si gadis, entah kenapa sangat menarik perhatiannya. Atau ... karena memang gadis itu menarik?

"Astaga, apa yang lo pikirin sih, Ren?" sanggah Reno saat menyadari pikirannya yang mulai melantur.

Kaki panjangnya perlahan turun dari ranjang, membawa ia ke sisi timur kamarnya, tepat ke jendela yang memperlihatkan halaman belakang dimana ada gundukan sampah di sana. Ya, orang-orang yang mengontrak di ruko keluarganya memang membuang sampah pada satu tempat, yaitu halaman belakang rumahnya. Agak sedikit terganggu sih, terlebih kamar Reno tepat menghadap halaman belakang.

Reno menghela napas. Tentu ia tak akan menatap ke luar jendelanya jika bukan tanpa sebab. Lagi pula, apa yang akan dipandanginya selain tumpukan sampah yang menggunung?

Jam tiga sore ketika jam waker Reno berbunyi. Seseorang yang sudah Reno tunggu mulai terasa hawa kedatangannya. Suara gesekan alas sepatu dengan tanah kering jelas terdengar di telinganya, cepat-cepat Reno membuka jendela. Ia tak menghiraukan bau tak sedap yang tiba-tiba menyambar hidungnya.

"Hai, Bos!" sapa Reno ketika melihat orang yang sedari tadi ditunggunya lewat di depan jendela. Tangannya sejenak terangkat, memberi isyarat sapa khas presiden pertama kita dulu. Ia lalu memangku dagu dengan tangannya di atas kusen jendela.

Ervan menoleh saat merasa ada seseorang yang memanggilnya. Tepat, sosok yang sempat beradu tatap dengannya saat ia kembali ke warung bakso setelah menitah Lia untuk pergi lebih dulu ke mobil, kini tengah tersenyum penuh arti padanya. "Halo, Ren," balas Ervan

Kembali, mereka bersitatap. Reno masih dengan senyumnya, Ervan dengan tatapan tajamnya.

"Lama gak kelihatan. Gimana skripsinya?" tanya Ervan akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Reno menyeringai. "Topik yang bagus," ucapnya sambil mengubah posisi menjadi berdiri santai. Sebagian badannya dibiarkan menyandar pada kusen jendela. "Skripsi sudah di-acc, tinggal nunggu wisuda, akhir tahun ini," lanjut Reno. Matanya menerawang sebelum akhirnya menatap Ervan.

"Berita baik, Bang."

"Ya, dan lo ... gimana kabarnya? Perasaan jarang ke sini, juga tumben lo rajin buang sampah sendiri."

Ervan terdiam sejenak kemudian tersenyum kecil. "Mengenang masa lalu," balasnya.

"Hmm." Reno mendesis. "Sepertinya kurang sopan jika kita ngobrol seperti ini, hahaha. Wait, gue keluar dulu."

Ervan tersentak, ia kemudian menggerak-gerakan tangannya menyilang. "Gak usah. Gue juga mau pergi, masih ada urusan," cegah Ervan agar Reno tak perlu keluar untuk menghampirinya. Lagi pula, memangnya apa yang akan mereka obrolkan?

"Oh, ya? Urusan ... sama cewek lo?" terka Reno. Seringai jelas terlukis di bibir tebalnya.

Dahi Ervan mengernyit. "Cewek?"

"Itu, cewek pendek yang masuk ke mobil lo tadi siang," terang Reno masih dengan seringaiannya.

Mata Ervan membulat, ia merasakan panas menjalar ke wajahnya. Dengan cepat Ervan memalingkan wajah. "Oh, bukan. Dia temen gue," jawab Ervan. Susah payah menetralkan detak jantungnya.

"Oh, ya?" tanya Reno skeptis.

Ervan terdiam.

"Kalau gitu ... jaga dia baik-baik," lanjut Reno yang perlahan menjulurkan badannya untuk menggapai handle jendela.

Ervan menoleh, mendapati Reno dengan seringai khasnya yang perlahan menutup jendela bersama gordennya. Ia terpaku, kata-kata Reno membayanginya. Apa yang Reno rencanakan?

***

"Ng, Van?"

"Ya?"

"Lo gak harus bantu gue ngangkutin barang. Udah bantu gue dapet kerja aja cukup."

"Hm."

Lia mengerucutkan bibirnya. Ia benar-benar tak habis pikir. Sehabis maghrib, pintu rumahnya diketuk terus-terusan dan saat pintu terbuka, tampak Ervan dengan senyum tipisnya yang tanpa ba-bi-bu menyampaikan maksud kedatangannya dengan berkata, "Mana barang-barang yang mau diangkut?"

Andai saja Lia tak dapat mengontrol emosi, dirinya pasti sudah meleleh tak berdaya akibat perlakuan manis--uhuk--pertolongan baik Ervan.

Jadi, di sinilah ia. Duduk di samping kemudi, yang artinya di samping Ervan, bersama barang-barangnya yang diangkut dari rumah. Hanya sedikit. Seperti kasur lipat dan seperangkat alat tidurnya, laci baju beserta isinya, laptop, beberapa tas dan sepatunya yang disimpan di bagian belakang.

"Lia," panggil Ervan membuat Lia sontak menoleh. Mendapati wajah serius Ervan yang menatap ke jalanan, rahangnya yang tegas, hidung mancungnya, bibir ... Tunggu! Kenapa gue lihat-lihat sampe ke bibir?! Lia segera kembali membalikkan badannya ke depan.

"Apa?" sahut Lia akhirnya.

"Nanti sampai di kost, lo langsung tidur aja. Besok pertama kerja 'kan?"

Lia mengerutkan alisnya. "Justru sekarang beres-beresnya, biar besok habis kerja bisa langsung istirahat."

"Lo tidur aja, gue yang beresin."

Lia menyipitkan mata, sekuat mungkin menolak untuk menoleh. Enggan kejadian tadi terulang, apa lagi sekarang dia merasakan Ervan yang menatap padanya.

"Gue gak mau. Lo pasti besok sibuk. Udah, Van. Bantuan lo udah cukup kok. Jangan bikin gue gak enak. Kita baru ketemu lagi setelah dua tahun lost contact, lho," tolak Lia sehalus mungkin.

"Lo takut gue apa-apain?"

"Ha?" Gagal. Lia menoleh pada Ervan yang juga tengah menatap padanya. Kali ini fokus Lia memang bukan pada bibirnya, tapi mata tajam Ervan yang tengah menatapnya jahil. "A-apaan sih?" Merasakan wajah yang memanas, Lia segera membuang muka.

"Pffth." Ervan menahan tawanya bersama fokus yang kembali menatap jalanan. "Santai aja lagi," ucap Ervan mencoba santai. Walau nyatanya ia masih menyunggingkan senyum untuk ekspresi lucu Lia tadi. Mata dan mulut yang membulat sempurna dengan tatapan bodoh. Astaga.

***

"Turun," ucap Ervan ketika ia menghentikan mobilnya di pelataran parkir yang lengang.

"Barang gue?" tanya Lia polos. Matanya menatap Ervan dengan alis yang terangkat tinggi. Jari telunjuknya menunjuk persis ke dirinya sendiri.

"Udah, lo duluan aja. Barang lo bakal aman." Kembali Ervan menitah Lia. Kali ini dengan jelas, Ervan menjulurkan badannya untuk membuka pintu di samping Lia, yang tentu membuatnya harus berada tepat di depan Lia.

Jarak yang sangat dekat itu membuat Lia menahan napasnya tanpa sadar. Ia hanya mampu melihat Ervan yang membukakan pintu susah payah.

"Lo gak ada niatan buka pintu sendiri?" tanya Ervan. Kepalanya menoleh menatap wajah Lia yang menegang. Lagi, Ervan harus menahan mulutnya yang hendak menyemburkan tawa.

Lia tersentak, seolah tersadar dari mimpi. "Eh? Ah, iya." Cepat-cepat Lia membuka pintu, namun Ervan tak juga menarik diri dari posisinya. "K-kenapa lo masih kayak gini?" tanya Lia menunjuk-nunjuk Ervan yang betah di posisinya.

Ervan mengulum bibir sebelum akhirnya menarik diri dari posisinya. Helaan napas panjang terdengar, seolah ada beban yang telah menguap dari diri Ervan.

Lia menggembungkan pipinya lalu dengan sebal keluar dari mobil Ervan. Baru akan melangkah pergi, suara lelaki itu menginterupsinya untuk berhenti. Lia memutar bola matanya sebelum berbalik menatap Ervan yang tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya. Manis.

"Jangan dikunci, lo tidur harus pake kasur 'kan? Segera diantar!" ucap Ervan. Dua jarinya merapat, menyentuh ujung pelipisnya kilat, memberi salam bak patriot yang hendak pergi ke medan perang. Tapi hanya dua jari.

"Uhuk." Lia terbatuk. Lebih disengaja untuk menghilangkan canggung karena matanya telah hilang fokus entah kemana.

Tanpa menjawab, Lia membalikkan badannya. Segera menuju kost barunya.

Ervan tersenyum gemas memperhatikan Lia yang perlahan menjauh lalu menghilang di balik tembok gang. Kini ia keluar dari mobilnya, kakinya melangkah menuju pos satpam yang berada tak jauh dari tempat ia parkir.

"Lembur?" tanya Ervan pada sosok berseragam yang tengah asyik dengan ponselnya.

Sosok itu tersentak. Hampir-hampir melemparkan benda berbentuk persegipanjang itu. Ia segera berbalik pada sumber suara. "Ah, sial lo, Van. Ngagetin mulu kerjaannya," adunya sebal dan ganti menatap nanar pada ponselnya. "Gagal rank nih 'kan gue."

"Udah, lo bantu gue angkatin barang yok. Bentaaar doang."

Jika Ervan sudah memelas, sulit bagi siapapun untuk menolak.

"Oke."

***

Lia meringkuk di sudut ruangan. Memeluk lututnya sendiri mencoba mengusir dingin. Ia sudah bolak-balik mengecek kamar kos-nya, mengelilinginya sampai pusing tapi barang-barangnya belum juga sampai.

"Apa Ervan jahilin gue ya?" gumam Lia. Ia berpangku dagu.

Samar-samar terdengar langkah kaki di luar sana. Lia terkesiap, badannya menegang, matanya awas menatap pintu yang ia sengaja buka lebar-lebar.

"Bentar-bentar, Jon."

Suara Ervan?

"Ya, lanjut."

Tepat setelah itu tampak sosok Ervan yang berjalan mundur, membawa--atau mengangkut?--kasur lipatnya.

"Stop," ucap Ervan tepat di depan Lia yang kini sudah berdiri.

Ia menatap Lia. "Mau tidur di mana?"

Lia terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, "Sebelah sini." Tangannya menunjuk pojokan tempat ia meringkuk tadi. Berlawanan dengan pintu masuk.

Dengan cekatan Ervan membawa kasur lipat Lia ke tempat yang dimaksud lalu menatanya. "Oke, lo istirahat aja. Biar barang-barang, gue sama Jono yang angkutin."

"Eh, Van--"

Belum sempat Lia menjawab, lelaki jangkung itu sudah pergi. Disusul pria berseragam security yang mungkin dialah Jono.

Lia menghela napas. Ia hanya terduduk, memeluk lutut di atas kasurnya. Memperhatikan Ervan dan Jono yang bergantian bolak-balik masuk membawa barang-barangnya. Hingga matanya terasa berat. Lia tertidur, tepat ketika Ervan selesai mengangkut dan menata barang-barangnya.

_____________________________

04-09-2017

A/n : ntapz, niatnya dibawah 1k words malah dapet 1,3k-an words. Wkwkwk



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top