Satu : Bertemu "Teman" Lama

Rafelia Ganesha Putri terus berjalan, membiarkan kakinya melangkah, membawa raganya yang sudah lelah. Berkeliling mall sebesar ini tentu membuat gadis yang akrab dipanggil Lia itu kelelahan.

Salahkan perusahaan tempat Lia berkeja dulu, kenapa harus bangkrut? Kenapa Lia harus diberhentikan? Padahal bekerja di percetakan adalah passion-nya, Lia merutuk dalam hati.

Kakinya terus melangkah hingga kini ia berdiri di depan salah satu restoran yang berada di bagian area makanan di mall ini. Lia membiarkan dirinya masuk ke dalam restoran bernuansa Jepang itu, mendudukkan diri di salah satu meja kosong untuk melepas penat.

Seorang pelayan datang, tersenyum ramah seraya memberikan sebuah buku tipis berisi menu-menu makanan yang ada. Lia menatap liar setiap gambar makanan yang ada di menu, cacing-cacing di perutnya terasa seperti mengadakan perang dadakan untuk menuntut jatah mereka.

"Sial. Gue juga laper, Cing," keluh Lia. Ia meremas perutnya, semoga bisa menahan sedikit rasa laparnya hingga dia bisa meminta air minum saja sekarang.

Hela napas keluar dari mulut Lia.

Baru saja Lia hendak menyebutkan menu pesanannya pada pelayan yang masih setia berdiri di sampingnya, sebuah suara merebut bagian Lia. "Paket bento A dua ya," ucap suara tersebut yang kini sudah duduk di kursi yang bersebrangan dengan Lia.

Cepat-cepat si pelayan menuliskan pesanan yang disebut.

Lia menatap lelaki berkemeja hitam polos dengan lengan pendek di sebrang mejanya dengan sengit. "Eh? Lho, ini kan udah ada yang nempatin, Mas. Kok main seruduk aja sih?" protes Lia kesal. Ia berbalik menatap pelayan yang masih menunggu untuk pesanan selanjutnya. "Mbak, jangan ditulis pesanan tadi, dia tiba-tiba duduk di bangku saya!" lanjut Lia mencoba protes, namun si pelayan tetap diam sambil menatap bingung.

"Mau minum apa, Lia?"

"Eh?"

Lia beralih menatap penuh selidik pada lelaki yang kini tersenyum--sangat manis--padanya. "Maaf?"

"Mau minum apa? Kasian maid-nya nunggu tuh."

Lia masih terpaku menatap lelaki yang tersenyum misterius di depannya itu. Seolah dirinya dihipnotis, Lia mengucapkan minuman favoritnya, es teh lemon, pada pelayan yang segera menulis.

"Ocha satu," ucap lelaki itu, bersamaan dengan perginya si pelayan dan pesanan mereka.

Lia menunduk, seolah tengah mencari sesuatu di tubuhnya.

"Kenapa, Lia?" Lagi, lelaki itu memanggil namanya.

Lia mendesis, dahinya berkerut menatap lelaki yang rasanya tak pernah dia kenal. "Perasaan gue gak lagi pake name tag, kok tahu nama gue sih?" tanya Lia skeptis.

"Lo lupa sama gue, hm?"

Bukannya menjawab, lelaki itu malah memberikannya pertanyaan, membuat Lia menggembungkan pipinya sebal. "Please, gue lagi pusing. Jangan nambah pusing bisa? Lo siapa?" Lia pasrah, jemarinya memijat pangkal hidung untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang.

Sebuah tangan terulur tepat ke hadapan Lia, membuat Lia mengernyitkan alisnya lalu menatap sosok yang masih setia dengan senyumnya itu.

"Ervan Pangalima."

Kerutan di dahi Lia semakin menebal. "Ha?"

"Ervan Pangalima. Udah inget?" tanya Ervan yang kini menarik kembali tangannya yang sempat terulur.

Lia menutup matanya, dahinya berkerut-kerut, jari telunjuknya menempel manis di kening memberi kesan pada Ervan bahwa Lia sedang berusaha keras untuk mengingatnya.

"Ervan ... Ervan ...," gumam Lia sambil terus mencari memori tentang sosok bernama Ervan. "Oh, astaga! Ervan!" seru Lia yang kemudian tanpa sadar menggebrak meja dengan heboh, membuat beberapa pengunjung lain menoleh pada mereka, namun Lia tak peduli.

Ervan tersenyum, lebih manis. "Udah inget?"

Tentu saja, bagaimana Lia bisa melupakan kapten basket sekaligus temannya sekelasnya, juga kecengannya dulu ini? Dasar pelupa, rutuk Lia dalam hati.

"Ya ampun, sorry banget ya. Ah, gue jadi malu." Lia menutup wajahnya dengan sebuah amplop lebar berwarna coklat yang sempat dibawa-bawanya berkeliling.

"Hahaha, santai aja. Dua tahun gak ketemu, wajar lo lupa sama gue." Ervan terkekeh melihat reaksi Lia yang di luar ekspektasinya, namun tak lama dahinya berkerut saat melihat apa yang dipakai Lia untuk menutup wajahnya. "Lo habis ngelamar kerja?"

Mendengar pertanyaan itu, Lia menurunkan amplop coklat dari pandangannya dengan lesu yang kemudian menampakkan ekspresi sendu wajahnya. Lia mengangguk pelan. "Gue habis kena PHK. Gue kira di zaman gini udah gak ada PHK-PHK-an."

"Lo belum dapet ..." Ervan menggantungkan kalimatnya.

Lia mengerti, diletakkannya amplop coklat itu di atas meja. Matanya lurus menatap Ervan yang ia rasa semakin ... tampan. Mikir apa sih gue, rutuk Lia dalam hati.

"Gue sebelumnya sempet kerja di percetakan," ucap Lia mulai bercerita. "Baru lima bulan dan perusahaan itu bangkrut. Ya, sekarang gue jadi sampah masyarakat." Lia menggedikkan bahunya lemah.

Suasana berubah canggung. Ervan merasa tak enak sudah menanyakan hal tadi pada Lia. Dia tahu rasanya jerih payah dan pengabdian selama ini harus berakhir sia-sia karena kebangkrutan yang melanda. Rasanya ... Ervan ingin membantu Lia. Tapi, apa?

"Gak usah dipikirin. Dahi lo berkerut-kerut gitu, Ervan." Lia terkekeh.

Suara Lia menyadarkan Ervan dari lamunannya. Bersamaan dengan itu, Ervan teringat sesuatu. "Ah, di area warung bakso gue ada rumah makan--"

"Warung bakso ... lo?" potong Lia.

"Paket Bento A dua porsi, es teh lemon satu, teh ocha satu. Silakan dinikmati." Suara seorang pelayan memutus obrolan mereka. Kini, makanan sudah tersaji dengan menggoda di atas meja.

"Arigatou gozaimasu," ucap Ervan yang dibalas senyum oleh pelayan hingga pergi dari meja mereka. Matanya kemudian beralih pada Lia yang sudah menatap lapar apa yang ada di atas meja.

"Jadi--"

Kruuukkk

Lagi, kalimat Ervan dipotong. Kali ini oleh suara perut yang merajuk minta diisi. Bukan milik Ervan, itu pasti. Lelaki berambut cepak itu menatap Lia yang wajahnya sudah memerah. Berpura-pura menilik jam di tangannya, Ervan berkata, "Sudah waktunya makan siang." Ervan kembali menatap Lia yang masih bersemu. "Ittadakimasu."

***

"Err, tapi gue gak bisa masak," ucap Lia untuk yang kesekian kalinya sejak Ervan mengungkapkan maksudnya setelah makan siang tadi hingga kini mereka berada di dalam mobil Ervan.

Ya, rumah makan di area warung bakso milik Ervan sedang butuh bantuan. Seperti komplek ruko di mana ada warung bakso miliknya, rumah makan, warung kopi dan konter kecil-kecilan. Ia merintis usahanya pertama kali di sana, hingga kini berkembang ke beberapa daerah di kota hujan ini.

"Tapi, Ervan, gue gak punya siapa-siapa di Parung." Lia menyebut daerah yang hendak mereka tuju. Ujung kota Bogor yang berdempetan dengan ujung kota Depok.

"Gue lebih sering di Parung dari pada di daerah kota. Jadi, anggap aja gue siapa-siapa lo di Parung."

Darah Lia berdesir mendengar kalimat yang dilontarkan Ervan.

Anggap aja gue siapa-siapa lo

Maksudnya apa, ih? Bikin baper!, maki Lia dalam hati. "Tapi gue bakal tinggal di mana nanti? Kan gak mungkin di rumah lo, Ervaaan."

"Ada kost deket situ yang lagi kosong seinget gue. Kalau lo cocok buat kerja di situ, ya sementara, kita langsung cek kost-nya."

"Tapi--"

"Lo mau kerja atau enggak?"

Lia akhirnya bungkam. Di sisi lain, ia merasa tak cocok berkutat dengan dunia masak-memasak, tapi di sisi lain, dia bisa dekat-dekat dengan kecengannya dulu itu. Yang mungkin saja jodoh karena bertemu tanpa sengaja di saat susah seperti ini. Berkhayal saja Lia.

______________________________

August 30, 2017.

Regards,

lelouchy.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top