Dua : Ervan Oh Ervan

"Jadi, neng Lia mau mulai kerja kapan?" tanya seorang wanita paruh baya dengan wajah khas Padang pada Lia yang memainkan bola mata ke kanan dan kiri sambil menggigit bibir bawahnya. "Neng ini kayaknya masih ragu, A," lanjut ibu itu beralih menatap Ervan yang berada di samping Lia.

Ervan melirik Lia yang dibalas cengiran di bibir mungil gadis itu. Ervan menghela napas. "Bentar ya, Uni," ucapnya sebelum menarik Lia sedikit menjauh dari uni.

"Rafelia, lo gimana sih? Katanya mau tapi kok ragu gitu?" tanya Ervan seketika.

"Gimana, ya ..." Lia menggantung kalimatnya.

Ervan mengusap wajahnya frustasi. "Lia, gue tahu ini bukan passion lo. Tapi, lo butuh ini 'kan? Gimana bisa lo hidup di zaman sekeras ini dengan uang yang tinggal Pattimura-nya doang? Nodong lo pake golok, Lia.

"Ini cuma buat sementara. Gue saranin, lo coba dulu. Kalau gak cocok, baru minggat. Setidaknya lo langsung dapet bayaran, itu bisa jadi ongkos lo berkelana lagi."

Lia mencebik gemas, pipinya menggembung membuat wajahnya tampak semakin bulat. "Uang seribu gue bukan Pattimura, kok sok tahu banget sih, Van?" protes Lia.

Ervan menatap Lia lelah. "Lo tahu itu bukan inti dari apa yang gue ucapin tadi."

"Iya, iya. Gue gak sebego itu."

"Nah, jadi?"

"Mmm ..."

Ervan menaik-turunkan alisnya menanti jawaban Lia.

"Mmm ..."

Ervan masih setia menanti jawaban gadis berambut lurus panjang itu.

"Mmm ..."

Dan sekarang,

"Boleh gue tarik rambut kuda lo?" Ervan membuat gaya seolah akan menerkam Lia.

Lia mundur selangkah dengan tangannya yang melindungi rambut yang ia kuncir. "Eits, jangan! Gue ngiketnya susah payah buat rapi gini!"

"..."

Lia melirik Ervan yang menatapnya tajam. "Iya, iya. Gue coba dulu."

"Bagus, bilang ke Uni dengan nada meyakinkan. Oh ya, dan juga ekspresi yang meyakinkan." Ervan kembali menarik Lia menuju kursi tempat mereka duduk tadi. Masih ada uni di sana yang langsung melempar senyum tipis pada mereka.

Ervan menyenggol Lia, Lia menyenggol Ervan, mereka senggol-senggolan.

"Jadi?" tanya uni akhirnya setelah tak mendapat tanda-tanda mereka akan membuka mulut.

Ervan menatap Lia, memberi isyarat dengan dagunya agar Lia segera bicara. Lia menoleh, menatap uni yang sudah siap mendengar jawabannya.

"Iya, Uni. Saya mulai kerja besok, ya," ucap Lia akhirnya.

Uni tersenyum. "Oke, besok saya tunggu jam tujuh."

Setelah itu, mereka pamit. Ervan menyuruh Lia untuk ke mobil lebih dulu karena ia harus mengecek warung baksonya yang seperti biasa, ramai.

Ervan melanjutkan langkahnya setelah memastikan Lia masuk ke dalam mobil, berbalik untuk kemudian menuju warung baksonya yang berada tepat di samping rumah makan tempat Lia akan bekerja. Tepat pada saat itu, Ervan berpapasan dengan sosok lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya. Mereka saling tatap untuk beberapa detik hingga akhirnya Ervan tersenyum kecil sambil mengangguk tanda pamit. Ervan berlalu, meninggalkan sosok itu yang masih mematung.

***

Lia menatap ke luar kaca mobil yang diberi film ini. Matanya memperhatikan sosok lelaki jangkung dengan kaos oblong berwarna biru langit beruliskan "PeaCe" warna hitam di dada dan celana boxer selutut yang memperlihatkan kaki panjangnya. Pakaian itu terlalu santai untuk ukuran orang yang bekerja, itu analisis pertama Lia. Karena orang-orang yang berada di sana rata-rata mengenakan pakaian setidaknya sedikit lebih rapi, meski mereka hanya duduk manis di depan warung kopinya, kecuali pegawai yang bekerja di warung bakso milik Ervan. Mereka mengenakan seragam kaos V-neck berwarna oranye cerah, ada tulisan di bagian punggung atasnya, namun terlalu jauh untuk Lia baca.

Ah, rasanya rumit terus-terusan menyebut "warung bakso milik Ervan", keluh Lia dalam hati. "Biar nanti aku tanya nama warung baksonya apa, deh," lanjut Lia keluar dari benak.

Lia masih memandang ke luar sana, tepat pada lelaki jangkung itu yang berjalan menuju warung kopi. Dia tukang warung? Masa sih?, tanya Lia masih penasaran. Di ujung sana, saat Lia kembali menatap lurus, sedikit berbelok ke warung bakso milik Ervan, terdapat sebuah rumah.

"Apa dia tinggal di sana?"

Ervan terlihat berjalan dari luar sana menuju mobil. Dengan sigap Lia memposisikan diri menghadap depan.

Pintu mobil terbuka, Ervan mengambil duduknya di samping Lia, tepatnya di tempat supir. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ervan menjalankan mobilnya.

Entah mengapa Lia merasa hawa di dalam mobil kini terasa sangat berat. Ia menduga, itu pasti karena mood Ervan yang terlihat berubah.

"Errr, ke kost-an?" tanya Lia ragu-ragu akhirnya, takut-takut pada Ervan yang tiba-tiba menjadi pendiam.

"Iya, deket kok," jawab Ervan yang membuat Lia mengangguk dan memilih bungkam hingga tiba di tempat tujuan.

Lia berpikir, apa mungkin Ervan kesal karena Lia susah sekali diatur? Padahal Ervan sudah berniat baik untuk membantunya. Ah, Lia merasa tak enak. Ia bertekad untuk menurut pada Ervan setelah ini.

Lho, emang gue siapanya Ervan harus nurutin dia?, batin Lia tak setuju. Gadis itu mendengus.

Ervan menepati janjinya, hanya sepuluh meter dari tempat diparkirkannya mobil ada mall brand ternama, Ervan membawa mobilnya memasuki tempat parkir area bawah yang memang khusus untuk mobil. Lia tak menyangka, Ervan memarkirkan mobilnya di sini.

"Eh? Kok ke sini? Katanya ke kost-an?"

"Udah ikut aja." Ervan menjawab sambil melepas seatbelt-nya. "Ayo turun," lanjutnya kemudian.

Lia menurut. Ia sudah berjanji 'kan?

Ervan berjalan telebih dahulu membuat Lia sedikit kepayahan mengekor cowok jangkung itu. Langkahnya mengikuti langkah panjang Ervan yang berjalan menuju sebuah gerbang pemisah antara parkiran dan lapangan serbaguna di bawahnya. Lia kemudian dibawa memasuki sebuah gang kecil yang berada tepat di samping turunan, sedikit belok ke kiri lalu belok ke kanan. Langkah Ervan berhenti ketika tiba di depan gerbang kayu bercat hitam.

Lia menunggu, Ervan bergeming. Hingga seorang anak perempuan, berusia sekitar enam tahun, dari balik gerbang menyapa mereka. "Kak Ervan? Kok diem doang di luar sih?" tanya anak itu dengan suara khas anak-anak. Tangan mungilnya membuka kunci gerbang, menarik gerbang kayu itu ke dalam sekuat tenaga hingga cukup untuk Ervan dan Lia melewatinya.

"Hehehe, kakak bawa temen, Oliv. Kenalan nih," ucap Ervan sambil menarik Lia ke dalam pelukannya, maaf, itu terlihat seperti memeluk, padahal Ervan berniat menepuk bahu kanan Lia.

Terlihat jelas wajah Lia yang menegang, mukanya memerah, napasnya tercekat. Ia hanya berharap Ervan tak sadar itu. Sungguh, ini pertama kali Lia sedekat ini dengan seorang lelaki, apa lagi oleh seseorang yang menempati hatinya beberapa tahun lalu.

"Hai, kak. Aku Olivia. Kakak kok diem? Mukanya tegang banget, merah juga. Kakak sakit?" tanya Olivia beruntun.

Ervan mengangkat alisnya bingung lalu menoleh pada Lia, masih di posisi yang sama, yang mana artinya itu membuat wajah mereka semakin dekat.

Rasanya Lia ingin menjahit mulut anak bernama Olivia itu, namun akhirnya ia tersenyum tipis--dengan paksa. Tangannya terulur, membalas uluran tangan mungil Olivia yang sedari tadi mengambang di udara. "Rafelia, panggil kak Lia aja."

Ervan tersenyum, Lia merasakan itu, juga merasakan Ervan yang perlahan melepaskan tangan dari bahunya. Ada kelegaan namun juga kekecewaan di benak Lia.

"Mamanya ada?" tanya Ervan pada Olivia yang kini beralih dari Lia.

Gadis dengan rambut bergelombang dikuncir dua itu mengangguk semangat. "Ada, di dalem. Masuk yuk, Kak!" sahutnya dengan semangat sampai-sampai menarik tangan Ervan ke dalam rumah. Lia menghela napas sebelum akhirnya mengikuti langkah mereka.

Seorang wanita muda menyambut Lia dan Ervan di dalam ruang tamu. Wanita itu menoleh dan terlihat kaget akan kedatangan tamu tak di undangnya.

"Lho, Ervan. Gak bilang-bilang mau mampir," ucap wanita itu sambil berjalan mendekati Lia dan Ervan. Oh, jangan lupakan anak kecil tadi yang akhirnya kabur setelah mengantar mereka masuk.

Ervan meraih tangan wanita muda itu lalu menciumnya. Sambil tersenyum, ia menjawab, "Iya, Tante Mila. Aku bawa temen aku, lagi nyari kost-kostan. Masih ada yang kosong 'kan?"

Wanita muda yang dipanggil Tante Mila itu mengangguk. "Masih, masih ada dua kamar kosong. Ayo, tante antar."

Tante Mila membawa dua anak muda itu ke halaman belakang, di mana kamar kost yang disewakan berada. Ia berdiri di depan sebuah pintu berwarna hijau, deretan kedua dari kiri yang berdampingan dengan dapur dan kamar mandi.

Wanita muda itu membukakan pintu untuk Lia dan Ervan, mempersilakan mereka untuk masuk melihat-lihat.

"Lia, kamu sendiri saja yang lihat. Aku tunggu."

Ucap Ervan yang tiba-tiba membuat Lia menoleh cepat. "Eh?"

Ervan tak menjawab, Lia pasrah. Ia masuk ke dalam setelah meminta izin pada Tante Mila.

"Siapa kamu, Ervan?" tanya Tante Mila sedikit berbisik.

"Teman."

"Teman spesial, hm?"

Ervan tak menjawab, tepat saat Lia kembali.

Tante Mila berbalik, masih ada sisa rasa penasaran yang menggantung di bibirnya yang merah menyala, namun harus ditahannya sekarang. Tentu, dia tak ingin mempermalukan keponakan kesayangannya itu. "Oh, dek Lia. Gimana?"

"Bagus, Tan. Aku juga pake kamar cuma buat tidur, jadi oke aja," ucap Lia sambil tersenyum.

Ervan ikut tersenyum. "Oke, besok kita ke sini lagi, Tante," sambung Ervan.

"Ya sudah, nanti tante beresin biar bisa langsung ditempatin."

"Kalau begitu ..." Ervan melirik arlojinya sekilas, "Kita pamit dulu, Tante."

______________________________

10 Sep 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top