04. Akhir Kisah Cinta Yogi
Hai hai, bacanya sambil dengerin mulmed, ya. Jangan lupa vote juga😉
.
.
.
.
.
Kabar tentang Yogi ini ternyata cepat sekali menyebar. Bukan karena Arjuna yang ember cerita ke sana ke sini, tapi karena Yogi yang memang mengatakan maksud kepulangannya yang mendadak itu kepada babe Aji selaku pemilik indekos. Tentu saja, hal itu membuat penghuni indekos galau berjamaah.
"Yog, lu kalo nggak sanggup pulang, biar gua yang bilangin ayah lu. Jagan dipaksain." ujar babe Aji dengan tatapan sendunya.
Pria paruh baya yang biasanya marah-marah itu kini tampak begitu teduh saat menatap Yogi.
"Saya nggak apa-apa, Be. Lagian nggak enak sama ayah. Saya nggak bisa alasan sibuk kuliah." jawab Yogi.
Lelaki itu pamit dan menyisakan penghuni indekos yang masih termenung karena memikirkan betapa tanahnya Yogi.
"Yog, lu harus balik ke mari lagi, ya!" teriak babe Aji sebelum Yogi menaiki taksi.
Kalau dikatakan menerima, tentu saja tidak. Yogi sakit hati. Tetapi, ia tidak ingin mengatakan hal itu kepada siapapun. Biarlah semua ini ia simpan sendiri. Ia bahkan berharap kalau perjalanannya kali ini menjadi sangat panjang karena ia belum siap menginjakkan kaki di kediamannya.
Namun, bukannya merasa lama, perjalanan Jakarta-Jogjakarta kai ini terasa begitu singkat. Yogi sudah berada di depan rumahnya yang cukup sepi itu. Karena, mungkin saja sang ayah masih berada di luar rumah.
"Kenapa tidak telepon Ayah, Yog? Ayah kira kamu sampainya pagi."
Perkataan itu membuat Yogi yang sebelumnya tertidur itu membuka matanya perlahan.
"Ayah kan sibuk. Yogi nggak mau ganggu Ayah." balas Yogi yang ikut masuk ke dalam rumah.
"Kamu mau--"
"Yogi ngantuk, Ayah. Kalau mau bicara, besok saja." potong Yogi sebelum memilih masuk ke dalam kamar yang sudah lama tak ditempatinya itu.
Mungkin, itu kali pertamanya Yogi menyelak perkataan sang ayah. Namun, pria paruh baya itu sadar kalau Yogi pasti tidak bisa menerima semua ini.
Esoknya, Yogi tetap sarapan bersama dengan sang ayah meski tak ada pembicaraan di antara mereka. Sampai, sang ayah akhirnya buka suara.
"Yog, nanti kamu ikut Ayah ke pertemuan keluarga, ya." ucapan sang ayah pelan.
"Maaf, Ayah. Tapi sepertinya Yogi hanya datang ke pernikahan Ayah saja nanti."
Seperti yang diperkirakan, Yogi menolaknya. Sebenarnya, Yogi tidak keberatan kalau sang ayah menikah lagi setelah ditinggal mendiang sang ibu. Namun, keadaan kali ini tentu berbeda.
"Tapi, kamu harus tetap ikut, Yog. Maaf kalau Ayah maksa kamu."
"Baik. Kalau begitu, Yogi ke kamar dulu." putus Yogi.
Ia tentu tak sekuat itu sekarang. Kalau boleh, Yogi ingin menangis di bawah guyuran hujan. Tetapi, ia lebih takut demam.
***
Yogi beserta sang ayah sudah tiba di tempat pertemuan yang ternyata di sana sudah ada keluarga Mila. Yogi mati-matian agar tidak menatap perempuan yang dikasihinya itu.
"Siang, Pak, Bu." sapa Yogi sambil mencium tangan kedua orang tua Mila.
"Siang, Yog. Kamu apa kabar?" tanya ibu Mila yang hanya dibalas senyum tipis oleh Yogi.
Tentu saja, Yogi tidak baik-baik saja saat ini. Ia juga tidak ingin menyimak apa yang para orang tua itu katakan. Namun, ia tahu kalau Mila sesekali mencuri pandang ke arahnya.
"Apa kita bicarakan sekarang saja?" tanya ayah Yogi yang langsung diangguki oleh kedua orang tua Mila.
"Yogi..."
"Iya, Yah." sahut Yogi pelan.
Lelaki itu tengah menyiapkan diri untuk mendengar apapun yang ayahnya katakan.
"Ayah minta maaf, ya. Kamu masih cinta sama Mila, nak?" tanya sang ayah.
Yogi merasa kalau pertanyaan ini terlalu sulit untuk ia jawab. Kalau ditanya masih cinta atau tidak, tentu saja iya. Tetapi, bukankah mengatakan itu di hadapan orang yang akan menikah dengan orang lain tidak baik? Yogi hanya diam.
"Yog, kalau kamu masih cinta--"
"Ayah nggak harus mikirin perasaan Yogi, kok." potongnya.
Mila menyandarkan punggungnya lesu. Perempuan itu tidak bisa bicara apapun saat ini.
"Lho, kalau kamu cinta, kamu harus memperjuangkannya, dong. Masa anak Ayah cemen begini?"
Yogi hanya membuang napasnya kasar. Bagaimana ia memperjuangkan perempuan yang akan menikah dengan pria lain? Lebih parahnya itu adalah ayahnya sendiri.
"Yog, Ayah minta maaf kalau kabar ini membuat kamu sakit hati. Ayah juga nggak nyangka kalau ujungnya akan seperti ini."
Pria paruh baya itu menarik napas panjang sebelum kembali bicara.
"Itu adalah wasiat eyang dan eyang Mila. Dulu seharusnya yang menikah anak-anak eyang. Tapi, karena eyang Mila tidak punya anak perempuan, jadi wasiat itu berlaku untuk cucunya."
Yogi hanya mengangguk lesu setelah mendengar penjelasan sang ayah. Mungkin, memang ia tidak berjodoh dengan Mila.
"Maaf, sebenarnya Ayah memang akan menikah lagi. Tapi bukan dengan Mila. Ayah rencananya memberitahu kamu saat kamu libur kuliah nanti. Tapi, surat eyang yang baru dibuka itu membuat semuanya cukup runyam."
Lagi-lagi, Yogi membuang napasnya kasar. Karena, ternyata bukan hanya dirinya yang berada dalam situasi yang sulit.
"Tapi, setelah kami berunding cukup lama, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan ini. Kami tau kalau kamu dan Mila sudah menjalin hubungan cukup lama. Maaf karena membuat kalian berada dalam situasi sulit seperti ini."
Yogi masih belum bisa mencerna perkataan sang ayah dan kini ayah Mila ikut buka suara.
"Yogi, maaf ya karena waktu itu, kami yang menyuruh Mila menelepon kamu. Mila juga tidak tau."
"Jadi?" tanya Yogi bingung.
"Ayah akan menikah sebulan lagi. Tapi tidak dengan Mila, Yog." jawab sang ayah.
"Terus, yang dibilang menikah minggu depan itu apa?" tanya Yogi lagi.
"Itu kami yang merencanakan agar kamu pulang dan mendengar semua ini secara langsung tanpa ada salah paham." Kali ini, ibu Mila yang angkat bicara.
"Kamu masih mau mutusin Mas, Mil?" tanya Yogi yang kini memberanikan diri menatap Mila yang sejak tadi hanya diam.
Perempuan itu menggeleng pelan. "Nggak mau putus sama Mas Yogi." cicitnya.
Ketiga orang tua yang berada di sana sepertinya paham situasi di antara kedua anak muda itu dan memilih pamit.
"Jangan nyerah, Yog. Ayah pulang duluan, ya." Sang ayah menepuk bahu Yogi sebelum meninggalkan tempat itu.
"Mas."
"Mil."
Keduanya bicara secara bersamaan. Yogi mempersilakan Mila bicara terlebih dahulu.
"Mas, Mila nggak mau putus. Mas Yogi nggak marah sama Mila, kan?" tanya perempuan itu lirih.
"Nggak, Mil. Maaf ya kalau Mas kayak pasrah aja. Tapi, Mas nggak bisa ngelawan ayah."
Yogi meraih tangan Mila yang terasa dingin dan menggenggamnya. Menyalurkan kerinduan yang sudah tersimpan beberapa bulan ini. Ditambah dengan situasi yang kurang menyenangkan sebelum ini.
"Mila sayang sama Mas Yogi." ujar Mila pelan dengan wajah yang memerah karena malu.
"Mas juga. Jangan minta putus lagi, ya. Mas nggak bisa tanpa kamu."
Mila mengangguk malu-malu.
***
Kembali ke Indekos babe Aji yang sebenarnya sedang tenang-tenangnya. Sampai, pria pemilik indekos itu berjalan cepat menuju lantai dua dan mengetuk pintu kamar Arjuna sampai hampir roboh.
"AJUN! KELUAR LU! JUN! JANGAN ENAK-ENAKAN MOLOR!"
Arjuna yang memang tidak ada jadwal kuliah itu pun membuka pintu kamarnya sambil mengucek matanya.
"Ada apa, Be? Ajun nggak ada kelas." jawabnya sambil menguap.
"Ape-ape! Lu abis buntingin anak orang? Noh, di bawah ada cewek nangis-nangis sambil manggil nama lu! Gua nggak pernah ngajarin anak kos gua berbuat kagak bener ye, Jun. Tanggung jawab lu!"
"Ha?"
Hayo Ajun ngapain?
Ayo tebak!
#SalamKetjupBasyah😘💦
#authorterjomblosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top