Kos Sultan 4.9
"Kamu tinggal aja di Kos Sultan. Biar Ibu jaga Bapak di rumah sakit."
"Nggak apa-apa, Bu?"
"Nggak apa. Nanti pas Bapak kamu udah sehat kita cari rumah baru. Sekalian nanti istri kamu tinggal di sana. Doakan Bapak cepat sembuh."
Istri ya?
Taiga teringat sekilas percakapannya dan sang ibu. Usianya belum mencapai dua puluh lima tahun, jangan pikirkan jodoh dulu lah.
Pemuda itu tiba di kosnya Senin tengah malam. Tubuhnya benar-benar letih selepas membantu kepindahan orangtuanya seharian.
Ia merebahkan diri di ranjang tipisnya. Malas berganti pakaian terlebih dahulu. Pemuda itu terlelap hingga pukul delapan pagi.
Aktivitasnya berjalan normal. Hanya merasa ada yang kurang. Ia mandi, sarapan, dan berpakaian lalu berangkat kuliah. Siang sampai sore ia menepati janjinya melatih anak-anak kompleks. Umumnya di tingkat SD dan SMP. Dua orang saja yang di tingkat SMA.
"Bang, kok bolanya lari-lari terus pas saya dribble sih?" adu seorang gadis kelas lima SD.
"Coba lihat gimana cara kamu dribble."
Gadis berkucir kuda itu membuka kaki dan menekuk lutut, tangan kanannya memantul-mantulkan bola. Baru beberapa kali pantul, bolanya lari ke pinggir lapangan.
"Cepi! Lemparin bolanya ke sini dong!" seru si gadis.
"Nih, Samsul."
Anak laki-laki berambut mangkok yang dipanggil Cepi menembak bola. Persis seperti tembakan tiga poin andalan Shintarou.
Si gadis kurang sigap, alhasil bola gagal mendarat di tangannya dan ditangkap Taiga.
Taiga menyeringai. Menemukan satu calon muridnya.
"Kamu tadi bukan mantul-mantulin bola tapi lebih ke mukul. Tangan kamu harus rileks jangan kaku."
"Bang, Bang. Aku udah bisa dribble."
"Bentar ya, Abang lagi ngajarin nih adek kalian."
"Bang aku nggak ngerti."
"Iya, nanti Abang ajarin. Bagi yang udah bisa boleh kok ajarin temannya."
Di samping nilai akademisnya yang jelek, Taiga hebat dalam praktek.
Tak mengherankan anak-anak yang diajarinya cepat paham. Walau bukan keseluruhan yang bisa menerapkan ajarannya.
Kemampuan setiap orang berbeda-beda dan tak bisa dipaksa melakukan hal di luar kemampuannya, bukan?
Pukul enam sore, anak-anak itu kembali ke rumahnya masing-masing. Sebelum pulang ke kos, Taiga tersenyum tipis ke pohon beringin yang dilukis Seijuurou pada tembok lapangan.
Pemuda bermarga Akashi itu pasti sibuk mengurus perusahaannya. Tugas seorang direktur utama alias CEO sangat berat. Mereka sibuk mengurus ini dan itu demi kemajuan pun perkembangan perusahaan.
Bukan one night stand dan mabuk-mabukan seperti CEO-CEO di novel-novel wattpad.
Handuk menggosok rambut merah gradasi hitam Taiga yang basah. Titik-titik airnya berserakan. Tangan Taiga menyisir helai-helai rambutnya.
Pemuda itu memutuskan ke dapur bersama. Mungkin ada makanan.
Taiga membuka tudung saji dan terlihat piring-piring kosong.
"Lo mau nyuci piring? Tumben," celetuk Tatsuya.
"Gak. Ogah."
Taiga membuka kulkas dan menemukan dua kaleng soda, ia mengambil satu dan pergi ke ruang keluarga.
Reo, Tetsuya, dan Koutarou berkumpul membentuk lingkaran. Shougo dan Shuuzou bermain PS. Bukan hal yang aneh.
Tapi ada sesuatu yang kurang.
Apa ya?
Terlihat Daiki menuruni tangga. Biasanya cowok itu bermain game dengan Taiga, membaca majalah, atau mengusili Ryouta.
Ah iya Ryouta. Pantas kos sedikit sunyi tanpa teriakan cemprengnya. Pun kadang pukul tujuh Seijuurou menampakkan diri di pintu utama dan mengingatkan KiseDai latihan.
"Kelihatannya asik bener," ujar Taiga bergabung ke lingkaran Testuya, Reo, dan Koutarou.
"Iya. Aku lagi liatin Koutarou sama Teteh Reo main tic tac toe di google."
"Kebetulan kita berempat gimana kalau main Ludo King?" usul Koutarou.
"Boleh boleh."
Keempat pemuda itu hanyut dalam permainan. Saling mengejar bidak atau memakan bidak pemain lain. Di tengah permainan, Taiga merasa sedikit aneh.
Ah iya. Biasanya pukul delapan malam Taiga dan teman-teman setimnya tidak di kos, melainkan di lapangan.
Aktivitasnya pada malam hari berubah sejak kemenangan Vorpal Swords. Pun perginya Seijuurou dan Ryouta ke tempat baru. Taiga sedikit belum terbiasa.
Dari dapur, terlihat Shintarou menggenggam sekaleng soda dan Atsushi di belakangnya yang memeluk posesif tabung keripik Pringles. Di depan televisi, Daiki menggantikan posisi Shuuzou. Ia bermain dengan Shougo.
Junpei pergi ke dapur dan mulai memasak rotinya, dibantu Tatsuya. Kousuke merevisi skripsi di karpet ruang keluarga. Kazunari bersenandung riang sehabis pulang kuliah.
"... iga."
"Taiga."
Taiga tersadar. Tetsuya di sebelahnya memanggilnya. "Hn?"
"Giliran kamu sekarang."
Di sebelahnya, rekan sekamar sekaligus bayangannya hadir. Taiga mengetuk ponsel Reo, dadu di dalam layar berputar dan menunjukkan enam biji. Bidak Taiga bergerak enam kotak. Menekan sekali lagi, bidak merahnya bergerak empat kotak dan masuk ke safe zone.
Semua anggota Vorpal Swords ada di kos dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Shintarou sibuk mempersiapkan sidangnya, Daiki bermain PS bersama Shougo, Kazunari yang rebahan sepulang kuliah, Kousuke yang merevisi skripsi, Atsushi yang menonton video YouTube sembari mengemil, Junpei yang membuat rotinya, juga Taiga dan Tetsuya yang bermain Ludo King.
Seijuurou dan Ryouta pengecualian. Mereka bukan lagi penghuni Kos Sultan. Meski begitu, bukan berarti mereka harus dilupakan.
Sedikit sepi rasanya tanpa kedua pemuda itu. Ya sudahlah, mungkin efek belum terbiasa.
***
Ryouta di atas ketinggian tiga puluh delapan ribu kaki menggenggam gelas kopinya. Memandang langit gelap dan awan yang ditembus pesawat.
Dulu ia naik kendaraan ini sebagai penumpang ketika liburan ke Bali. Kini dirinya yang membawa pesawat. Debut pertamanya di dunia penerbangan Ryouta menduduki posisi co-pilot pesawat yang berangkat dari New York menuju London.
Ryouta harus menyiapkan baterai ponselnya terisi penuh dan memotret keadaan London kalau bisa. Ia memberitahu pada penggemarnya bahwa ia baik-baik saja selepas pensiun dari dunia permodelan. Tentu teman-temannya di Kompleks Beringin juga harus tahu keadaannya.
Jam tangan biru tua melingkar di pergelangan tangan, benda itu pemberian Daiki. Gantungan kunci bola basket menggantung di resleting tasnya. Kacamata hitam yang diberi Shintarou juga ada di sana.
Maniknya menerawang. Mengira-ngira apa yang dilakukan para sahabatnya sekarang, terutama Daiki. Pasti pemuda itu sedikit frustasi dan bosan karena tak ada Ryouta yang diusilinya.
"Hello, are you with me?" Pilot senior yang bersama Ryouta menarik pemuda itu dari lamunannya. Menyadari si pirang beriris madu tak menanggapi perkataannya.
"I'm sorry. Can you repeat what you said?"
Ryouta sedikit tertawa, ia selama ini sengaja pura-pura salah pengucapan ketika berbicara dalam bahasa Inggris. Teman-temannya sukses tertipu dan mengira pengucapan bahasa Inggris-nya benar-benar jelek.
***
Seijuurou di salah satu gedung pencakar langit Julikarta duduk di atas kursi kebesarannya. Dibukanya laci yang berisi momogi yang tinggal separuh, pena berbentuk kunci, jam tangan merah, dan gantungan kunci bola basket.
Kenang-kenangan dari para sahabatnya.
Seijuurou mengambil sebungkus momogi dan ia robek ujungnya. Sebatang momogi ia ambil dan gigit. Pemuda itu memutar kursi, menghadap jendela besar yang memperlihatkan suasana hidup Kota Julikarta di malam hari.
Lampu-lampu bangunan dan jalanan menyala terang, ditambah sinar kendaraan yang hilir mudik sepanjang jalan.
Seijuurou mengulum senyum tipis, dulu jam segini ia tiba di kos. Mengingatkan teman-temannya latihan. Berada di lapangan dan mengamati perkembangan mereka.
Sekarang aktivitasnya mendadak berubah. Ia disibukkan mengurus perusahaan dan mengembangkan sayapnya lebih lebar.
Menyandarkan punggung, Seijuurou mengurut pangkal hidung. Semua pekerjaan ini melelahkan dan berat. Hidup di kos-kosan sederhana lebih menyenangkan daripada seharian di kantor berpendingin ruangan.
Seijuurou kesepian dan jenuh menghadapi kesibukan yang terhidang setiap membuka mata di pagi hari.
Kewajiban tetaplah kewajiban. Ia bukan lagi remaja labil dan pemberontak. Seijuurou sudah dewasa dan wajib mengemban tanggung jawab yang dilimpahkan pada pundaknya.
Ia memutar kursi lagi, bungkus kosong ia lempar ke keranjang sampah dan melanjutkan pekerjaan.
***
Eto memandang keluar jendela kamar yang terletak di lantai dua. Rize menyadari sahabat karibnya itu tengah patah hati.
Siapa yang tak bersedih ditinggal sang pujaan hati?
Selama dua hari ini Eto tidak ke Kos Sultan. Berkemungkinan gadis itu belum menerima kenyataan hilangnya keberadaan Akashi Seijuurou dari Kos Sultan.
Rize membiarkan Eto menangis, menumpahkan kesakitan di hatinya. Nanti bila kesedihannya perlahan menghilang, gadis bersurai hijau itu pasti mendapat keceriaannya kembali.
***
Eren menyandarkan tubuh di jendela yang terbuka lebar. Angin membelai rambut cokelat tuanya. Di sebelahnya Jean turut menikmati angin malam.
Ada yang sedikit berbeda.
Ya. Lenyapnya suara jeritan Ryouta dari pendengaran mereka atau suara tegas Seijuurou memerintahkan teman-temannya ke lapangan.
"Gue inget banget pas maling mangga waktu itu lho, si Ryouta cantik bener dandan jadi cewek, pangling gue," celetuk Jean.
"Njir homo lu," cibir Eren.
"Nggak idih, gue masih suka Mikasa," balas Jean geli.
"Btw ngapain lo tiba-tiba ngomong gini dah?"
Jean menggeleng. "Aneh aja gitu. Biasanya KiseDai lengkap, tapi sekarang berkurang dua anggota. Malam-malam gini mereka latihan."
"Hm iya juga. Biasanya ricuh tuh pergi ke lapangan buat latihan."
***
Hari terus berjalan. Matahari terbit tanpa dipinta. Satsuki berangkat ke sekolah diantar sang ibu. Ia melangkah, mendengar berisiknya obrolan-obrolan para murid yang terus berdatangan.
Duduk di kursinya dan melepas tas, Satsuki membuang napas berat. Tiga hari tanpa Seijuurou dan Ryouta seperti ada yang kurang.
Satsuki terbiasa melihat KiseDai lengkap anggotanya. Aneh rasanya ada anggota yang pergi. KiseDai dengan seluruh keanehan, kekurangan, dan kelebihan saling melengkapi.
Perginya dua anggota mereka seperti hilangnya kepingan sebuah puzzle yang utuh.
Kedua tangan Satsuki terkepal. Ia harus ikhlas. Pasti ada kemungkinan bertemu lagi. Terutama dengan Seijuurou yang masih berada di Kota Julikarta.
Awalnya memang berat, Satsuki tahu ia harus berusaha mengikhlaskan dan tak lagi menangisi kepergian dua sahabatnya. Bukannya terkesan lebay menangisi sahabat yang cuma pindah tempat tinggal?
Mereka masih hidup dan pasti bisa berkomunikasi lagi. Bukan meninggal. Satsuki merasa tak perlu bersedih lebih jauh dari ini.
"Lo kenapa? Akhir-akhir ini kelihatan sedih." Arumi baru datang duduk di bangku sebelahnya, manik ungunya menyorot khawatir ke Satsuki.
"Gue ... nggak apa-apa."
Satsuki membuang wajah ke jendela di sampingnya, menampilkan murid-murid yang berkeliaran di lingkungan sekolah.
Terlihat pesawat melintas di langit. Apa itu Ryouta? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.
Sejauh apapun jarak yang tercipta, Satsuki harap mereka tak melupakannya dan penghuni-penghuni Kompleks Beringin.
Ia jadi teringat Eto. Mesti cewek itu bersedih hati dan perlu dukungan. Satsuki berencana ke sana akhir pekan nanti untuk menghibur kakak tak sedarahnya. Ia akan mencoba menerima kenyataan bahwa takkan menjumpai Seijuurou dan Ryouta di Kos Sultan.
***
Perpisahan itu menyakitkan.
Baik untuk pihak yang meninggalkan ataupun yang ditinggalkan.
Pihak yang pergi berat meninggalkan sahabat-sahabatnya yang menangis, memintanya untuk menetap. Pihak yang ditinggalkan pun harus merasakan sakit tak bertemu orang yang selalu bersamanya.
Mereka sudah dewasa, bukan lagi remaja-remaja labil. Mereka harus berlapang dada menerima perpisahan, ada tanggung jawab yang lebih penting dari hidup menyenangkan di masa muda bersama sahabat.
Semakin bertambah usia, semakin banyak perpisahan yang ditemui. Sahabat-sahabat yang selalu melempar candaan, berbagi kisah suka maupun duka, cepat atau lambat pasti pergi.
Pergi menyelam kehidupan dewasa lebih jauh. Mengurus kehidupan masing-masing, fokus mengejar tangga karier yang lebih tinggi. Menikah dan berkeluarga, menipiskan kesempatan bertemu.
Pada akhirnya kisah menyenangkan bersama sahabat di masa muda harus berakhir cepat atau lambat. Kehidupan yang keras menanti di depan mata harus diprioritaskan daripada bersenang-senang bersama sahabat.
Perlahan di masa depan mereka saling pergi, saling meninggalkan, dan saling membawa kenangan yang pernah diukir bersama.
Kenangan itu takkan pernah hilang. Hanya saja digantikan sesuatu yang lebih penting. Suatu hari nanti ada masanya mereka merenung, mengenang kembali kisah masa muda yang sempat terlupakan karena kesibukan. Tersenyum kecil, tertawa bahagia, atau menangis mengenang semua momen bersama para sahabat.
Ya. Perpisahan adalah proses penempaan mental seseorang untuk lebih dewasa lagi dan tak gentar menghadapi beratnya kehidupan yang sebenarnya.
Perpisahan akan selalu hadir di hidup. Sedekat apapun suatu hubungan pasti ada perpisahan.
Orangtua yang merawat kita sejak kecil ada masanya mereka pergi karena telah menyelesaikan tugasnya.
Sahabat yang menemani kita di setiap titik akan pergi dan fokus ke kehidupannya.
Bahkan anak yang di kandungan pun dapat pergi dipanggil Sang Pencipta.
Semuanya fana. Tiada yang abadi di dunia ini.
Persiapkanlah hati kalian karena perpisahan datang secara mendadak.
Boleh menangis, setelah lega bangkitlah kembali. Teguhkan hati dan dewasakan pikiran. Hadapi tantangan hidup yang lebih berat di depan mata.
THE END
Halo! Dengan ini aku menyatakan Kos Sultan resmi tamat! Yeay! 🥳. Nge-feel nggak chapter terakhirnya? Please jawab ya, biar aku tau dan bisa revisi.
Chapter depan epilog dan kata-kata penutup dari author.
Btw bocah SD yang dipanggil Cepi bukan punyaku, tapi punya Oja Aritonang selaku author webtoon SMA'SD.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top