Kos Sultan 4.8

“Gue jam dua belas malam nanti berangkat ssu. Lo jam sepuluh 'kan? Istirahat dulu sini.”

Taiga mengangguk. Penerbangannya diundur. Pesawat yang akan dinaikinya mengalami kesalahan mekanis dan dalam perbaikan.

Kedua pemuda itu beristirahat di salah satu kamar kapsul yang disediakan di bandara. Ryouta menelungkup menonton televisi di depannya dan Taiga duduk bersandar di dinding, memejamkan mata menikmati lantunan musik yang menggema di telinganya.

Ryouta membuka ponsel dan menggulir beranda Instagram-nya. Sebuah ide terlintas di benak pemuda itu. Ia menyeringai.

Perlahan Ryouta merangkak dan melepas sebelah earphone di telinga Taiga dan mendekatkan ponselnya ke telinga pemuda itu.

Suara gonggongan anjing bervolume keras mengejutkan Taiga. Pemuda itu terlompat kaget dan kepalanya membentur langit-langit kapsul.

“Anjing! Bikin kaget aja lo.”

Kulit Taiga memucat. Jantungnya bereaksi dan bekerja di luar batas maksimal. Pori-porinya segera mengeluarkan keringat dan paru-paru menghirup napas sebanyak-banyaknya.

Ryouta terkekeh. “Pembalasan, Taiga-cchi.”

Dirasa dirinya tenang, Taiga kembali bersandar dan memasang earphone-nya.

“Lo jangan nggak ada akhlak di sini, gue tendang lama-lama.”

“Kok gitu ssu? Gue yang bayar. Yang ada lo gue tendang.”

Taiga bergeming dan kembali hanyut dalam gema musik bergenre rock favoritnya. Ryouta menyeduh dua ramen cup dan ia sodorkan ke Taiga.

“Kok untuk gue satu doang?”

“Lo maunya berapa?”

“Minimal tiga.”

“Beli sendiri.”

Ryouta menggulung mi dan manik madunya kembali tertuju ke layar televisi.

“Taiga-cchi.”

“Hm?”

“Awalnya gue ragu Seijuurou-cchi masukin lo jadi bagian KiseDai dan pengen nolak keputusan dia. Tapi pas latihan gue lihat lo lumayan pantes buat jadi bagian kita.”

“Iya dong. Gue 'kan hebat.”

Taiga tersenyum sombong. Satu cup ramen instan ludes olehnya. Ia memasukkan sampah ke kantong hitam yang disediakan Ryouta sebagai penampung sampah.

Ryouta mendengkus dan menatapnya malas.

“Gue selama ini mikir lo cowok cengeng yang penakut, tapi gue nggak nyangka lo calon pilot. Mungkin nanti ada kemungkinan gue jadi penumpang lo,” ujar Taiga.

“Sejak kapan gue penakut? Gue cowok jantan nan pemberani.”

Ryouta membusungkan dada angkuh.

“Halah, lo disodorin cacing auto teriak-teriak.”

“Itu 'kan beda konsepnya ssu.”

Kedua pemuda itu terus berbincang, mengenang keseruan yang mereka lakukan. Diselingi tawa dan ejekan, tentunya.

Momen mereka yang paling berkesan saat jalan-jalan ke air terjun, liburan di Bali, dan membersihkan lapangan tadi pagi.

Di mana waktu itu mereka semua bersenang-senang bersama.

Sekarang tidak mungkin bersenang-senang seperti itu. Waktunya fokus ke hidup masing-masing.

Ya, realita selalu menyakitkan. Kita tak mungkin terus-terusan bersenang-senang dan larut dalam kesenangan fana.

Keduanya terlelap. Televisi menyala menampilkan pertandingan mereka tadi malam. Ryouta terbangun mendengar suara televisi yang mengganggunya hingga ke alam mimpi.

“Jam berapa sih ssu?” Ryouta mematikan televisi dan mengecek ponselnya.

Pukul setengah sepuluh. “Taiga-cchi. Taiga-cchi. Woi, bangun ssu.”

Nihil respons. Ryouta memutar keras-keras suara gonggongan anjing dari ponselnya.

“WAH ANJING! ANJING!” Taiga terbangun. Napasnya ngos-ngosan.

“Pesawat lo bentar lagi berangkat ssu.”

“Oh iya ya.”

Taiga bergegas mengemasi ponsel dan earphone ke dalam tas, hanya dua benda itu saja yang ia keluarkan. Pemuda itu melompat turun dari kamar kapsul.

Pun Ryouta yang mengantarnya sampai pintu masuk bandara.

“Mudah-mudahan lo sampai dengan selamat di sana dan gue mau lihat tim basket lo di masa depan,” ucap Ryouta tersenyum tulus, kali ini bukan senyum tengilnya.

“Makasih. Lo juga kerjanya hati-hati, jangan sampai jatuhin pesawat. Gue pergi dulu. See you again.” Taiga balas tersenyum bersahabat, bukan seringaian yang sering ia perlihatkan.

See you again too.”

Kedua pemuda itu saling beradu tinju dan berbalik. Taiga check in dan Ryouta naik ke kamar kapsulnya. Saling melangkah ke tempat yang berbeda dan membawa perasaan enggan berpisah yang sama.

Aih, di setiap hubungan pasti ada perpisahan. Hubungan persahabatan, keluarga, atau percintaan. Ada saja cara takdir memisahkan seperti maut, pekerjaan pribadi, dan lain sebagainya.

“Enaknya bisa tidur lagi ssu eh ini apa?”

Sebuah gantungan kunci berbentuk bola basket tergeletak di dekat bantalnya. “Punya Taiga-cchi ssu ka?

Ryouta mencari kontak Taiga dan meneleponnya. Butuh dua detik baru Taiga mengangkat.

Wih udah kangen gue aja.

“Kagak ssu. Gantungan kunci lo tinggal.”

Udah ambil aja buat lo. Gue mager ngambil.

“Tapi ssu-”

Telepon diputus sepihak. Tampaknya Taiga memang berniat meninggalkan gantungan kunci itu untuknya. Senyum Ryouta terukir di wajah tampannya.

Diliriknya camilan sehat, kantong, kacamata, dan gantungan kunci di tangannya bergantian. Atsushi. Daiki. Taiga. Mereka bertiga adalah teman Ryouta menciptakan kerusuhan. Shintarou adalah penengah keempat pemuda itu setiap merusuh.

Meski teman-temannya yang lain tak memberi kenang-kenangan, Ryouta tetap menyimpan mereka dalam ingatannya.

Selama di Kos Sultan ia belajar beberapa pelajaran kehidupan. Salah satunya persahabatan. Ryouta berbaur dan bersahabat dengan remaja-remaja yang biasa saja. Hidup normal, pergi ke kampus, atau nongkrong.

Remaja-remaja perantau yang tinggal di kos-kos Kompleks Beringin memiliki hati yang tulus. Berbeda dengan rekan Ryouta sesama public figure yang kebanyakan palsu dan tikam belakang.

Ketulusan tak selalu diperlihatkan menggunakan uang dan barang, bukan?

***

Taiga menyusuri lorong rumah sakit yang ramai. Sesekali terlihat dokter dan perawat yang keluar-masuk dari setiap kamar.

Pemuda itu meregangkan tubuh, efek jet lag menghilang setelah ia tidur semalaman di rumahnya. Ya, Taiga tak mengatakan pada teman-temannya bahwa ia punya rumah di Kabupaten Badung. Hanya mengatakan pergi ke Bali pada penghuni Kos Sultan tanpa informasi tambahan apapun.

Alasan Taiga ketika liburan bersama KiseDai tidak ke rumahnya tentu saja pemuda itu ingin menikmati liburan bersama para sahabat. Ditambah lagi Taiga belum terlalu siap menceritakan kehidupannya lebih jauh.

Di ujung lorong lantai tiga, Taiga berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu. Seorang wanita berambut merah membukakan pintu.

Wanita itu tersenyum.

“Masuk, Taiga.”

Di dalam ruangan terlihat ayahnya berbaring di ranjang. Rambutnya tipis, pun sisa hidupnya. Taiga meringis.

Ayahnya yang dulunya bertubuh tinggi atletis dan berambut hitam lebat kini terbaring lemah. Tubuhnya ringkih dan rambutnya nyaris tak terlihat. Efek kemoterapi kanker paru-parunya.

“Taiga apa kabar, Nak?” Pria itu tersenyum kala Taiga mendudukkan diri di sebelah ranjangnya.

“Baik-baik aja. Bapak gimana?”

“Ngelihat kamu tinggi gede gini rasanya Bapak bisa sembuh sekarang. Dulu masih ingat banget di Amerika kamu kecil dan suka nangis-nangis minta Bapak sama Ibu cepat pulang.”

Pria itu terkekeh lemah. Taiga menunduk, kedua tangan mengepal di atas paha. Pedih melihat bapaknya yang dulu tangguh bekerja siang malam kini terbaring tak berdaya.

Taiga ingin melihat bapaknya hidup di masa tua dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Bukan di ambang kematian seperti ini.

“Kabar kamu gimana, Taiga?”

“Baik....” Taiga melirih.

“Bagus kalau gitu. Ibu senang dengarnya.”

Ibu Taiga duduk di seberangnya, tersenyum menatap kedua laki-laki yang sangat dicintainya.

“Ibu baik-baik aja 'kan?”

“Iya, Ibu nggak apa-apa. Apalagi abis nontonin kamu tanding sama Jabberwock. Bapak kamu jadi supporter dadakan lho, teriak-teriak nggak jelas nyemangatin kamu pas tanding, selamat ya,” cerita wanita itu. Wajah semi keriputnya dihiasi senyum lembut.

“Selamat udah menangin pertandingannya. Bapak kesel sih sama Jabberwock yang main kasar terus nuduh kamu lukain kaptennya.”

Taiga mengangguk. “Makasih. Mereka emang ngeselin, Pak.”

Bapaknya tersenyum. Lembut dan tegas. Senyuman yang sama dimiliki Kiyoshi Teppei. Tak heran setiap melihat pemuda itu Taiga teringat bapaknya.

“Taiga udah gede sekarang. Udah cocok jadi pemain basket. Semoga kamu bisa bikin tim sendiri dan menangin pertandingan internasional. Bapak harap masih bisa hidup dan lihat kamu waktu udah mencapai cita-cita. Atau sekalian pas kamu udah punya anak nanti.”

“Bapak harus bertahan tetap hidup. Taiga pengen lihat Bapak dan Ibu dalam keadaan sehat di masa tua. Bukan karena Taiga nggak mau ngerawat, Taiga cuma mau lihat Bapak dan Ibu bahagia.”

“Bapak berharap gitu, Taiga. Makanya Bapak dipindahkan ke rumah sakit di Julikarta. Pelayanan dan perawatannya lebih canggih.”

“Hah?”

Tiba-tiba saja bapaknya mengatakan akan dipindahkan ke rumah sakit di Julikarta. Ibunya tak pernah mengabari hal itu ke Taiga.

“Iya. Ibu nggak bisa ngelarang kamu jadi pelatih basket. Kamu gigih banget. Tapi di satu sisi Ibu nggak kuat ngurus restoran sendirian.

“Kebetulan dokter menganjurkan bapak dipindahkan ke Julikarta. Ibu setuju aja, biar kamu dan Ibu barengan ngurus bapak. Terus restoran utama Ibu pindahkan juga ke Julikarta. Biar kita bareng-bareng ngurusnya. Yang di sini biar jadi restoran cabang.”

Taiga mengangakan mulut. Terperangah. Ada sesuatu yang bergelora di dadanya. Perasaan bahagia.

Kesempatan membentuk tim sudah ia dapatkan, pun restu orangtua. Rasa semangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Taiga menguatkan tekad.

Ia selangkah lebih dekat dengan cita-citanya.

“Bukannya mindahin restoran utama bikin kita ngeluarin banyak biaya, Bu? Taiga mau kok jadi pelatih basket di Bali.”

Ibunya menggeleng. “Nggak apa-apa. Bapak 'kan bakalan dirawat di sana, ya sekalian aja kita menetap di Julikarta. Ibu ragu kalau orang lain ngurus restoran utama di sini, makanya Ibu pindahin ke Julikarta. Masalah uang jangan cemas.”

“Taiga nggak nyangka Ibu bakal biarin Taiga jadi pelatih basket. Sebelum-sebelumnya Ibu ngotot banget ngelarang Taiga kuliah di Fakultas Olahraga.”

“Iya, Ibu bolehin, Ibu nggak mau jadi orangtua penghancur cita-cita anaknya. Kamu udah gigih dan yakin banget pengen jadi pelatih basket. Lagian Ibu nggak mau terus-terusan jadi orangtua yang buruk.”

“Bapak juga pengen ngehabisin waktu sama kamu, Taiga. Nyesel dulu Bapak milih kerjaan daripada kamu.”

“Maafin Bapak sama Ibu jadi orangtua yang buruk ya, Nak.”

Taiga terenyuh, ia menggeleng. Masa kecilnya yang buruk memang disebabkan keegoisan orangtuanya. Namun, Taiga tak menyimpan dendam sama sekali.

Setelah melewati masa-masa berat di kehidupan, orangtuanya berdamai dan lebih fokus merawatnya. Bagi Taiga itu sudah cukup untuk menebus kesalahan mereka di masa lalu.

“Nggak. Bapak sama Ibu udah memenuhi tugas sebagai orangtua yang baik. Kalau Bapak dan Ibu orangtua yang buruk, nggak mungkin kondisi badan dan mental Taiga sebaik ini. Terus nggak mungkin pula Taiga kuliah dan hidup normal sebagai seorang mahasiswa.”

Wanita itu terharu, perasaan bersalah yang hinggap di hatinya bertahun-tahun lamanya diangkat oleh penjelasan jujur dari putra semata wayangnya.

“Sini jagoan Bapak.”

“Ih, Bapak. Taiga 'kan bukan anak kecil.”

Taiga menghindari sang ayah yang hendak memeluknya. Dari samping tanpa Taiga sadari, ibunya memeluk pemuda itu. Tangisnya tumpah.

Bapaknya ikut memeluk pemuda itu dari sisi samping yang lain.

“Makasih. Makasih udah ngertiin Bapak sama Ibu.”

Pelukan hangat kedua orangtuanya. Ucapan terima kasih dan maaf. Inilah yang Taiga tunggu sejak lama.

Bersambung...
Chapter depan adalah last chapter :). Btw masa lalu Taiga udah aku ungkap di chapter Kos Sultan 2.7 pas revisi.







GAS TERUS NIH HSSHSH. LAST CHAPTER MASIH DALAM PROSES 💪. ADA YANG SETUJU KITA NGADAIN QNA?

MAAP AQ NGEGAS AQ TERLALU EXCITED KARENA KOS SULTAN HAMPIR TAMAT.

Tp sebenarnya aku belum siap berpisah sama mereka, hikd 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top