Kos Sultan 4.7

"Tadi Ryouta sekarang Seijuurou. Ciee...."

Taiga ikut menyoraki Seijuurou dan Satsuki. Tadi kaki Satsuki terpelikuk dan ia nyaris terjatuh jika Seijuurou tak menahan lengannya. Daun pohon yang berguguran memberi efek dramatis.

"Enak ya nge-harem gini," canda Satsuki. Terkekeh kecil.

"Malah seneng," cibir Seijuurou.

"Iya dong. Tapi hati Satsuki tetap setia untuk Mas Tetsu seorang!"

"Tet, apa jawaban lu?" Kazunari menyikut Tetsuya yang menyedot pop ice-nya.

Tetsuya mendongak. Menerawang ke langit yang menggelap.

"Idih Tetet nggak seru," celetuk Eto. Tetsuya sama sekali tak merespons.

"Satsuki udah biasa, Mbak." Cewek bersurai sakura itu tertawa kecil memaklumi.

"Yang sabar." Rize pelan punggungnya.

"Mending sama gue aja."

"Idih." Kompak gerombolan remaja itu mencibiri Jean.

"Udah udah kasihan Mas Jean."

"Memang dikau adalah malaikatku, Satsuki."

Eren berlagak muntah mendengarnya. Bikin mual.

Satsuki lagi-lagi tertawa kecil seraya menaiki motor yang dibawa Reo, gadis itu akan diantar pulang ke rumahnya.

"Mas Seijuurou sama Mas Ryouta jangan lupa buat ngasih kabar ya. Jangan sombong! Jaga diri baik-baik di sana. Semoga sukses."

Satsuki mengaitkan kunci helmnya dan tersenyum. Hatinya nyeri. Memaksa setetes cairan bening jatuh dari manik merah mudanya. Senyumannya luntur perlahan, digantikan garis wajah yang memperlihatkan kesedihan.

"Sampai jumpa lagi, bye bye!" Satsuki melambai.

Reo sempat tersenyum kecil dan memacu motor. Ia dan Ryouta tak sedekat dirinya dan Seijuurou. Namun, ia merasakan kehilangannya sama. Memberi nyeri di hati.

Hatinya berlubang, seperti ditembus peluru. Ia selalu merasa seperti ini setiap Kos Sultan kekurangan anggota.

Satsuki di balik kaca helmnya terisak, bila nanti ia ke Kos Sultan yang ditemuinya hanya Tetsuya, Taiga, Shintarou, dan Atsushi.

Tanpa Ryouta.

Tanpa Seijuurou.

Ryouta melambai, matanya dipenuhi cairan bening. Tangannya berusaha mengusap setiap tetes air yang jatuh.

"Kita pulang dulu ya," ucap Eto. Matanya yang biasa berbinar usil, kini menatap sendu Ryouta dan Seijuurou bergantian.

Seijuurou memang berangkat besok pagi. Terlalu pagi malah, Eto yakin di saat Seijuurou pergi ia masih terlelap dalam mimpi indahnya. Malam ini pun Seijuurou pasti sibuk mempersiapkan kepergiannya. Minim kemungkinan mereka bertatap muka di waktu-waktu terakhir.

Eto berjalan menunduk, menjauhi teman-temannya. Ia tak sanggup berbicara dengan Seijuurou. Bibirnya terlalu berat mengucapkan ucapan sampai jumpa, hatinya menolak fakta mereka berpisah.

Perasaan menyakitkan meremas dadanya, membuat napasnya menjadi sesak dan memaksa bulir-bulir air keluar dari manik hijaunya.

Seijuurou membeku di tempatnya. Merasa bersalah. Ia juga merasa sakit harus meninggalkan teman-temannya. Namun, kewajiban tetaplah kewajiban.

Andai ia terlahir di keluarga biasa. Menjalani kesehariannya sebagai mahasiswa biasa. Seijuurou pasti tak meninggalkan mereka dan tidak perlu merasakan sakit di hatinya.

Rasa bersalah. Sedih. Kehilangan. Semuanya teraduk menjadi satu di hati dan menimbulkan luka dalam. Seijuurou tetap berusaha terlihat tegar.

Di keluarganya setiap laki-laki dilarang memperlihatkan sisi lemahnya. Sungguh toxic masculinity.

"Gue cuma mau bilang good luck aja," ujar Jean. Seijuurou mengangguk. Keduanya tak terlalu dekat.

Jean tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak merasa kehilangan Seijuurou seperti Eto yang menyukai pemuda berambut merah itu.

Atau ... sebenarnya Jean memang merasa kehilangan? Ada sesuatu yang menyebabkan hatinya perih. Apakah ini karena kepergian Seijuurou dan Ryouta secara bersamaan?

Kos Sultan takkan lengkap tanpa presensi kedua pemuda itu.

"Jangan hobi lempar gunting lagi," sambung Eren.

"Nggak kok."

"Hati-hati pas di Amerika. Kenalin gue sama cewek cakep di sana ya," ucap Jean ke Ryouta, pemuda itu tersenyum getir.

"I-iya ssu." Ryouta membalas senyuman pemuda itu.

Ia jadi ingat ketika menangkap Jean yang maling mangga. "Tapi lo 'kan udah kepincut duluan sama gue," ucap Ryouta menghapus air mata di wajah. Malu dirinya yang merupakan seorang laki-laki menangis di tempat umum.

"Kapan?"

"Waktu lo maling mangga."

"Ah, waktu itu lo ngebanci."

Kedua pemuda itu tertawa. Ya, tawa terakhir sebelum berpisah. Tiada yang tahu kapan mereka bertemu lagi.

Jean, Seijuurou, dan Ryouta beradu tinju, Jean melambai dan tersenyum. Berbalik mengikuti langkah Eto yang jauh darinya.

"Lu kerja yang bener di sana, oke?" Eren menepuk pundak Ryouta.

"Oke ssu. Eren-cchi juga jangan males-malesan bikin tugasnya."

"Iye iye."

Connie, Sasha, Rize, dan Juuzou yang tak terlalu dekat dengan Ryouta dan Seijuurou hanya tersenyum lalu mengikuti ketiga teman mereka.

"To! Eto! Jalan lo kenceng banget sih." Jean memanggil Eto, kesulitan mengejar cewek berambut hijau itu.

Eto berhenti. Mengangkat sebelah tangan, punggung kecilnya bergetar. Teman-temannya menyusul di belakang dan berhenti.

"Tok." Eren berdiri di depan Eto dan memegang kedua bahu cewek itu.

"Lo ... nangis."

"Gimana gue nggak nangis? Gue nggak rela mereka pergi. Gue takut nanti dilupain sama mereka." Eto terisak, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Jarang sekali cewek ceria itu menangis. Jika ia menitikkan air mata, artinya hatinya benar-benar hancur dan sedih.

"Kita semua juga sedih, To. Mereka pasti sedih ninggalin lo. Kalau beneran tulus, nggak mungkin mereka ngelupain lo," hibur Jean. Di balik sifat tengilnya, Jean adalah pemuda peka.

Ia dan teman-temannya yang lain paham. Eto dan penghuni Kos Sultan sangat dekat. Terutama dengan KiseDai. Cewek itu sering berkumpul bersama KiseDai.

Terlebih sejak KiseDai ditantang Jabberwock. Eto ikut membantu KiseDai meningkatkan gaya permainan dan stamina. Pun menghabiskan waktu bersama di luar latihan.

Dirangkul Sasha dan Jean, Eto berjalan menyusuri trotoar. Meraba kembali setiap kenangannya bersama KiseDai di saat anggota mereka masih lengkap.

Juuzou, Connie, Rize, dan Eren turut mengiringi di kedua sisinya. Siapapun yang tinggal di sekitar Kos Sultan tahu bagaimana lengketnya hubungan Eto dan KiseDai.

Cewek itu pasti hapal kekurangan dan kelebihan, pun ciri khas mereka. Setiap kenangan yang mereka bentuk bersama di kota ini terputar jelas di ingatan Eto.

Ia ingat di trotoar ini ketika latihan fisik Ryouta mengeluh dan merengek kepanasan. Seijuurou menegurnya. Disusul ejekan Daiki. Setelah itu Ryouta tak lagi merengek dan meribut, tentunya.

Lalu di air terjun Ryouta tertawa riang bersama Daiki dan Taiga, berburu ikan paling banyak. Seijuurou mengendalikan sifat liar teman-temannya selama di air terjun.

Indah. Semuanya indah.

Namun, momen indah takkan terulang lagi dan hanya tersimpan dalam kenangan. Lambat laun pasti terlupakan. Tenggelam di dasar ingatan. Tertutup memori-memori bersama orang baru yang lebih indah.

"Lo berangkat besok 'kan?" tanya Kazunari.

"Iya. Tapi gue ke kantor dulu, ada kerjaan dikit. Kayaknya ntar balik ke kos pas malem."

"Lo pasti balik pagi-pagi banget nanodayo dan kita nggak ketemuan. Gue cuma mau bilang, semua semakin sukses dan perusaahan lo berkembang lebih jauh. Mudah-mudahan lo jadi orang terkaya di dunia ngalahin Jeff Bezos."

Shintarou, pemuda dingin dan cuek itu kini tersenyum lembut. Mengucap kalimat doa penuh harapan yang ditujukan ke sahabatnya yang akan pergi. Hal ini membuktikan Shintarou tetaplah manusia yang memiliki rasa peduli.

Seijuurou membalas senyumannya.

"Makasih, Shin. Gue harap lo bisa jadi dokter yang nyembuhin banyak orang. Kalau ada pertandingan lagi, mudah-mudahan lo bisa mimpin tim lebih baik."

Shintarou mengangguk. "Makasih juga. Nih lucky item sagitarius hari ini."

Sebuah pena berbentuk kunci diulurkan Shintarou. Seijuurou terkekeh. Ia bukan orang yang mempercayai hal-hal magis seperti ramalan zodiak dan benda keberuntungan.

Hari ini pengecualian. Pena ini akan membuatnya terus teringat dengan pemuda nyentrik pecinta zodiak. Midorima Shintarou namanya.

"Dan ini buat gemini."

Kacamata hitam disodorkan Shintarou ke Ryouta. Pemuda itu menjeda tangisan dalam diamnya. Matanya yang menatap tanah hampa berubah menjadi antusias.

"Makasih, Shintarou-cchi. Lo emang peduli ke gue."

"Nggak nanodayo. Lo kerja yang bener di Amerika sana ntar, jangan sibuk cari cewek. Udah jangan nangis mulu. Drama amat."

"Tuh 'kan Shintarou-cchi emang peduli sama-"

"NGGAK NANODAYO! PEDE AMAT!"

Ryouta terkekeh. Shintarou masih saja berlagak sok keren. Pemuda lumut itu mempertahankan wajah dinginnya, padahal hatinya teriris dan ingin menumpahkan air mata.

Terlihat dari gumpalan air di maniknya yang berlindung di balik kacamata.

"Sei-chin kerja jangan sampai lupa makan ya. Nih buat nemenin Sei-chin kerja nanti. Biasanya Sei-chin yang ngasih gue camilan, sekarang gantian."

Atsushi menyodorkan sekotak momogi.

"Makasih, lo jangan ngemil mulu. Hemat duit."

"Gue usahain, Sei-chin."

Atsushi mengangguk. Perkataan Seijuurou selalu ia turuti. Pemuda itu seperti orangtuanya di kos. Selalu memberinya camilan atau menasihatinya. Wibawa Seijuurou yang membuat Atsushi yang keras kepala jadi menurutinya.

Sejujurnya, Seijuurou bukan orang yang suka menuruti isi perut. Sekali ini saja Seijuurou memakan camilan yang diberi sahabatnya sebagai kenang-kenangan.

"Ryou-chin ngemilin ini di pesawat, jangan yang lain. Lemaknya rendah."

"Makasih, Atsushi-cchi. Gue nggak nyangka lo bakal mau bagi-bagi makanan kayak gini ssu."

"Sekali-sekali doang, Ryou-chin."

Manik Ryouta berbinar, seakan ada kerlipan bintang di sana. Sebuah kacamata dan sebungkus keripik rendah lemak tergenggam tangan putihnya.

"Gue bakal kangen rebutan camilan sama lo, Atsushi-cchi."

Di Amerika nanti pasti tidak ada orang yang memiliki nafsu makan sebesar Atsushi. Pastinya Ryouta makan apapun tanpa harus perlu berebutan dengan orang lain.

"Gue nggak. Nggak asik rebutan."

Jawaban jujur dan polos khas Murasakibara Atsushi menimbulkan kekehan dari mulut Ryouta. Bukan hal aneh Atsushi berkata apa adanya.

"Aku harap DID kamu benar-benar sembuh dan semoga kamu jadi orang sukses. Jangan lupakan kita yang di sini. Ingat kalau kita pernah berjuang bersama."

Senyum tipis khas Tetsuya mengembang. Seijuurou balas tersenyum hangat tanpa melunturkan aura tegas dan wibawanya.

"Iya. Makasih. Gue harap lo jadi guru TK dan suami Satsuki yang baik. Anak-anak pasti suka diajar sama guru kayak lo. Nggak kayak gue yang nyeremin di mata anak-anak."

"Makasih. Tapi aku nggak suka sama Satsuki. Aku nggak mungkin nikah sama dia."

"Gue mutlak."

"Idih. Masih sempat-sempatnya."

Kedua pemuda itu tertawa bersama. Untuk terakhir kalinya. Entah kapan mereka akan tertawa dan saling bercanda lagi.

Tiada seorang pun yang tahu mereka akan bertemu lagi atau tidak nantinya di masa depan.

Bisa jadi mereka tak bertemu lagi dan saling melupakan. Kawan lama di masa muda tergantikan rekan kerja yang selalu ditemui setiap harinya di kantor. Memori indah ditenggelamkan masalah kehidupan yang berat dan rumit.

Atau bisa jadi pula mereka bertemu nantinya. Saling memperkenalkan keluarga masing-masing. Mengenang kembali kenangan yang ditulis bersama.

Ada kemungkinan lain. Salah satu di antara mereka meninggalkan dunia sempat bertemu dan bercengkrama kembali.

Semua kemungkinan baik dan buruk bisa saja terjadi. Manusia manapun tak ada yang menebak masa depan secara akurat. Akashi Seijuurou sekalipun.

"Ryouta juga jangan genit sama pramugari. Fokus kerja." Tetsuya menoleh ke Ryouta.

"Tentu ssu. Pas gue balik lagi ke sini Tetsuya-cchi harus udah jadi guru TK dan suami Satsuki. Oke?" Ryouta mengedipkan sebelah mata.

Ryouta dan Seijuurou sama saja.

"Wes, kalau udah sukses jangan lupa sama kita-kita ya. Walaupun lo nggak ngasih duit seengaknya kudu bikin tumpengan." Kazunari merangkul Seijuurou dan Ryouta.

"Betul itu." Kousuke menyahut.

"Cih, tumpengan lebih parah nanodayo."

"Gue aja yang tumpengan ntar pas udah bikin toko roti sendiri. Lo berdua harus datang."

Junpei menunjuk Seijuurou dan Ryouta.

"Kalau nggak...." Telunjuk Junpei menggesek lehernya.

"Ngeri ssu." Ryouta pura-pura bergidik.

"Mudah-mudahan lo berdua sukses dah. Kita nggak bakal ngelupain kalian kok."

Kazunari melepas rangkulan, ia menjabat tangan Seijuurou dan Ryouta. Salam perpisahan yang hangat.

"Beneran ssu?"

"Suer terkewer-kewer."

"Lo emang hebat, Sei. Fokus kerja aja jangan pacaran. Terus kembangkan perusahaan lo." Kousuke menepuk bahu Seijuurou.

Rasa irinya digantikan rasa bangga pada pemuda yang lebih muda darinya itu. Akashi Seijuurou memang hebat. Di usianya yang baru genap dua puluh tahun pemuda itu menjadi CEO perusahaan.

Entah hal berat apa yang dilaluinya untuk pantas menduduki jabatan itu. Entah seberapa banyak pula masa remajanya dihabiskan untuk dididik sang ayahanda.

"Ya. Pokoknya gue nggak mau dengar berita runtuhnya Perusahaan Akashi,"--Junpei melirik--"ataupun pilot Kise Ryouta yang diberhentikan karena skandal."

"Ih, jangan doain yang aneh-aneh dong ssu."

Lagi-lagi mereka tertawa. Seolah-olah takkan berpisah. Di dalam hati ingin menangis. Apalah daya gengsi mengalahkan semuanya.

Diam-diam nanti malam, di tengah keheningan salah satu di antara mereka pasti ada yang menangis. Tanpa satu pun orang yang menyadarinya.

"Btw Taiga-cchi sama Daiki-cchi mana ssu?"

"Nyari kita?"

Panjang umur.

Taiga dan Daiki menampakkan diri. Daiki menjinjing dua kantong. "Dari mana? Nge-date?" celetuk Kazunari asal.

"Ye sembarangan. Si Daiki pakai acara nangis segala terus-"

"Cot. Bokis mulu lu." Daiki menutup mulut Taiga dengan sebelah tangan.

"Nih buat lu,"--Daiki menyodorkan kantong ke Ryouta--"dan ini buat lu."

Kantong satu lagi yang digenggam Daiki berpindah tangan ke Seijuurou.

"Apa nih? Majalah mesum?"

"Ck bukanlah."

"Ya udah. Makasih."

"Hm."

"Wah, hadiah ssu. Gue nggak nyangka Daiki-cchi ngasih hadiah. Makasih."

Ryouta tersenyum cerah. Dulu Ryouta selalu memandang penasaran dan diselipi rasa kagum pada Daiki. Pemain SMA Touou terhebat di matanya.

Manik biru tua yang dingin itu tak mempertunjukkan kondisi bersahabat sama sekali. Ryouta pikir ia dan Daiki takkan bisa bersahabat.

Nyatanya di masa depan Daiki lah sahabat Ryouta yang paling dekat. Di saat berpisah pemuda itu memberi kenang-kenangan. Meminta agar tak dilupakan.

Ah, Ryouta merasa menjadi sahabat yang buruk karena tak memberi kenang-kenangan untuk pemuda itu.

"Iya sama-sama."

"Gue nggak ngasih lo hadiah, nggak apa-apa ssu ka?"

"Santai aja sama gue mah."

Benar. Daiki orang yang terlewat santai menjalani hidup seakan punggungnya bebas dari beban hidup. Ryouta meringis. Ia berusaha takkan pernah melupakan pemuda sebaik dan setulus Daiki.

Daiki membuang tatapannya ke kanan, terlihat dua mobil bergerak bersamaan ke tempat remaja-remaja itu berdiri.

Sudah waktunya berpisah ya. Daiki memang jahil pada Ryouta. Itulah bukti Daiki benar-benar menerima Ryouta sebagai sahabatnya.

Dan si sahabat harus meninggalkannya sekarang. Demi cita-cita yang menunggu di depan mata.

Ya. Daiki menegaskan pada dirinya agar tak menerus bersedih hati dan termotivasi mencapai cita-citanya. Seperti Ryouta yang di usia mudanya diterima bekerja di luar negeri. Sebagai pilot pula.

"Supir gue udah datang. Sebelum gue sama Ryouta pergi...."

Seijuurou mengulurkan kepalan tangan. Teman-temannya langsung paham. Daiki yang melamun menatap dedaunan gugur dari pepohonan, ditepuk punggungnya oleh Taiga.

Kepalan tangan dalam berbagai bentuk dan warna menghampiri kepalan tangan Seijuurou.

"WE ARE VORPAL SWORDS!" Yel-yel singkat itu dilantangkan bersamaan kepalan tangan yang dilepas ke udara.

Perpisahan fisik bukan berarti harus berpisah secara batin 'kan? Walau saling meninggalkan satu sama lain nantinya, mereka tetaplah Vorpal Swords.

Vorpal Swords yang pernah berlindung di atap yang sama.

Vorpal Swords yang pernah berjuang bersama.

Vorpal Swords yang pernah mengalahkan tim terbaik di Amerika.

"Makasih hadiah sama doanya. Semoga kita sama-sama sukses di masa depan nanti. I won't say goodbye because I'm sure we'll meet again. So, see you again."

Seijuurou tersenyum sekilas dan masuk ke dalam mobilnya. Ia harap ini bukanlah kali terakhir bertemu teman-temannya.

Semoga takdir mempertemukan mereka di masa depan nanti. Dengan keadaan yang sama-sama sukses.

"Yes, see you again."

Di saat teman-temannya heboh mengucapkan sampai jumpa dan melambaikan tangan, Shintarou berujar lirih.

Pedih.

Ia yakin teman-temannya juga merasakan pedih dan kehilangan yang sama. Mereka sudah dewasa, tentunya gengsi memperlihatkan rasa sedih masing-masing.

Begitu cepatnya waktu berlalu. Baru kemarin rasanya Shintarou bertemu Seijuurou dan membentuk tim street ball. Sekarang mereka sudah berpisah saja. Apa masih ada kemungkinan bertemu kembali?

Kendati satu kota, walau menatap langit yang sama. Seijuurou akan sibuk mengurus perusahaannya. Pun Shintarou disibukkan mengobati pasien-pasiennya.

Waktu berjumpa pasti sangat minim. Sudahlah mereka bukan remaja lagi yang harus bergalau ditinggal sahabat. Seharusnya menerima perpisahan dengan dewasa dan hati yang ikhlas, bukan?

"Gue pergi ke bandara sama Taiga-cchi. See you again ssu."

"See you again. Jangan kangen." Taiga melempar flying kiss dan dibalas cibiran teman-temannya.

"Idih, palingan hari Selasa kita ketemuan lagi."

"Semoga tenang di sana, Ryou-chin, Sei-chin," ucap Atsushi. Kedua mobil itu menjauh dari mereka.

"Seijuurou sama Ryouta belum mati anjer."

Pemuda-pemuda itu berpisah, pergi ke tempat tujuan masing-masing. Seijuurou ke kantornya. Ryouta dan Taiga ke bandara. Sedang yang lain ke kos-kosan.

Mereka sama-sama melangkah ke depan. Perlahan mencoba meninggalkan masa lalu yang dihiasi tawa dan canda bersama.

Mencoba menerima kenyataan.

Mencoba lebih dewasa.

Pertemuan dan perpisahan selalu terjadi dalam hidup. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap perpisahan digantikan pertemuan baru.

Tetapi pertemaun baru takkan dapat menggantikan kenangan di pertemuan lama.

Setiap pertemuan memiliki kenangannya masing-masing. Meski terlupakan sekalipun, apa yang mereka lakukan di masa lalu benar-benar terjadi. Bukan sekadar mimpi indah.

Bersambung...
Heyya kalau kurang nge-feel sedihnya kasih tau aku ya biar aku revisi. Aku pernah bilang kalau book ini mau aku ikutin wattys2020 makanya mau mencoba semaksimal mungkin

Ingat ya fanfict ini bukan YAOI. Murni persahabatan hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top