Kos Sultan 4.5
Fourth Arc: Farewell
Status: Start
***
“Taiga, bangun.”
“EH ALAMAK MAMAK! NIGOU!”
Taiga meringkuk ke pojok, tubuhnya gemetar. “Kamu ini masih aja takut sama Nigou.”
Tetsuya menurunkan Nigou dari gendongannya dan menyuruh anjing kecil itu pergi. “Bentar lagi kita hiasin lapangan.”
Teman sekamar Taiga itu berdiri. Taiga merapikan kasurnya dan mengambil handuk beserta ember peralatan mandi.
Selesai mandi, cowok itu mengenakan kaus putih dan training hitam as always.
Perut Taiga keroncongan, cowok itu ke ruang makan. Ia menyendokkan beberapa bubur ayam dan makan tenang di ruang makan.
Sebentar lagi ia dengan kedua sahabatnya berpisah. Apa yang harus ia katakan nanti sebagai salam perpisahan?
Taiga tahu mereka akan berjumpa lagi nantinya, tetapi waktunya tidak diketahui. Bisa jadi mereka takkan bertemu kembali.
Apa Taiga harus mempersiapkan pidato perpisahan yang panjang?
Di luar, teman-temannya diserbu bapak-bapak dan ibu-ibu. Ada yang mengucapkan selamat dan meminta anaknya diajari bermain basket oleh mereka.
Taiga menyempil di antara teman-temannya yang menanggapi tetangga-tetangga yang datang.
“Ngajarin basket? Saya bisa soalnya banyak waktu luang.” Taiga mengajukan diri.
“Makasih banget, Nak. Perlu banget buat anak saya, dia mau ambil nilai olahraga,” ujar seorang ibu-ibu.
“Tapi saya bisanya mulai hari Selasa.”
“Nggak apa-apa kok.”
Selang beberapa menit akhirnya para remaja itu terbebas dari tetangga-tetangga mereka yang kembali pulang ke rumah masing-masing.
“Alat buat bersih-bersih sama hiasin lapangannya udah siap, Sei?” tanya Taiga. Mereka berjalan kompak ke lapangan.
“Udah di sana. Ada Kak Riko sama Bu Alex di sana.”
“Satsuki nggak ikut?”
“Nggak. Dia ke pasar sama mamanya.” Seijuurou menjawab lagi.
“Cie ... nanyain Satsuki,” goda Taiga menyikut Tetsuya.
“Diam kamu.”
Taiga menemukan kesempatan. Mulai dari mengajari anak-anak kompleks, ia mencari siapa yang betul-betul berbakat di bidang basket dan membentuk timnya sendiri.
Suatu percobaan yang mantap.
Di lapangan, Vorpal Swords juga menerima ucapan selamat dari warga-warga di sana. Taiga juga menawarkan diri mengajari anak-anak bermain basket.
“Udah lama di sini?” tanya Taiga ke Alex.
“Baru. Kuy bersih-bersih.”
Sapu lidi, cat semprot, sekop kecil, dan alat-alat lain tersedia di lapangan. Tinggal berbagi tugas saja.
“Kalian bersih-bersih nggak ngajak-ngajak,” ujar Eto berkacak pinggang.
“Rencana awalnya Vorpal Swords aja yang bersih-bersih,” balas Taiga.
“Kebetulan gue bawa pasukan nih.”
Eto menunjuk ke belakangnya. Jean, Eren, Juuzou, Sasha, Connie, dan Hide menyengir lebar. “Maaf kita telat,” ucap Nishiki datang bersama Rize membawa kotak sampah.
Alasan lapangan penuh sampah karena tidak ada tempat penampungan. Mereka terlalu mager jalan ke depan warung Mpok Emi untuk membuang sampah.
“Kalian maling?” celetuk Daiki.
“Sembarangan!” sembur Rize sebal.
“Kita bantu bersih-bersih, lagian lapangan ini punya Kompleks Beringin. Kalian udah bilang ke Pak RT kalau mau hiasin nih lapangan sesuka kalian?” ujar Nishiki.
“Udahlah,” jawab Seijuurou.
“Kalian boleh bantu asalkan jangan ngerusuh nanodayo.” Kedua mata Shintarou menyipit curiga.
“Tenang aja.” Nishiki mengacungkan jempol.
Kazunari, Sasha, Eren, Jean, dan Junpei bertugas mencabut rumput di sekitar lapangan; Nishiki, Juuzou, Tetsuya, dan Eto memungut sampah; Rize dan Ryouta menyapu lapangan; Daiki dan Taiga menambal lapangan yang retak; dan selebihnya membersihkan tembok lapangan.
“Panas banget ssu! Lemes!” Ryouta mengeluh, menyapu perlahan daun-daun kering dan sampah. Suara gesekkan sapu lidi dan semen nyaring terdengar.
“Jangan manja lu!” tegur Rize galak.
Se-serem, Ryouta membatin.
Dua orang bapak-bapak yang tinggal di depan lapangan, membantu mencabut rumput.
“Untung dibantu, kalau nggak mati gue dah. Capek cuy,” bisik Sasha. Ia memegang perutnya yang bergemuruh. Baru setengah jam yang lalu ia makan, perutnya lapar lagi.
Dasar Sasha.
“Ho'oh,” sahut Kazunari mengernyit dan mengusap keringat di alis menggunakan punggung tangan.
“Jean,” panggil Eren.
“Ape?” Dengan kurang ajarnya Eren memasukkan rumput ke mulut Jean.
“Nih nutrisi buat kuda macam elu.”
“Anying! Sini lu!” Jean menyemburkan rumput dari mulut, membersihkan lidahnya dari tanah.
Ia menggeram dan mengejar Eren yang tertawa-tawa. “Siapa suruh tadi malam nyumpalin mulut gue pakai kaus kaki Reiner.”
Shintarou, Connie, dan Kousuke menghaluskan tembok lapangan menggunakan amplas sebelum dicat. Seijuurou, Atsushi, Alex, dan Riko membicarakan konsep graffiti di tembok.
“Berantem mulu tuh dua orang,” ucap Kousuke menggeleng.
“Aneh kalau mereka nggak berantem dalam sehari,” sahut Connie.
“Bocah,” bisik Shintarou yang berada di tangga, ia bertugas mengamplas tembok atas.
“Gue nggak konsen.” Seijuurou menyugar rambutnya sebal.
“Lari teros! Jan kasih kendor!” seru Eto memprovokasi.
“Udahlah bodo amatin aja tuh makhluk berdua.” Nishiki menggeleng dan memasukkan gelas ale-ale ke kantong hitam.
“Woy gue ikut main!” seru Juuzou.
“Mereka lagi gak main woi!” hardik Eto.
Tetsuya dengan tenang memungut sampah, mengabaikan kericuhan di sekitarnya.
Daiki dan Taiga yang mengaduk semen di lapangan, bersorak menyemangati Jean dan Eren yang berkejaran di sekeliling lapangan.
“Jean, kalau lo berhasil nangkap Eren ntar Mikasa klepek-klepek lho!” seru Daiki.
“Hajar terus, Jean!” sambung Taiga.
Jean dan Eren berlari melewati sampah daun yang ditumpuk Rize di sudut lapangan. Daun-daun dan sampah yang dikumpulkan terbang berhamburan.
Rize yang memasukkan sampah ke dalam sekop, berbalik badan. Ia berjalan tenang ke arah dua pemuda itu.
Ryouta yang memegangi sekop, merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
Benar saja. Rize langsung berteriak marah. “BERHENTI LO BERDUA. GUE UDAH CAPEK-CAPEK NYAPU JADI BERANTAKAN LAGI!”
Eren dan Jean berhenti, beberapa orang di lapangan menoleh ke Rize. Napas cewek berambut ungu itu tak beraturan.
“Tok, tumben Rize galak gitu,” bisik Juuzou.
“PMS. Bentar lagi datang tuh tamunya.”
Juuzou mengangguk paham.
Kedua pemuda itu membeku di tempat masing-masing, pasrah menerima kedua sapu lidi yang disodorkan kasar oleh Rize.
Lapangan hening.
Mereka kembali lanjut bekerja. Pekerjaan menyapu digantikan kedua biang rusuh. Ryouta bernapas lega, ia bisa duduk santai di pinggir lapangan.
“Pelan-pelan masukinnya, Kud.”
“Iye iye.” Jean menyapu kasar daun-daun ke sekop, alhasil banyak daun yang berterbangan dan gagal masuk ke dalam sekop.
“Baik-baik kalau nyapu,” tegur Rize melipat tangan di depan dada.
Jean merinding. Ia turuti teguran gadis itu dan memelankan menyapu. Lapangan bersih. Taiga dan Daiki bekerja sama menambal semen lapangan yang pecah.
“Rize nyeremin njir,” lirih Jean ke Eren di sebelahnya.
“Gue berasa lihat Mami Kushina versi dunia nyata.”
Selesai tembok dihaluskan, Atsushi orang pertama mengambil cat semprot. Ia memberi dasar warna, yaitu warna putih. Sebelum cat disemprotkan, remaja-remaja itu mengenakan masker.
“Udah, Sei-chin.” Atsushi turun dari tangga setelah memberi warna di tembok bagian atas.
Seijuurou mengangguk, ia mengguncang tabung cat dan menyemprotkan isinya ke tengah tembok. Tangannya meliuk, melukiskan batang pohon yang besar dan akar panjang yang bercabang banyak.
Tinggal daunnya saja yang digambar Seijuurou. Pemuda itu memanjati tangga.
“Hati-hati, Sei,” peringat Eto. Seijuurou menoleh sedikit dan mengangguk.
“Udah selesai mungut sampahnya?” tanya Alex. Eto mengangguk.
Gradasi warna hijau tua sampai hijau muda membentuk daun pohon beringin yang lebat dan rapat. Di bawahnya, Riko melukiskan akar gantung beringin.
Seijuurou turun perlahan dari tangga, mengusap keringat yang jatuh menyusuri wajah tampannya. Karyanya sempurna, seperti biasa.
“Bagus gambarnya, Nak,” ujar seorang bapak-bapak yang turut membersihkan lapangan.
“Terima kasih, Pak. Bapak juga repot-repot bantu kita,” ucap Seijuurou tersenyum sopan dan membungkuk kecil.
“Hoho nggak apa-apa, ini 'kan lapangan kita bersama.”
“Biar saya traktir kopi.”
“Nggak usah. Saya ikhlas.”
“Nggak apa-apa.”
Seijuurou bersama dua orang bapak-bapak kompleks pamit ke warung untuk meminum kopi. Eto yang berada di warung membeli camilan dan minuman menyapa riang Seijuurou.
Pemuda itu membalas sapaannya dengan senyum kecil.
Eto kembali ke lapangan dan duduk di atas semen bersama teman-temannya yang selesai bertugas, tinggal Alex yang menulis kompleks di sebelah kanan pohon dan beringin di sebelah kiri dengan bentuk tulisan graffiti.
“Bagi cuy.” Jean mengambil sebuah bakwan dari kantong plastik.
“Ambil aja nih. Mumpung lagi baik gue traktir lu pada.” Eto menyodorkan kantong gorengan dan air mineral ke Jean.
“Cuci tangan dulu,” tegur Alex setelah menulis kata kompleks dan beringin di tembok.
“Eh iya iya maaf.”
“Ngungsi ke warung aja gimana? Panas banget,” usul Eren.
“Iya nih, sia-sia gue skincare-an ntar,” sahut Rize.
“Yuk pindah aja.” Alex bersama remaja-remaja Kompleks Beringin itu bermigrasi ke warung.
“Gue buang sampah ke TPA dulu ya,” pamit Nishiki membawa dua kantong besar sampah dan rumput ke motor.
“Sip gan.” Jempol Juuzou teracung dan menyusul teman-temannya.
Lapangan mereka bersih dan rapi. Tanah sekitar lapangan kosong dari rumput-rumput liar, semen lapangan ditambal, sampah-sampah dimasukkan ke kantong sampah, tembok dilukis graffiti yang bagus, dan dua tempat sampah tersedia. Semoga tak ada lagi yang membuang sampah di sekitar lapangan.
Siapapun akan betah latihan di lapangan yang bersih, indah, dan rapi.
Sejenak Vorpal Swords melupakan kesedihan mereka.
***
Selesai mandi, Taiga mengenakan kaus putih dan dilapisi kemeja hitam-merah bermotif papan catur. Kancing kemejanya dibuka. Kakinya dilapisi celana jeans.
Parfum—yang jarang digunakan—ia semprotkan ke tubuh dan rambutnya diolesi minyak rambut. Memastikan dirinya rapi dan cakep, Taiga keluar dari kamar. Membawa ponsel, uang, dan ransel tentunya.
“Lo kok bawa tas gede, Taiga-cchi?”
“Nanti malam gue langsung ke Bali.”
“Ngapain ssu?”
“Urusan keluarga.”
“Kebetulan nanti malam gue ke Amerika.”
“Bukannya lo paling lambat ke sana hari Rabu?”
“Lebih cepat lebih baik ssu yo.”
Perut Taiga keroncongan, cowok itu ke ruang makan. Terhidang martabak bakso kulit lumpia buatan Tatsuya.
Taiga mengambil tiga potong martabak dan tiga sendok nasi. Seperti biasa, porsi makannya berlebih.
Beruntung Taiga tak menyia-nyiakan kesempatan hari ini. Ia dan Daiki kompak menyodorkan cacing tanah ke Ryouta sampai cowok itu merengek-rengek meminta tolong ke siapa saja. Mereka turut menyabotase kopi hitam yang diminum Seijuurou.
Minuman hitam pekat itu mereka masukkan garam dan jeruk nipis. Bayangkan bagaimana ekspresi Seijuurou meminum minuman absurd itu di warung.
Untung Seijuurou tak marah, malahan ia ikut tertawa bersama teman-temannya. Menikmati waktu bersama yang semakin menipis.
Tak ada penyesalan. Kejahilannya adalah bentuk kenang-kenangan yang tidak bisa dilupakan. Semoga saja Seijuurou dan Ryouta tetap ingat kejadian hari ini.
Selesai makan, teman-teman satu timnya berkumpul di teras.
“Baru siap lo nanodayo,” ujar Shintarou.
“Ngapain lu bawa-bawa tas? Pergi perang?” Daiki dan pertanyaan nyelenehnya. Taiga biasa menghadapinya.
“Gue ke Bali nanti malam. Ada urusan keluarga.”
“Oooh....”
Pemuda-pemuda itu menaiki mobil Kagetora. Seijuurou duduk di kursi depan. Di belakangnya ada Tetsuya, Ryouta, dan Taiga. Bangku paling belakang diduduki Shintarou, Atsushi, dan Daiki.
Taiga memangku ranselnya. Teman-temannya berbincang-bincang hangat di dalam mobil. Seolah-olah takkan kehilangan Seijuurou dan Ryouta.
Taiga tahu, di dalam hati mereka pasti ada rasa sedih dan sakit yang dipendam. Mereka bertingkah seakan baik-baik saja.
Di gedung studio, Kagetora memakirkan mobil. Keluar dari sana, Kagetora berbicara dengan seorang pria seperempat abad dan menyalami tangannya.
Taiga mendongak. Langit biru bersih tanpa gumpalan awan. Matahari leluasa menyebarkan sinarnya ke segala sudut kota.
“Gue bakal kangen kota ini ssu,” lirih Ryouta.
“Makanya jangan lupa sering telpon-telponan,” balas Taiga. Memperbaiki letak tali tasnya.
“Tenang aja ssu.” Ryouta tersenyum dan mengacungkan jempol.
“Pihak Amerika nggak ada yang mau wawancara kita?” tanya Kazunari.
“Mungkin bukan sekarang.” Junpei menjawab.
“Eh cuy panas banget.” Telapak tangan Daiki mengipasi lehernya. Menginterupsi percakapan teman-temannya.
“Makanya kita masuk sekarang.”
Bersambung...
BACA AUTHOR NOTE! PENTING!!! TOLONG JAWAB PERTANYAANNYA
Tolong jawab, tolong bangeeeeet. Jujur ya jawabnya. Aku tau pembacaku di sini banyak yang kalem, tolong komen sekali ini aja. Nggak susah kok buat komen.
Chapter-chapter sebelumnya udah terasa sedih nggak? Apa yang kalian rasakan? Kalian bisa terasa nggak feel sedih gara-gara mau berpisahnya? Berapa rate sedih yang kalian rasakan?
Misalnya 2/10
Plis penting banget dijawab. Cerita ini bakal aku masukkin ke wattys2020. Harus benar-benar maksimal. Seandainya aku menang, book ini dapat peluang diterbitkan.
Aku nggak minta kalian buat beli nantinya tapi tolong bantu aku biar buku ini menang dan terbit 💕. Chapter 4.2-chapter terakhir kayaknya bakal sering kurevisi :"), biar dapet feel-nya. Sekarang aku baru nyadar betapa susahnya nulis itu :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top