Kos Sultan 3.5
Hujan adalah berkah, namun tidak bagi Tetsuya. Bisa-bisanya hari ini ia melupakan payung yang biasa dibawanya. Kadang ketika cuaca terik payung ada, kadang di situasi hujan lebat begini payung malah tidak ada.
Tetsuya menghela napas dan mengeluh berkali-kali di dalam hati, kepalanya terdongak ke awan kelabu yang tampaknya takkan berhenti menurunkan air ke bumi. Semakin lama, semakin deras hujan turun. Ia terjebak di teras belakang perpustakaan yang menghadap ke taman.
Apa Tetsuya berlari saja ke tempat penitipan anak? Mumpung jaraknya tidak terlalu jauh.
Tapi ... hujan selebat ini Tetsuya yakin ia akan basah kuyup jika berani menerobos hujan.
“Lo nggak pulang, Tet?” Tetsuya menoleh ke sebelah, terlihat Taiga yang membuka payung merahnya.
“Maunya sih gitu, tapi aku lupa bawa payung,” jawab Tetsuya berharap Taiga menawarkan sepayung berdua dengannya. Namun, Tetsuya ingat lagi bahwa Taiga itu orangnya tidak peka.
Tetsuya langsung saja mengutarakan isi hatinya. “Aku boleh nebeng sama kamu nggak? Kamu nggak ke mana-mana 'kan?” pinta Tetsuya, ia tahu Taiga tak mungkin keluyuran. Hidupnya seputar kos, lapangan, dan kampus.
“Sebenarnya sih gue mau, Tet. Tapi gimana rasanya cowok sepayung berdua? Aneh 'kan?”
Tetsuya membayangkan ia dan Taiga di bawah payung yang sama, menembus hujan yang tak mau berhenti turun.
“Biar kamu nggak basah, biar kamu aja yang dilindungi payungnya,” ujar Taiga dalam bayangan Tetsuya. Pemuda itu memayungi Tetsuya, sedang dirinya basah oleh rintik-rintik air hujan. Ala oppa-oppa di drama Korea.
Taiga tersenyum manis.
“Kamu goblok atau gimana? Ntar sakit,” tegur Tetsuya, keberatan dengan keputusan Taiga.
“Nggak apa-apa. Aku rela kok mengarungi samudera yang luas ataupun mendaki gunung yang terjal asalkan demi kamu,” ucap Taiga tulus mengusap pipi Tetsuya dengan tangan basahnya.
Orang-orang yang melewati mereka pun menatap jijik dan berbisik-bisik mengejek.
“Lihat tuh, pasangan gay!”
“Jijik.”
“Musnahkan aja mereka.”
“Mati! Mati! Mati!” Tetsuya memegang tangan Taiga yang membelai pipinya tadi, cowok bertubuh besar itu ia banting ke trotoar.
Kembali ke dunia nyata, Tetsuya merinding dan menggelengkan kepala cepat. Beda dengan imajinasi Taiga. Cowok berambut merah itu membayangkan dirinya dan Tetsuya sepayung berdua di trotoar.
Taiga berjalan di sisi pinggir yang berdekatan langsung dengan jalan. Sebuah mobil melintas cepat dan melindas genangan air di jalan. Taiga dan seluruh pakaiannya basah oleh air cokelat, hasil cipratan air yang dilindas mobil.
Pikiran Taiga kembali ke dunia nyata, menatap bingung Tetsuya yang menggeleng cepat.
Dih ogah banget gue berkorban buat nih cebol, pikir Taiga.
“Tapi ... aku nggak tahu harus pulang sama siapa,” ujar Tetsuya.
“Hm ... biar gue pikir.”
Taiga menaruh telunjuk di dagu, kedua alis cabangnya tertekuk.
Anjir, kok gue malah mikir sih?
“Gue pulang dulu terus anterin payung lo,” usul Taiga.
Tetsuya menggeleng. “Nggak usah, nanti kamu capek.”
Iya juga ya, gue mager banget harus ngurusin nih bocah, batin Taiga.
“Gue telponin orang di kos aja gimana?”
“Nggak deh, mungkin mereka lagi istirahat.”
“Ah! Gue suruh aja Satsuki datang ke sini dan mayungin lo?”
“Gila kamu? Aku nggak mau diulek Tante Keyzi.”
“Ck, gue nggak tahu dah harus gimana. Lo pikir aja sendiri gimana caranya lo pulang.” Taiga mengambil langkah pertama keluar dari teras kampus, namun Tetsuya menarik kausnya dari belakang.
“Ape?” sergah Taiga melihat ke belakang, di waktu yang sama ia melihat sosok cowok berambut merah keunguan menggendong adiknya di punggung sepanjang koridor perpustakaan.
“Huwaaa! Maafin aku salah lempar bolanya, Nezuko-chan!” Di belakang, sosok Zenitsu mengejar Tanjirou yang tertatih-tatih menggendong Nezuko ke unit kesehatan kampus.
Taiga seketika mendapat ide, ia berjongkok di depan Tetsuya. “Naik,” titahnya.
“Nggak-”
“Ya udah, terserah lo aja dah,” ujar Taiga.
Tetsuya berpikir sebentar. Kalau nanti ia telat datang ke tempat penitipan anak, bisa-bisa ia diomeli. Terus nanti dipecat. Nanti pakai apa Tetsuya belanja harian? Nigou nanti dikasih makan apa? Gundam terbaru mau dibeli pakai apa?
“Oke, aku mau digendong kamu.”
Tetsuya memegang kedua bahu Taiga dan naik ke atas punggungnya. “Dah, Tet?” tanya Taiga.
“Udah.” Taiga menyelipkan tangan ke balik lutut Tetsuya dan berdiri.
“HIYAHIYAHIYA!” Taiga berteriak menembus hujan dengan Tetsuya di punggungnya memegangi payung, melindungi mereka dari titik-titik air hujan.
“Kamu malu-maluin aja,” ujar Tetsuya menumpukan kedua siku pada kepala merah Taiga.
“Lo mau gue turunin?”
“Gak.”
Di saat yang sama, Satsuki dan mamanya berdiri di teras gedung fakultas MIPA—gedung yang dilewati Taiga—bersama Arumi dan papinya. Mereka sama-sama lupa membawa payung.
“Wah, Mas Tetsuuuuu!” panggil Satsuki, namun Tetsuya tidak menoleh, mungkin suaranya kalah besar dengan suara hujan.
Satsuki yang awalnya cemberut, tiba-tiba mendapatkan ide dan menatap mamanya dengan mata berbinar. “Mama mau nggak gendong Satsuki kayak Mas Taiga gendong Mas Tetsu?”
“Mama maunya papa kamu hidup kembali dan gendong mama kayak gitu,” jawab Keyzi. Membayangkan jika Shouto masih hidup, dengan romantisnya mereka berlarian ke sana ke mari dan tertawa diterjang hujan.
Eh tapi rasanya mustahil karena Keyzi ingat dirinya dan sang suami sama-sama manusia berwajah datar. Aih ... Keyzi malah membayangkan adegan-adegan romantis drama Korea yang sering ditontonnya bareng Satsuki dan Rize.
Mendengar jawaban Keyzi, sang anak pun ngebatin. Untung mama belum bener-bener move on dari papa.
“Papi, Arumi mau digendong kayak gitu juga!” Arumi menunjuk ke Taiga yang berlari semakin jauh dari gedung FMIPA.
Satsuki jadi menoleh, hm ... ternyata teman sebangkunya juga ada di sini. Arumi tak menyadari kehadiran Satsuki karena jarak mereka terpaut beberapa meter.
“Jangan ngade-ngade kamu, Arumi. Kita tunggu Kokushibo bawa mobil ke sini.”
Sebuah mobil Pajero Sport melewati Keyzi dan Satsuki, baru benar-benar berhenti di depan Arumi dan papinya yang nyeremin. Keyzi pun jadi bergumam melihat mobil mewah itu.
Namanya aja emak-emak.
“Kapan ya kita punya mobil sebagus itu?” gumam Keyzi.
“Makanya, Ma. Nikah sama papinya Arumi aja,” timpal Satsuki.
“Sembarangan kamu!”
Satsuki cemberut, kemarin-kemarin 'kan mamanya yang ngebet punya papa baru. Disaranin calon yang bagus malah nolak. Udahlah papinya Arumi tuh pinter, ganteng, berduit pula lagi. Mamanya 'kan nggak perlu repot-repot mengurus kos dan mengajar di universitas ini.
Di sisi lain Satsuki bersyukur mamanya belum bisa melupakan sang papa yang berada di alam lain.
Kembali ke Taiga dan Tetsuya, mereka berjuang bersama menerjang hujan. Taiga bersemangat menggendong Tetsuya yang memegangi payung. Tapi lama-lama ... kok Taiga seperti menggendong angin ya?
Taiga pun berhenti di depan tempat penitipan anak, ia menoleh ke jendela rumah besar itu dan alangkah terkejutnya Taiga melihat payung melayang di atas kepalanya dengan Tetsuya tidak ada lagi di punggungnya.
“Ja-jadi gue gendong hantu?”
“Sembarangan kamu.”
“TETEEEET!”
Tetsuya melompat turun dari punggung Taiga. “Habis lu ringan, terus pas lihat di kaca tetap aja nggak kelihatan,” ujar Taiga menerima payung dari Tetsuya.
“Bagus dong, berarti hawa keberadaan aku makin tipis,” ucap Tetsuya tersenyum.
“Bagus palelu, gue jantungan terus,” umpat Taiga.
“Aku masuk dulu ya, makasih.”
Tetsuya berbalik dan membuka pagar tempat penitipan anak, langsung saja di teras ia disambut anak-anak kecil yang berlari dari dalam rumah dan memeluk tubuhnya. Pantas saja Satsuki suka. Tetsuya punya aura kebapakan di balik tampang imutnya.
Taiga pun lanjut jalan ke kos, ia mengeluh tidak bisa latihan di lapangan karena lapangan becek. Bagi orang hujan itu berkah, tapi bagi sebagian orang lainnya hujan itu kesialan.
Itulah yang dipikirkan Kagami Taiga dan Kasamatsu Yukio.
Yap, Yukio sendiri juga mengalami kesialan hari ini.
Awalnya, langit masih mendung tanpa setitik air hujan yang turun. Yukio menaruh kotak ayam richeese-nya di pagar pembatas balkon dan tutup kotak ayam ia buka. Niatnya mau mengemil sambil gitaran harus digagalkan karena ia lupa membawa gitarnya.
Masuklah Yukio ke kamarnya dan melupakan ayam yang ia biarkan di balkon. Di kamarnya, Yukio mengeluarkan gitar dari tas dan kebetulan menemukan buku-buku lirik lagu. Yukio pun langsung memainkan rangkaian nada-nada yang ia buat sendiri dan melupakan makanannya di luar.
Tidak sadarlah Yukio bahwa hujan telah turun. Titik-titik air hujan jatuh ke kotak ayam richeese-nya. Kiyoshi yang baru ditolak gebetan, membawa kertas puisinya ke balkon. Berniat berpuisi dilatari nyanyian hujan untuk mendramatis suasana. Di pinggir pagar, ia terkejut mendapati sepotong ayam yang dibahasi air.
Ayam siapa ya?
Kiyoshi tak peduli dan tetap membaca puisinya dengan penuh penghayatan. Suaranya yang lantang menembus dinding kamar Yukio dan aktivitas gitaran cowok itu terganggu. Ia tak bisa fokus gitaran setiap mendengar suara sumbang.
“Siapa sih kampret yang berisik?” Yukio berdiri dan gitar di tangan kanannya, hendak memukulkan benda itu ke siapa saja yang mengganggunya.
Di balkon, Yukio baru saja mau marah kalau ia tak melihat sekotak ayam basah disiram air hujan. Saus keju dan saus pedas aman dari air karena ditaruh di dalam kotak bulat yang tertutup. Ia mengambil ayamnya yang basah dari dalam kotak. Pupuslah sudah rencananya makan enak.
Sebelum ini Yukio bersusah payah menabung dalam waktu yang lama. Perjuangan panjangnya terkhianati. Ia sudah bersusah payah dari awal dan tak mendapat akhir yang manis.
Apa Yukio harus menabung lagi?
“TIDAAAK! AYAM GUEEE!”
“TIDAAAK! AYANG GUE DIAMBIL ORANG!”
“Berisik, goblok.”
***
“Akhirnya besok penentuan nama negara kita ssu!”
“Hilih, hiperbola amat kalimat lo,” komentar Daiki memantul-mantulkan bola di tempat. Semua anggota Vorpal Swords sudah berkumpul di hari terakhir mereka latihan. Seijuurou belum datang karena masih dalam perjalanan dari Bogor.
Sudah disuruh tidak latihan, Seijuurou tetap keras kepala ingin latihan bersama teman-temannya.
Para Vorpal Swords sudah tiba setengah jam sebelum waktu yang disepakati karena tidak ada kegiatan lain sih. Ryouta baru datang lima menit sebelum jam delapan karena jadwalnya benar-benar padat. Mulai dari Rabu siang sampai Jumat malam ini, ia tidak memijak lantai kos sama sekali.
“Ryouta benar juga sih, Daiki. Kita harus membuktikan ke Jabberwock kalau kita pantas menjadi pemenang,” timpal Tetsuya. Ia juga kepikiran apa yang terjadi keesokan harinya. Menangkah mereka? Atau kalah kembali?
Semuanya akan terjawab sesuai latihan yang mereka lakukan.
“Hm....” Daiki menyahut singkat dan berhasil melakukan dunk-nya yang ke-50.
Alex juga datang cepat, selain memberi wejangan, ia juga menjahili anak-anak Vorpal Swords sampai Taiga berteriak-teriak memintanya berhenti.
Daiki berpaling dari ring dan mulai bernyanyi, “Bagaikan langit di sore hari.”
“Berwarna hitam, sehitam kulitmu,” sambung Alex, Ryouta, Taiga, Kazunari, Atsushi, dan Kousuke tertawa jahil menunjuk Daiki.
“Sialan lo pada.”
Di saat Daiki mau membogem wajah cantik Ryouta, kapten mereka datang.
“Selamat malam, semuanya,” sapa Seijuurou yang kebetulan datang bersama ayah-anak Aida dan Satsuki.
Seisi lapangan terdiam.
Seijuurou telah datang, mengartikan bahwa mereka harus berhenti bermain-main dan latihan secara serius. Melihat diamnya teman-temannya, sisi Oreshi Seijuurou mengatakan dirinya hanyalah penghambat kebahagiaan teman-temannya. Sifat tegasnya terlalu berlebihan.
Tidak berlebihan. Aku harus lebih tegas. Mereka tidak akan mendengar kalau aku terlalu santai.
Bersambung...
Btw pas scene Tanjirou gendong Nezuko jadi keinget KnY episode 1 sama opening-nya nggak? Lagu Gurenge terngiang-ngiang di kepalaku makanya aku nulis scene itu.
Tsuyuko nareru~
Chapter ini terinspirasi dari anime Gekkan Shoujo Nozaki-kun, lupa episode berapa. Wkwk.
Aku senang banget lho, dalam seminggu kenaikan votes Kos Sultan pesat banget. Awalnya 184 atau 186 votes gitu lah waktu aku terakhir kali update, eh sekarang 230 votes. Alhamdulillah votes-nya nambah banyak banget, walaupun ada sih beberapa orang yang votes-nya di chapter awal-awal aja, tapi aku tetap senang!
Terima kasih yang sudah memberi vote dan setia membaca cerita ini sampai sekarang ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top