Kos Sultan 3.4
“Shin-chaaaaaan. Latihan yuk, gue bosan banget.”
“Berisik nanodayo.” Shintarou yang sedang merevisi skripsi merasa terganggu oleh suara cempreng Kazunari yang terus-terusan memaksanya latihan.
Bukannya Shintarou lelah, ia justru kasihan ke Kazunari yang kantong matanya menebal karena sibuk membuat tugas kapanpun dan di manapun. Apalagi Kazunari baru saja pingsan di kampus tadi pagi, 'kan tidak lucu ia harus pingsan untuk kedua kalinya di hari ini.
Ditambah dua hari lagi mereka akan tanding melawan Jabberwock.
Nanti kalau Kazunari kenapa-napa, pasti Shintarou yang selalu direpotkan.
Tapi, Shintarou tetap dengan ikhlas menyikapi sikap bodoh temannya.
“Shin-chan jidat lebar!”
Udara suplementer keluar dari hidung Shintarou, pemuda berambut lumut itu telah menyelesaikan revisi dan tinggal mencetak skripsi yang ia buat. Usai memindahkan data ke flashdisk, Shintarou mematikan laptop dan menaruhnya di atas ranjang tipis.
Ia berdiri dan mengambil sejumlah uang, diikuti Kazunari yang bersemangat berdiri. “Lo di dalam aja nanodayo,” suruh Shintarou, ia dan Kazunari dipisahkan pintu kamar yang hampir tertutup.
“Tapi, Shin-chan! Gue mau latihan!” desak Kazunari. Ia memasang puppy eyes tetap tidak berpengaruh ke Shintarou yang memang berhati batu.
“Nanti lu malah sakit nanodayo,” tegas Shintarou.
“Ciee ... Shin-chan perha-”
“Nanti kalau lu sakit gue juga yang repot nodayo,” geram Shintarou garang.
“Ya udah. Gue bisa ngurus diri sendiri, udah gede gini mah. Pokoknya gue ikut. Sekalian gue membiasakan diri buat KKN ntar.”
Shintarou mengalah, membiarkan Kazunari mengambil kunci kamar. Nanti kalau Kazunari pingsan di tengah latihan, tinggal dibawa ke kos saja 'kan?
Shintarou akan tetap ikhlas menghadapi kebodohan teman sekamarnya. Sungguh sahabat sejati dirimu.
Selama perjalanan ke warnet, Shintarou menganggapi celotehan Kazunari masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Lagipula pemuda berkemampuan mata rajawali itu sering mengatakan hal-hal unfaedah.
Lebih baik Shintarou mengingat kembali pelajarannya.
Di depan gang kos, Shintarou mampir ke sebuah warnet.
“Bang, tolong print. Ntar kalau Abang pulang duluan tolong bawain ya,” pesan Shintarou meninggalkan selembar uang lima ribu.
“Sip. Mau ke mane lu?” tanya Shuuzou yang mencarikan tugas anak-anak SMP di komputernya.
“Latihan, Bang.”
Kebetulan penjaga warnet dekat kos adalah Babang Monyong alias Nijimura Shuuzou. Seandainya Shintarou terlambat pulang, Shuuzou bisa membawakan tugasnya.
Shintarou keluar dari warnet, Kazunari kembali bersuara setelah terdiam mengamati burung puyuh di teras warnet.
Kazunari dengan bersemangat memimpin di depan tak sadar ia berceloteh sendirian, meninggalkan Shintarou beberapa meter di belakangnya yang tetap mengawasinya. Bukan karena ada perasaan terlarang yang membuat Shintarou memedulikan Kazunari.
Justru Shintarou berusaha menjadi kakak ipar yang baik karena pemuda rambut lumut itu menggebet kakak perempuan Kazunari. Makanya Shintarou rela direpotkan pemuda bermata sipit itu. Eh tapi sebenarnya Babang Lumut juga tulus kok bersahabat dengan cowok tengil macam Kazunari.
Sampai di daerah jajanan hits, berarti sudah hampir sampai di Bukit Bintang dan pantai andalan Kota Julikarta. Kazunari berhenti sebentar untuk membeli dua botol air mineral dari vending machine di pinggir jalan. Tentu menggunakan uang Shintarou.
Sedang si pemilik uang mengusap lensa kacamatanya yang basah. Dirasa sudah kering, ia melekatkan kembali gagang kacamata di kedua telinganya. Shintarou sedikit mengurut tungkai kakinya karena berlari sejauh tiga kilometer, tentu sesekali berhenti juga sih.
Kos Sultan memang berada di pusat kota dan tak terlalu jauh dari pantai.
Rawan tsunami juga.
Walaupun pandangan Shintarou sesekali terhalang kendaraan yang lewat, pandangannya jelas sekali ke dalam kafe teh di seberangnya.
Ada sesosok wanita yang dikenal otaknya. Wanita itu tertawa kecil pada pria berwajah menyeramkan yang diketahui namanya Levi Ackerman tersebut. Keyzi ... wanita itu ada hubungan apa dengan Levi?
Seingatnya, dulu Levi pernah sih berkunjung bersama Satsuki ke kos-kosan ungu yang ada di seberang. Tapi ... sampai sekarang tidak ada yang tahu apa hubungan Levi dengan keluarga Keyzi sampai mau membantu Satsuki mengurus kos-kosan yang dirintis Keyzi dan suaminya.
Ia sama sekali tak salah lihat. Keyzi sendiri sudah mengkonfirmasi bahwa ia belum ingin mencari suami baru.
Tapi ... apa yang dilihatnya sangat berlawanan dengan apa yang pernah diucapkan Keyzi. Apa jangan-jangan wanita janda itu berubah pikiran?
“Shin-chan.”
Lonjakan kecil ditunjukkan Shintarou sebagai reaksi Kazunari yang menepuk bahunya. “Lo lihat apa?” tanya Kazunari.
“Nggak ada nanodayo.”
Keduanya duduk-duduk sebentar di trotoar, untung-untung ada yang memberi mereka uang. Tapi, orang-orang sadar juga. Cogan mana yang jadi pengemis?
Terlebih Shintarou bergaya elegan, tidak seperti Kazunari yang petakilan dan grasak-grusuk sendiri. Shintarou meluruskan kakinya sembari punggung bersandar di dinding salah satu kafe, di sebelahnya Kazunari acap kali mengubah posisi duduknya.
Kadang bersila, bersimpuh, meluruskan kaki, menaikkan sebelah lutut, dan sebagainya.
Shintarou risih juga sih, apalagi sekarang harga dirinya dipertaruhkan karena duduk di antara orang yang berlalu-lalang. Kadang ada orang yang dengan kurang ajarnya melangkahi kedua pemuda itu.
“Kita lanjut latihan lagi, kuy,” ajak Kazunari berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Meregangkan otot tangan dan punggungnya.
“Iya nanodayo.”
Memastikan celananya bersih dari pasir, Shintarou menyusul Kazunari dan berlari ke pantai. Di hari kerja ini masih ada juga orang-orang yang berkunjung ke pantai. Ada yang menikmati angin sepoi-sepoi, menunggu sunset, bermain air laut, atau membangun istana pasir.
Anak-anak berlarian, berkejaran, dan melempar pasir satu sama lain. Ada juga yang bermain layang-layang. Para fotografer sudah siap dengan kamera, menanti matahari lenyap di balik laut.
Kazunari dan Shintarou melepas sepatu olahraga, mereka berlarian di pinggir pantai. Pasir lembut yang tebal menyapa telapak kaki mereka. Kadang terasa di kaki mereka pecahan kayu, kerang, sampai kaca yang dibawa air ombak menuju pinggir pantai.
Kazunari merasa sangat bebas di pantai, ia merentangkan kedua tangannya ke atas, menikmati angin sejuk yang berembus. Sepatu olahraga yang bersemayam di kedua telapak tangannya menjadi perhatian.
“Dasar nih anak malu-maluin mulu nanodayo,” gumam Shintarou, ia mendekati Kazunari.
Sebelum melangkah, ada kedamaian yang dirasakan Shintarou melihat cahaya matahari yang semakin silau di ufuk barat. Ombak bergulung pelan dan pecah di pinggir pantai. Airnya pecah membasahi kaki para pengunjung yang berdiri di pinggir pantai. Angin mengeringkan keringat Shintarou.
Ia menunduk, menatap air yang surut. Material-material ringan terseret oleh air. Ada juga yang hinggap di kaki para pengunjung. Seperti Shintarou yang kakinya dihinggapi popok bayi.
Bergidik jijik, Shintarou kembali berlari dengan menenteng sepatu olahraganya.
Ia selama ini selalu disibukkan tugasnya sebagai mahasiswa kedokteran sampai lupa alam terlalu indah untuk ia abaikan.
“Shin-chan, mendaki Bukit Bintang yuk!” ajak Kazunari lagi. Pemuda itu tidak bisa diam dalam waktu lama, ia selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Tidak seperti Shintarou yang suka berlama-lama dalam satu tempat.
“Lu nggak capek nodayo? Nanti kalau lu pingsan, gue tinggalin aja di Bukit Bintang. Biar dibawa ke Kerajaan Monyet,” tolak Shintarou mengubah larinya menjadi jalan santai. Ia semakin dekat dengan muara pantai dan Bukit Bintang.
“Nggak lah! Lagian kita nggak mendaki sampai puncak. Gue tahu spot yang pas untuk lihat sunset.”
Tiada jawaban dari Shintarou, tapi pemuda itu tetap mengekori langkah Kazunari dari belakang. Apa salahnya ia menikmati keindahan alam yang ia abaikan?
Sesuai perkataan Kazunari, mereka membayar tiket masuk ke Bukit Bintang dan menaiki tangga-tangga batu yang berlumut. Di samping kiri mereka, berjejerlah rumah-rumah warga yang berdempetan dengan bukit.
Rumah-rumah itu sederhana, namun anak-anak tetap bermain dengan riang. Mereka melompat ke dalam air laut ataupun ada seorang batita yang berendam di dalam baskom dengan riangnya menciprat-ciprat air.
Shintarou tetap menjaga langkahnya karena di sebelah kanan langsung bertemu laut. Ia takut salah langkah terus tergelincir dan tercebur ke dalam laut. Jatuh sudah harga dirinya nanti.
Kazunari membawanya mendaki gunung beberapa meter, sampai ke sebuah pondok yang diisi sekitar lima sampai tujuh orang remaja. Rata-rata berpakaian olahraga. Shintarou memilih kursi di sudut pondok, pandangannya lebih leluasa menatap matahari yang setengah terbenam membentuk kubah dan para nelayan yang mempersiapkan perahu mereka.
“Sekarang pondoknya udah bagus, ya. Pohon-pohon yang ngalangin pemandangan udah dipangkas. Dulu kalau mau lihat sunset susah dari sini,” ujar Kazunari duduk di sebelah Shintarou, menyatukan arah pandangnya dengan Shintarou setelah ia memesan minuman dan Pop Mie ke warung di sebelah pondok.
Shintarou tersenyum tipis. "Iya."
Bersambung...
Plis para fans Levi jangan ngamuk dulu ke aku. Nanti bakal dijelaskan kok hubungan Levi dan Keyzi. Simpan dulu amarah kalian.
Oh ya, aku arc ketiga ini namanya aku ganti jadi Last Game. Aku rasa sih arc ketiga bakal terlalu panjang kalau jadi arc terakhir. Cek di chapter 2.7 ya.
Setelah arc ketiga masih ada kok satu arc lagi. Tenang!
Pantai Kota Julikarta & Bukit Bintang live action
Ada yang bisa nebak ini di mana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top