Kos Sultan 3.3

Gimnasium di universitas itu berisik oleh pantulan bola dan decitan sepatu. Dunk terakhir dimasukkan Taiga sebelum ia menepi ke pinggir lapangan, mengelap keringat kemudian menyandang tas di bahu kiri sembari meneguk air.

Di belokan koridor, Taiga tak menyadari sosok berkulit tan bersembunyi menanti kedatangannya.

“Dor!”

“Ayam! Ayam! Kaget gue anjir!” Taiga menyemburkan air di dalam mulutnya.

“Haha. Gitu doang kaget,” ledek Daiki yang baru mengejutkan Taiga. Kedua tangannya membentuk pistol sehingga ia berpura-pura menembak pemuda berambut merah itu.

Bukan menembak dalam artian romantis ya.

“Tapi nggak nyembur ke aku juga dong,” ucap Tetsuya yang wajahnya jadi korban semburan air Taiga.

“Eh maaf maaf. Gue nggak tahu lo ada di sana,”--balas Taiga membuka tas dan mengeluarkan handuk kecilnya, lalu kain putih itu ia ulurkan pada Tetsuya--“pakai nih.”

“Nggak. Udah bau keringat,” tolak Tetsuya. Untung ia membawa saputangan yang diusapkannya pada wajah.

“Serah,”--Taiga menyimpan kain ke dalam tasnya kembali--“ada apa kalian ke sini?”

“Kuliah,” jawab Tetsuya.

Taiga menepuk kepala biru muda itu keras, kerutan kecil terlihat di jidatnya. “Itu gue juga tahu. Maksudnya kok ada di dekat gym? Mau latihan?”

“Mau ke kantin lah, 'kan jalannya lewat sini. Ikut nggak?” tanya Daiki merangkul Taiga.

“Iya. Tapi jangan ngerangkul ginilah.” Taiga terganggu dan menepis lengan kekar Daiki.

Kedua pemuda itu berjalan menuju tempat tujuan. Mengapa dua? Di mata orang awam Tetsuya yang berada di tengah Daiki dan Taiga tak terlihat oleh mereka. Kantin siang itu tak terlalu ramai. Mereka mengambil tempat di tengah-tengah kantin biar terpapar angin kipas yang tergantung di atas mereka.

Sambil memakan nasi gorengnya, Daiki membuka beranda instagramnya. Rata-rata dari akun olahraga ataupun makanan laut, ada juga satu-dua akun cewek-cewek seksi. Satu notifikasi chat masuk ke ponselnya. Daiki agak malas menekannya ketika membaca nama orang yang mengirimnya pesan.

“Mas Junpei sama Mas Kousuke bakal ke sini, kita diajak latihan ke sport center keluarga Kak Riko,” ujar Daiki kembali membuka instagramnya setelah singgah sejenak ke WhatsApp.

“Sip bosque.” Sebagai salah satu mahasiswa yang diajar Kagetora, tentu Taiga tahu dosennya itu memiliki sport center keluarganya sendiri.

“Yo!” sapa Junpei, ia mendatangi meja ketiga cowok itu bersama Wakamatsu Kousuke.

“Enak banget makannya. Bagi-bagi lah,” ujar Kousuke mengambil kerupuk udang di piring Daiki dan ia sendokkan pada nasi goreng.

“Ganggu orang makan aja, kalau mau pesan aja sendiri sono,” omel Daiki menjauhkan piring dari jangkauan tangan Kousuke.

“Bayarin.”

“Ogah.”

Junpei duduk di sebelah Taiga, berhadapan dengan Daiki, Kousuke, dan Tetsuya yang tak dianggap. Kedua cowok itu memesan makanan. Sembari menunggu, mereka ngiler melihat makanan yang dimakan Daiki dan Taiga.

“Jangan incar nasgor gue plis,” ujar Daiki, kedua lengan membentengi piring nasi gorengnya.

“Kayak gue mau aja.”

Ah elah, tipu-tipu nih Kousuke.

Mi rebus pesanan Junpei dan nasi goreng Kousuke terhidang di meja makan, kedua pemuda itu mengisi perut sebelum latihan lagi.

“Kenapa makan mi di sini, Mas? Di kosan 'kan banyak.”

Junpei tersentak kecil menyadari Tetsuya duduk di depannya. Begitu pula Kousuke yang sama terkejutnya, ia mengurut dada. Lagi-lagi Tetsuya suka mengejutkan orang.

“Kadang Indomie di warung lebih enak daripada buatan kita sendiri,” jawab Junpei mengacungkan jempolnya.

“Eh tunggu. Mas Junpei 'kan nggak kuliah ngapain ke sini?” tanya Taiga yang menyadari adanya kejanggalan karena eksistensi Junpei.

“Roti-roti gue diborong ibu-ibu dosen di sini, lumayanlah,”--jawab Junpei menyengir--“makanya gue jajan di sini.”

“Sekalian nih Junpei nyari sugar mommy.” Celetukan ngasal Kousuke membuat tulang keringnya ditendang Junpei dari bawah meja.

“Traktirlah, Mas,” pinta Taiga meminum sodanya yang tersisa setengah.

“Nanti tuh, tenang aja.” Jempol Junpei teracung dengan cengirannya.

“Ingat-ingat tuh janji si Junpei,” ujar Kousuke.

“Nanti awas janjinya nggak ditepati pas ditagih ya, Mas,” sambung Tetsuya menatap lurus ke Junpei.

Junpei menyengir lagi, menyamarkan ketakutannya. Tatapan Tetsuya yang polos itu kadang bisa mengerikan. Tak butuh waktu lama Junpei dan Kousuke menghabiskan makanan. Berangkatlah mereka ke sport center keluarga Aida.

“Wah, kalian datang juga!” sambut Riko di depan pintu kaca sport center mewah itu.

Daiki mangap, tak menyangka seorang dosen mampu membangun tempat olahraga mewah yang tampaknya lebih pantas dikunjungi artis-artis terkenal. “Iya dong,” balas Junpei dengan cengirannya.

“Dah, masuk aja yuk.”

Riko mengajak mereka masuk, melewati alat-alat olahraga mahal dilengkapi pelatih masing-masing alat.

Gimana mau sehat kalau keringat nggak keluar di sini? batin Daiki melihat pendingin ruangan yang dipasang di dinding-dinding.

Keluar dari ruangan, mereka menelusuri koridor yang diterangi lampu-lampu yang bersinar kuning di langit-langit. Kaca bening membentangi setiap sisi koridor dari ujung ke ujung, memperlihatkan taman kecil di sebelah kiri dan restoran di sebelah kanan.

Tibalah mereka di depan pintu yang terletak pada ujung koridor.

“Kita sekarang melatih kekuatan fisik kalian ya.” Riko membuka pintu besi hitam, terlihatlah kolam renang yang airnya jernih dan disinari lampu-lampu di atasnya.

“Aaa ... mewah banget,” komentar Tetsuya mendongakkan kepala ke lampu-lampu yang digunakan.

“Gue nggak nyangka Pak Kagetora sekaya ini,” gumam Taiga. Tidak disangka dosennya yang berumah sederhana itu punya uang yang sangat banyak membangun sport center mewah yang dilihatnya hari ini.

“Kalian ganti baju aja dulu sana,” suruh Riko. Pemuda-pemuda itu menurut. Mereka yang biasanya berebut makanan di kos karena saking sederhananya menjalani hidup, dibuat kagum oleh keluarga Aida.

Riko memulai latihan pertama, yaitu mencelupkan tubuh ke dalam kolam dan kembali berdiri secara cepat. Berenang, berjalan di treadmill, dan mengangkat barbel pun mereka lakukan demi meningkatkan stamina.

Junpei tak salah menyukai Riko yang sangat memahami dunia olahraga.

***

“Mas, jadi 'kan kita makan-makannya?” tagih Tetsuya di ruang ganti.

“Ma-makan? Hehe iya.” Junpei tertawa canggung, berharap jangan sampai teman-temannya meminta makan di restoran yang mahal-mahal.

“Kita makan di-”

“Gue yang nentuin, soalnya gue yang punya duit. Nggak nurut? Nggak dapat traktiran.” Junpei mendorong kacamatanya yang berkilat tegas, menghentikan ucapan Kousuke yang terputus.

Mak, udah clutch time aja, batin Taiga.

Berangkatlah mereka menggunakan motor dari sport center. Junpei sendirian di motornya dengan keranjang kosong di jok belakang. Taiga dan Kousuke berboncengan, Tetsuya dibonceng Daiki.

Junpei memimpin di depan, Kousuke sedikit kesulitan mengimbangi kecepatan motor Junpei dan Daiki yang tergolong mengebut. Jam menunjukkan jauh dari waktu pulang kerja dan sekolah, makanya jalanan malam ini tak diramaikan kendaraan dan bebas macet.

Pusat kota? Emangnya Mas Junpei mau bawa kita ke mana? tanya Taiga di dalam hatinya, mengenali jalanan berlampu dan dirimbunkan pohon menuju pusat kota.

Taiga menikmati angin malam yang menghalau sisa udara panas tadi siang, daun-daun pohon yang ditanami di pinggir jalan cukup menurunkan suhu.

Mereka semakin dekat dengan pusat kota. Mungkinkah Junpei membawa mereka ke restoran mahal?

Nyatanya tidak.

Motor Junpei menepi di trotoar, diikuti Daiki dan Kousuke yang memarkirkan motor di belakang Junpei. Gerobak sate di pinggir jalan adalah tempat yang dipilihnya.

Asap pembakaran daging sate dari gerobak mengepul sedikit menutupi jarak pandang, tetapi aromanya nikmat dihirup tak seperti asap kendaraan ataupun asap rokok yang menyiksa hidung.

“Mas, serius kita makan di sini?” tanya Tetsuya sedikit sangsi, ia melirik ke selokan besar berair hitam di sebelah mereka.

“Jangan diliat airnya, fokus makan aja,”--jawab Junpei--“dah, kalian mau daging sapi aja atau gimana nih?”

“Ikut lo aja dah, Pei. Kita mah ngikut.”

Kousuke duduk di trotoar diikuti Daiki, Taiga, dan Tetsuya. Trotoar ramai diduduki pelanggan sate, sampai yang bermobil ikut makan di sini. Mungkin rasa sate yang dijual sangat enak, oleh karena itu tetap didatangi pelanggan kendati di sebelahnya ada selokan.

Taiga mendongak, langit hitam cerah tanpa awan menutupi bulan dan bintang. Sebentar lagi ia harus merealisasikan janjinya pada sang ibu, supaya ia tak meninggalkan Kota Julikarta yang ia cintai.

Taiga mengenal banyak teman sejak tinggal di Kos Sultan. Ia tak lagi kesepian, apapun aktivitas yang ia lakukan jauh dari kesendirian karena selalu saja ada yang menemaninya, contohnya Tetsuya yang berada di samping Taiga hampir dua puluh empat jam sehari.

Suasana Kos Sultan dan apartemennya jauh berbeda, tetangga-tetangganya di apartemen cenderung cuek dan tak mau tahu urusan satu sama lain.

Berbeda dengan tetangga-tetangganya di Kompleks Beringin yang saling mengenal luar dalam. Mungkin faktor mereka sesama mahasiswa rantauan yang menyebabkan saling perhatian.

Taiga tidak mau ke Bali. Bukannya tak mampu mengelola bisnis restoran keluarganya, ia punya cita-cita yang harus dicapai dan Taiga nyaman tinggal di Kos Sultan yang luput dari suasana sepi.

“Nih gue bawain kotak Aqua buat minum.” Junpei menaruh kotak Aqua di depan Kousuke.

“Mana bisa kotak diminum,” balas Daiki.

“Air Aqua kali,” sambung Kousuke.

“Air 'kan emang Aqua, Mas,” timpal Tetsuya.

“Maksudnya air merek Aqua, Tet,” ujar Kousuke membuka kotak.

Ternyata isi kotaknya kosong.

“Kena tipu 'kan lo,”--ledek Junpei terkekeh--“makanya fokus sama yang gue omongin. Bukan fokus liat cewek-cewek dibonceng pacarnya. Gue 'kan bilang kotak Aqua bukan Aqua doang.”

“Cih.” Kousuke memberungut.

Sebelum pindah ke Kos Sultan, jarang sekali Taiga terkekeh melihat interaksi manusia. Sekarang sering sekali Taiga dibuat terkekeh kecil dengan tingkah penghuni Kos Sultan yang aneh-aneh, ditambah penghuni kos lainnya.

Sate yang dipesan Junpei pun tiba. Satu ketupat, tiga daging, dan satu keripik siap santap di piring masing-masing. “Makasih, Mas Junpei,” ucap Tetsuya tulus. Mata polosnya benar-benar lugu, tidak seperti tadi sore yang sedikit horor.

Ya iyalah, Tetsuya senang ditraktir.

“Makasih, Mas,” ucap Taiga tersenyum kecil. Sebelumnya di apartemen, belum pernah Taiga ditraktir tetangganya.

Rupanya enak rasanya ditraktir. Tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tetapi jangan sering-sering juga minta ditraktir, kita harus tahu diri juga.

“Yup, sama-sama,”--Junpei tersenyum kecil--“lo nggak bilang makasih, Kousuke?”

“Nggak,”--Kousuke menjawab jutek sembari menggigit daging sapinya--“udah seharusnya lo traktir gue yang dulunya sering lo utangin waktu SMA.”

“Ciaelah, jangan ungkit-ungkit dong ah. Gak asik lu.” Junpei meninju pelan bahu Kousuke.

Tetsuya melirik wajah bahagia Taiga di sebelahnya. Di hari kedua mereka liburan di Bali, Tetsuya sempat menguping pembicaraan Alex dan Taiga. Tetsuya mengerti bagaimana rasanya orangtua tidak menyetujui mendalami bidang apa yang kita suka, namun di sisi lain Tetsuya tak tahu harus melakukan apa untuk membantu Taiga.

Semoga hari ini mampu sedikit meringankan tekanan yang didapat Taiga dari orangtuanya.

Bersambung...
Alhamdulillah tabletku bisa diperbaiki. Hehe. Terima kasih sudah mendukung dan menunggu kelanjutan fanfict ini. Btw... nih book terlalu slice of life nggak sih??? Aku sengaja bikin serealistis mungkin sambil nyisipin nasehat. Biar berguna juga waktu yang kalian gunakan buat baca book ini. Hwhwhw

Fun fact: penjual sate di dekat selokan gede based on true story. Wkwkwk.

Happy 1k views!!! Thank you for your support!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top