Kos Sultan 3.2

Ryouta bebas dari jadwalnya sebagai model. Mulai nanti siang jadwalnya padat kembali, sang manajer telah berbaik hati mengosongkan jadwalnya di pagi hari. Karena kosongnya jadwal, Ryouta memilih latihan.

Pagi-pagi ia bangun dan sudah memasang sepatu olahraganya. Ia bersama Daiki berlari pagi, menghirup udara segar khas subuh hari. Langit masih gelap dan rumah-rumah sebagian belum bangun, masih terlena di mimpi masing-masing.

Toko-toko masih tutup, pun kendaraan yang lewat masih bisa dihitung jari.

Diselingi candaan dan ejekan, kedua pemuda itu menyusuri Kota Julikarta yang belum bangun itu. Daiki bangun pagi adalah fenomena langka. Kalau bukan karena majalah Mai-chan edisi terbatas keluar pagi ini, Daiki mana mau memasang alarm.

Untuk kuliah saja ia sering terlambat pergi, apalagi latihan. Mai-chan adalah sumber semangat Daiki melakukan sesuatu.

“Kayaknya kita kepagian, Daiki-cchi,” ujar Ryouta dan melirik jam tangan yang menunjukkan pukul setengah lima.

“Ya udah, kita balik lagi. Udah setengah jam lari, kita main basket aja dulu.”

Kembali ke kompleks perumahan yang masih sepi, kedua pemuda itu menggunakan lapangan dan one-on-one. Mereka disibukkan oleh pertandingan yang sengit, kemampuan mereka harus semakin dikembangkan karena Jabberwock adalah lawan yang bukan kaleng-kaleng.

“Ryouta, lo harus menyamakan gerakan lo dengan gue. Gue tahu gue kuat untuk ditiru, setidaknya lo usaha,” tegur Daiki ke Ryouta yang sudah kelelahan mengatur napasnya.

“Lo terlalu kuat Daiki-cchi! Susah ditiru ssu!” sangkal Ryouta.

“Ya udah, istirahat aja dulu. Nanti lanjut lagi.”

Istirahat lima menit, Daiki mencari-cari belalang. Bukannya lanjut latihan setelah lima menit berjalan, justru Daiki menakut-nakuti Ryouta dengan belalang di tangannya. Alhasil terjadi aksi kejar-kejaran dan suara teriakan Ryouta yang mirip cewek menggelegar.

Matahari telah bangkit, manusia-manusia bangun dari tidur dan mulai beraktivitas. Ada yang berangkat kerja, kuliah, dan sekolah. Ada juga yang berolahraga di pagi hari. Suasana lebih hidup. Langit perlahan membiru diterangi matahari.

“Ryouta, istirahat kuy. Makan dulu atau gimana, lo traktir ya,” suruh Daiki membawa bola basket yang digunakan tadi. Ia sudah melepas belalang yang sempat ia main-mainkan.

“Duit gue dikit ssu!” tolak Ryouta menyusul Daiki.

“Pakai aja berapa yang ada.” Daiki mendongak, ia membawa bola basket di hidungnya. Mungkin saja ada yang mau memberinya uang karena akrobat yang ia lakukan.

Kedua pemuda itu bukannya balik ke kos, mereka mampir ke warung Mpok Emi yang memang lengkap. Pagi ini Mpok Emi menjual ketupat sayur. Makanan yang cocok untuk dimakan pagi-pagi.

Menunggu pesanan mereka tiba, Daiki masih tetap melakukan akrobat dan Ryouta memeriksa ponselnya. Sebuah notifikasi masuk, Ryouta tak mampu menahan jeritannya.

“Yeay! Gue diterima ssu! Diterima! Diterima! Yeay! Nggak sia-sia penantian gue ssu!” jerit Ryouta, ia melompat-lompat membuat Daiki keheranan.

“Napa lu?” tanya Daiki menaruh bola di sebelahnya.

Ryouta menghentikan lompatannya dan kembali duduk, pura-pura cool saat anak Mpok Emi menyajikan makanan. “Ada deh. Daiki-cchi nggak usah tau ssu. Hihi.”

Palingan cewek. Ryouta 'kan playboy, batin Daiki mengambil sebuah bakwan sebagai pelengkap makanannya.

Terkikik, Ryouta makan sambil memainkan ponselnya. Memeriksa berulang kali pesan masuk yang diterimanya.

Apaan sih? Secakep itu cewek yang nerima Ryouta?

Saking penasarannya, Daiki merebut ponsel ber-cashing Spongebob itu dari pemiliknya. Ia sudah gerah mendengar suara cekikikan Ryouta.

Kalau saja suara Ryouta tidak seperti kuntilanak, sungguh, Daiki sama sekali tak ada keinginan repot-repot merebut istri (read: benda kesayangan) Ryouta tersebut.

“Daiki-cchi! Kembaliin HP gue ssu!” Ryouta berdiri dan berusaha menggapai ponselnya yang berada di tangan Daiki.

Dikarenakan dipisahkan meja, Ryouta kesulitan merebut kembali ponselnya, apalagi Daiki sangat gesit menghindar.

“Gue lihat dulu apa yang bikin lo sesenang ini. Bentar aja kok,” ujar Daiki. Ia membelakangi Ryouta dan matanya membulat sempurna membaca sederet kalimat yang tertulis di ponsel itu.

Ryouta memutari meja dan merebut ponselnya dari belakang.

Terkejut, Daiki berujar, “Ryouta ... jadi lo....”

Mulut Daiki mangap, mata sipitnya yang membesar menatap Ryouta dan ponsel cowok berambut kuning itu bergantian.

Daiki-cchi tahu ssu? Gawat nih.

Keringat kembali diproduksi pori-pori kulit Ryouta, padahal ia tak melakukan apa-apa selain menatap Daiki takut dan berkata panik, “Da-daiki-cchi ... gue bisa jelasin ssu.”

“Sejak kapan lo jago bahasa Inggris, Ryou?”

Satu geplakan mendarat di kepala Daiki sampai wajahnya menempel di meja.

“Kirain apa tadi ssu.”

Sehabis makan, Ryouta harus rela diseret Daiki ke toko majalah langganannya. Daiki memuaskan hasratnya dengan melihat foto-foto Mai-chan dalam beragam pose.

Ryouta lebih suka melihat foto-foto dirinya di majalah.

“Ternyata gue emang ganteng ssu,” monolog Ryouta pada dirinya, ia tersenyum dan menaruh majalah kembali ke tempatnya. Tinggal dibeli oleh para penggemar Kise Ryouta.

“Ryouta, balik kuy. Gue udah beli majalah Mai-chan.”

Daiki sudah menenteng kantung berisi lima majalah Mai-chan edisi terbatas. Mai-chan adalah motivasi Daiki melakukan kebaikan. Rela bangun pagi supaya tidak kehabisan majalah Mai-chan ataupun menabung hari-hari di sebelumnya dilakukan Daiki.

Aslinya Daiki ogah melakukan itu semua kalau bukan karena Mai-chan. Kalau ingin memaksa Daiki melakukan sesuatu, kita harus membujuknya dibelikan majalah terbaru Mai-chan atau koleksi majalahnya dibakar.

Simpel sekali dirimu, Daiki.

Daiki mengeluarkan sebuah majalah sembari berjalan dan memasuki gang menuju kompleks. Di sebelahnya Ryouta berbalas pesan dengan penggemar-penggemarnya. Sempat juga tadi Ryouta siaran langsung di Instagram.

“Lo emang nggak tertarik baca nih majalah?” tanya Daiki membuka halaman pertama.

“Nggak ssu yo. Hihi.” Ryouta terkikik membaca balasan dari seorang penggemarnya. Sebut saja Mawar. Mawar membalas balik gombalan yang dilontarkan Ryouta.

“KiseDai sama Taiga pernah lho baca majalah ini, termasuk Seijuurou.”

“Gue kasih tahu ke Seijuurou-cchi nih lo ghibahin dia ssu, palingan dia nggak sengaja baca ssu yo,” ancam Ryouta memperlihatkan kontak Seijuurou. Tinggal menekan tombol telepon, maka tamatlah riwayat Daiki.

Terlonjak, Daiki menempelkan ujung majalah di bibir Ryouta. Jelas sekali Daiki takut berbicara keburukan Seijuurou di depan orangnya langsung dan berani ngomongin di belakang.

Mirip cewek-cewek rempong ya?

“Jangan ember lu. Tapi suer terkewer-kewer gue nggak bohong,” suruh Daiki menarik kembali majalahnya.

Percuma Daiki bilang begitu, ujung-ujungnya nanti Ryouta tetap menyebarkan apa yang dibilang Daiki barusan. Soalnya sudah hobi Ryouta ngegosip sampai keceplosan membuka rahasia.

Jujur, sebagai laki-laki tentu Ryouta ada hasrat yang sama seperti Daiki. Buktinya sesekali manik madu itu mencuri-curi pandang majalah yang dibuka Daiki sampai wajahnya merona sendiri. Orang-orang berpikir Ryouta pasti belok karena wajahnya merona tepat saat ia berjalan berdua saja dengan Daiki.

Kok Daiki-cchi gayanya biasa-biasa aja ssu? Nggak kelihatan wajahnya merah atau hidungnya mimisan. Mungkin udah terbiasa ssu yo, batin Ryouta.

“Jangan-jangan lo lebih suka nonton aneh-aneh ya biar le-”

“Daiki-cchi nanyain apaan sih ssu?” pekik Ryouta karena pertanyaan yang akan dilontarkan Daiki tidak lulus sensor KPI.

Bersambung...
Helo! Maaf minggu kemarin aku nggak update, soalnya aku pulkam :'). Rencananya sih double update, tapi chapter 3.3 yang awalnya 1.8k words jadi 500 words :'). Mau ngetik ulang juga males, soalnya tabletku rusak.

Yap, biasanya aku buka wattpad di tablet. Tapi karena tuh tablet rusak, terpaksa aku download wattpad di hape android-ku ini. Aku belum terbiasa ngetik di hp, jadi untuk chapter selanjutnya bakal sedikit lama :')

Mohon pengertiannya ya :'). Kalau aku terbiasa ngetik di hp atau tabletku selesai diperbaiki, aku bakal update kok.

Jangan kabur, ya! Stay di Kos Sultan :)

OMAKE

Malam saat mati lampu.

Hampir pukul dua belas malam, lampu kembali hidup. Tenda-tenda, perkakas, dan lampu baterai yang digunakan langsung dirapikan. Taiga memeriksa kembali apakah ada barang yang tinggal atau tidak.

Ia menemukan sebuah majalah yang tergelak di atas semen halaman kos ungu. Membuka majalah, Taiga terperangah ke seorang wanita berpakaian minim dan berpose seksi yang ada di dalam majalah.

Tetsuya mendekati Taiga karena ia ingin menitipkan Nigou sebentar pada teman sekamarnya. Penasaran dengan apa yang dibaca Taiga, pemuda bersurai baby blue itu mengintip dari balik bahu Taiga. Tumben-tumbennya si macan mau membaca buku.

Ternyata yang dibaca Taiga adalah majalah Mai-chan.

“Kalian nggak balik?” tanya Seijuurou yang merasa anggotanya kurang. Tidak ada respons, Seijuurou mendekat dan berdiri di sebelah Taiga yang mulutnya mangap.

Mata Seijuurou melebar. “Sei-chin nggak masuk?” Atsushi datang bersama Shintarou.

Atsushi menaruh kepalanya di bahu Seijuurou. Shintarou berdiri di belakang mereka.

Kacamatanya langsung retak melihat apa majalah yang dibuka Taiga.

Rusak sudah kepolosan Tetsuya. Begitu pula Taiga yang tidak polos lagi karena tanpa sengaja membaca majalah kesayangan Daiki. Seijuurou juga kaget, kalau ayahandanya tahu, ia akan diisolasi walaupun Seijuurou tak sengaja melihat Mai-chan yang berpose seksi dan hanya memakai bikini.

“Hadeeeh. Dia nggak kedinginan pakai baju minim gitu? Sei-chin, kita harus sedekah ke orang-orang seperti ini ya. Kasihan. Biar dia bisa beli baju yang bagus.”

Celetukan polos Atsushi membuat keadaan lebih hening dan canggung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top