Kos Sultan 3.0

“Lo yakin cara masaknya gini?”

“Yoi.”

Tatsuya tersenyum, adiknya yang sempat murung kembali seperti semula. Liburan dapat me-refresh pikiran yang kacau. Taiga bersemangat mencobakan resep ayam betutu yang ia bawa dari hotel.

Hotel tempat menginap di Bali kemarin memang sengaja menyediakan resep gratis untuk tamu. Reo ikut bergabung bersama mereka, mempercepat proses pemasakan. Pantas saja kemarin pagi Taiga menyuruh Tatsuya berbelanja di pasar.

Taiga dengan lincah memotong-motong cabai dan bawang, setiap pergerakan ia lakukan secara cepat. Waktu berlalu cepat dan Trio Koki Andalan Kos Sultan menyediakan semangkuk besar ayam betutu.

Sebenarnya ada satu orang lagi yang jago memasak di Kos Sultan, yaitu Junpei. Mengapa Junpei tidak pernah terlihat memasak bersama Trio Koki? Jawabannya mudah. Ia lebih suka memerintah orang lain.

“Cukup untuk kita nggak sih?” tanya Reo. Jumlah mereka lebih dari dua puluh, mungkin makan ayam betutu untuk sehari saja belum tentu cukup menampung perut semua penghuni kos.

“Cukup sih tapi untuk sarapan doang,” jawab Tatsuya.

Bumbu pedas dan potongan bawang yang melumuri ayam khas sekali dengan Bali. Pedasnya rempah-rempah terasa asyik dibandingkan pedas cabai bubuk.

“Baru sarapan aja gue udah keringetan gini, buset,” komentar Daiki. Tangannya yang menyendok nasi tambahan dicekal Taiga.

“Eits, jangan serakah,” larang Taiga.

“Hilih kambing. Bilang aja lo pengen nambah juga,” ketus Daiki menampar tangan Taiga yang mencekal tangan kirinya.

“Wajar dong. Gue yang masak,” balas Taiga memasukkan dua sendok nasi tambahan dan sepotong besar dada ayam.

“Enak banget masakan kalian bertiga ya.”

“Oh iya dong.”

Taiga sedikit nge-fly setelah dipuji Junpei. Selesai sarapan yang ricuh, satu persatu penghuni kos berangkat ke dunia luar, entah kuliah atau bekerja.

Taiga yang masih di kos, mencuci peralatan memasak dan piring-piring dibantu Tatsuya yang kuliah siang. Ia sendiri hari ini kosong dari jadwal kuliah.

“Gue mau lanjut bikin skripsi ya,” ujar Tatsuya memasuki kamarnya. Taiga mengangguk dan merasakan suasana kos lebih sepi, ia pun mengambil bola basket di kamar dan bermain di lapangan street ball.

Taiga berusaha memikirkan kekurangannya dalam bermain dan akan memperbaiki kesalahannya. Jabberwock harus dikalahkan.

Hinaan mereka terlalu keji untuk tidak dibalas.

“Hei, Taiga.”

Taiga dikejutkan kedatangan Riko, konsentrasinya pecah dan bola yang ia lemparkan meleset. “Iya, Kak,” sahut Taiga, sedikit sebal konsentrasinya dipecah.

“Mau dilatih?”

“Mau-mau aja sih, Kak.”

Di pinggir lapangan, Riko memerhatikan Taiga yang kembali aktif memantul-mantulkan bola dan ia masukkan pada ring. Taiga tak lagi sebal, ia senang Riko datang dan mengoreksi kesalahannya.

Sebisa mungkin Taiga menghindari kesalahan yang ia buat. Gerakan permainannya semakin cepat. Daiki yang baru pulang kuliah, menyadari kecepatan Taiga yang semakin mengimbangi dirinya. Daiki terpancing dan meminta Riko juga melatihnya.

Tumben sekali Daiki yang terkenal dengan slogan "Yang bisa mengalahkanku hanya aku" itu ingin lebih kuat dengan dibantu orang lain.

“Heh, berdiri lo,” titah Daiki memantul-mantulkan bola. Taiga berbaring di atas lapangan dalam posisi telentang dan kedua tangannya yang merentang.

Bukan durasi latihan yang membuatnya lelah, justru peningkatan kekuatannya sendiri membebani Taiga dan membuatnya sedikit lebih cepat lelah dari sebelumnya. Taiga harus membiasakan kekuatan barunya supaya tidak mudah lelah.

“Gue capek woi. Emangnya lu nggak capek?”

“Nggak.” Daiki men-dunk bola ke ring yang kosong dari penjagaan. Sekian detik bola melayang di udara dan jatuh ke tanah melewati ring.

“Simpan tenaganya untuk nanti malam. Kakak datang ke sini lagi kok bareng papa,” nasihat Riko membawakan dua botol air mineral. Ia juga membelikan gorengan pengganti energi kedua pemuda tersebut.

Mereka bertiga duduk di atas lapangan, menikmati gorengan dan angin sepoi-sepoi. Saling bercerita tentang diri masing-masing dan diselingi obrolan seputar strategi permainan. Walaupun baru mengenal, Taiga merasa nyaman berbicara dengan Riko. Baginya Riko seorang kakak yang sangat perhatian ke adik-adiknya.

Pantas saja hubungan Junpei dan Riko sangat dekat. Mereka saling perhatian.

“Kakak mau pulang dulu, ngurus sport center,” pamit Riko berdiri dan menepuk-nepuk pelan celana bagian belakangnya.

Sebuah fakta yang sedikit mengejutkan, keluarga Aida memiliki tempat sport center sendiri yang sekarang diurus Riko. Kagetora tidak punya cukup waktu untuk mengelola tempat olahraganya sendirian.

“Awas, Kak!” Riko terkejut kala Taiga tiba-tiba menariknya sampai Riko menubruk tubuh atletisnya. Alex yang baru datang menghentikan larinya, pun mencuatkan bibir ke atas.

“Padahal aku mau nyium dia lho, Taiga,” rengek Alex.

Astaga, Si Tua..., batin Taiga.

“Udah, cukup di Bali aja nyium-nyium Kak Riko sembarangan gini. Lama-lama dia bisa trauma sama bule,” omel Taiga. Kedua telunjuk Alex menyumbat telinganya, pura-pura tidak mendengar dan memonyong-monyongkan bibir mengikuti gerak mulut Taiga.

“Oi!”

Riko tersenyum dan menepuk bahu Taiga. “Pulang dulu ya,” pamitnya.

Manik cokelat Riko berbelok ke Daiki yang masih setia berulang kali menembak bola ke ring. “Dai! Pulang dulu ya!” seru Riko.

Daiki sedikit menoleh, kemudian tersenyum kecil.

“Pulang dulu, Bu,” pamit Riko pada Alex yang membelakanginya dan Taiga, masih pura-pura tuli.

Alex berbalik dan tersenyum. Sebelum Alex memberi ciuman perpisahan, Taiga mendorong Riko agar cepat keluar dari lapangan. Jadilah Alex mencium angin lewat.

“Taiga! Ih, gagal lagi!” rengek Alex.

“Jijik, Lex,” ketus Taiga.

“Pulang, kuy!” ajak Daiki melempar bola dan ditangkap Taiga. Daiki keluar duluan dari lapangan.

“Mau ke mana?” tanya Alex saat Taiga.

“Balik,” jawab Taiga singkat.

“Ikut!” Alex melompat dan hinggap di punggung Taiga, melingkari leher muridnya sampai Taiga terdorong ke depan.

“Berat, Alex!” erangnya.

“Sekali-sekali aja!” pinta Alex bersemangat. Karena Taiga murid yang baik hati, pintar, sopan, dan rajin menabung maka ia menuruti permintaan Alex.

"Bawa nih, Daiki." Taiga melempar bola kembali ke Daiki. Memperbaiki posisi Alex di punggungnya, Taiga menyelipkan kedua tangannya di lipatan balik lutut gurunya.

Tahu gini mending gak usah gue oper aja bolanya ke lo, Macan Amerika, batin Daiki sempat melirik ke Taiga dan sambil berjalan memantul-mantulkan bola basketnya.

Orang-orang melihatnya pasti berpikiran aneh. Bagi Taiga sudah biasa, ia menganggap Alex ibu keduanya. Alex pun begitu, ia menganggap Taiga tak lebih dari anak angkatnya.

Dulu di masa-masa Taiga sendirian, Alex datang memberi kasih sayang seorang ibu padanya. Makanya Taiga ingin selalu menyenangkan hati Alex.

Taiga gercep juga ya. Tapi ... gue liat-liat si Taiga kayak anak berbakti deh, bukan ambil kesempatan, batin Daiki. Ia dapat merasakan kasih sayang di antara guru-murid tersebut.

Alex pun mengajak Daiki berbicara, daritadi pemuda tan itu jadi manusia sampingan.

Daiki tahu wanita itu belum menikah, tapi Alex mempunyai aura seorang ibu yang kuat. Ia berbicara ramah dan menyemangati KiseDai yang di bawah bimbingannya.

Setahu Daiki orang-orang barat sangat cuek, berbeda dengan Alex yang ramah dan perhatian. Apa persepsinya terhadap orang barat adalah salah?

Tiba di kos, Daiki membukakan pintu dan Alex melompat turun. Kepalanya mengitari ke seluruh bagian ruang tamu, ia berlari-lari kecil memeriksa barang-barang yang ada di ruang tamu.

“Wah, ini pasti dibeli di Bali,” celetuk Alex girang. Ia memerhatikan setiap sudut patung mini yang terbuat dari kayu di genggamannya. Patung-patung mini berbentuk karakter-karakter wayang kulit itu dibeli Junpei semasa liburan di Bali.

“Hai, cantik. Mau main sama aku?” goda Shougo yang terkenal mesumnya, ia merapatkan tubuhnya ke Alex.

“Heh, macem-macem lu sama guru gue,” tegur Taiga garang.

Alex baru ditinggal ke toilet sebentar sudah digoda orang mesum, apalagi ditinggal dalam jangka waktu yang lama. Shougo menyengir dan takut bertindak lebih jauh, terutama Daiki menatapnya tajam di balik bahu Taiga.

Fun fact aja sih, Shougo pernah pingsan karena Daiki dalam sekali pukul. Dengan polosnya Daiki pura-pura tidak melihat Shougo dan melangkahi tubuhnya.

“Tenang aja, Taiga. Aku 'kan sabuk hitam taekwondo.”

“Tetap aja aku gak suka guruku digodain cowok mesum."

“Ciee ... akhirnya Taiga ngakuin aku gurunya.”

Taiga sadar apa yang ia katakan barusan, wajahnya kontan diselubungi warna merah. “Apa sih?” sergahnya memalingkan wajah dari Alex yang mengerling jahil.

“Padahal aku mau nonjok dia tadi lho, Taiga,” ujar Alex manja.

“Nggak usah macem-macem. Duduk aja di sofa, biar aku buatin kopi,” suruh Taiga dan bergegas ke dapur. Daiki sendiri sudah minggat ke kamarnya dan menikmati koleksi majalah Mai-chan tercinta.

“Ikut! Gimana kalau kita masak bareng? Aku udah laper!”

Taiga setuju karena ia merasakan asam lambungnya mulai naik dan memanaskan perutnya. Jadilah Taiga menyetujui ajakan Alex walaupun sedikit ogah, ia takut nanti Alex digodain penghuni kos lainnya.

Di dapur, Taiga membuka kulkas untuk memeriksa sekiranya ada bahan makanan yang tertinggal.

Sebenarnya Taiga baru menyadari bahwa bahan-bahan makanan di dapur bersama sering habis. Rata-rata penghuni kos di akhir bulan membawanya ke kamar masing-masing. Tatsuya pernah berkata bahwa sebelum Taiga datang, penghuni kos jarang makan bersama.

Kedatangan Taiga merekatkan hubungan penghuni kos karena mereka lebih sering makan bersama dibandingkan memasak di kamar masing-masing. Reo dan Tatsuya rajin memasak pun sejak Taiga menghuni kos, hingga terbentuklah Trio Koki Andalan Kos Sultan.

“Ada telur doang nih, Lex. Cukup nggak?”

“Cukuplah.”

Tugas memotong bawang merupakan keahlian Taiga, karena gerakannya yang cepat dan lincah cukup membutuhkan waktu kurang dari lima menit mencincang bawang-bawang merah beserta daun bawang dan seledri.

Alex sendiri berusaha mengangkat pecahan kulit telur yang melekat pada putih telur yang ia pecahkan. Kulit yang berusaha ia angkat terus lari setiap Alex akan mengangkatnya dengan sendok.

Mau mengangkat pakai tangan? Alex sendiri jijik.

“Aku aja, Alex. Biar cepat.”

Sedetik saja kulit telur itu terangkat dan dibuang Taiga ke tong sampah.

Tatsuya yang pulang dari kuliah dan mau ke kamarnya, dibuat penasaran oleh suara ribut-ribut dari dapur. Ia mendengar suara Taiga berbicara dengan seseorang. Memasuki dapur, Tatsuya dikejutkan kedatangan guru yang telah lama ia rindukan.

Tatsuya tahu kalau Alex pergi ke Indonesia, tapi ia tak menyangka Alex akan mengunjungi Kos Sultan.

“Eh, Alex. When you go to here? I mean ... Julikarta,” sapa Tatsuya tersenyum lebar, ia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.

Taiga yang sedang mengocok telur, sempat memeriksa jam di ponselnya menunjukkan jam tiga, pantas saja ia merasa lapar dan Tatsuya baru pulang kuliah. Biarlah ia menyiapkan makan siang selagi Tatsuya dan Alex reunian.

Yesterday,” balas Alex.

“Kamu ke sini kemarin? Kok gak bilang? Ngapain sekarang datangnya?” tanya Taiga menuangkan telur ke wajan penggorengan.

“Kamu 'kan gak nanya,” jawab Alex mendongak ke Tatsuya yang mengambil air dari teko.

“Oh iya.”

Ia tatap wajah tampan Tatsuya yang lebih dewasa dari tahun-tahun lalu.. Garis wajahnya menegas, menunjukkan masa remaja yang telah berakhir. Rahangnya kokoh dan tatapannya menguat. Tiada lagi sisa-sisa wajah polos dan berandalan khas SMA.

Alex menyadari wajah Tatsuya terlihat lebih dewasa daripada Taiga yang memang baby face.

Sudah bertahun lamanya Alex tidak bertemu Tatsuya, ia sangat merindukan pemuda itu. Alex berdiri dan sebelah tangan melingkari leher Tatsuya. Tahu apa yang akan dilakukan Alex, pemuda itu menempelkan jarinya pada bibir Alex.

Please don't do it,” tegur Tatsuya tanpa menghilangkan senyuman lembutnya.

“Ih, nggak asik.” Alex cemberut, ia melepas rangkulan dan duduk di kursi meja makan, menanti Taiga yang membolak-balikkan telur dadar.

“Gimana kalau kita bertiga ngomong bahasa Inggris bertiga kayak dulu?” tantang Taiga, sedikit menampakkan senyum menantangnya.

Alex dan Tatsuya saling menatap, mereka juga merasa tertantang. “Boleh.”

Taiga tersenyum, ia seakan berada di masa lalunya. Bersama Alex dan Tatsuya saja yang menemani masa-masa pahitnya di Amerika.

Bersambung...

OMAKE

“Ini kayak Keluarga Cemara nggak sih?” bisik Shun, mengintip dari dinding ruang keluarga, ia membungkuk dengan telapak tangan dan lutut menempel di lantai, guna menyembunyikan eksistensi dirinya.

“Wah, ceweknya cakep,” balas Shinji di seberang Shun, kebetulan pemuda berwajah kucing itu berkunjung ke Kos Sultan. Ia juga membungkuk sama halnya yang dilakukan Shun.

“Kira-kira itu siapanya Taiga ya?” Kazunari juga ikut mengintip dalam posisi sedikit membungkuk. Terkejut dengan kedatangan tak diundang Alex.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top