Kos Sultan 2.0
“Hadeeh tuh orang nyundulnya keras amat,” keluh Taiga memegang kepalanya yang nyut-nyutan terkena benturan dengan lantai. Untung saja kepala Taiga tidak bocor, hanya sedikit benjol.
Pelaku yang bernama Kamado Tanjirou itu meminta maaf berulang kali dan ingin mengantarkan Taiga ke rumah sakit. Dirasa lukanya tidak terlalu parah, Taiga menolak keinginan Tanjioru.
Lagipula nanti ia harus latihan basket. Mana mungkin ia dua hari libur latihan. Bisa-bisa ia dipecat Seijuurou jadi bagian KiseDai.
“Satsuki, ada waktu nggak?” tanya Jean yang kebetulan sama-sama pulang dari kampus dengan Taiga.
“Kenapa, Mas?” tanya Satsuki yang memindahkan kain jemurannya dan sang mama ke keranjang.
“Hm ... Mas pengen kita jalan berdua hari Minggu. Tanpa si Eren, tanpa KiseDai,” ucap Jean menyugar rambutnya.
Taiga yang melihat hal itu membatin. Najis.
“Kamu itu cantik. Akan kubelikan baju, make up, apapun itu yang kamu mau, Satsuki,” bujuk Jean menggenggam kedua tangan Satsuki.
Satsuki jadi gugup. Dia maunya Mas Tetsu. Bukan si Wajah Kuda Jean. Taiga yang menonton itu memaki dan mencibir Jean habis-habisan di balik pagar kos.
“Satsuki kok kainnya belum diang,”--Keyzi yang berada di lantai dua kos menampakkan dirinya di jendela--“heh! Mau lu apain anak gue? Lepasin!”
Jean terkejut melihat kedatangan Keyzi. Wanita itu sudah siap dengan sapu ijuk yang akan ia lemparkan ke Jean. Pemuda berwajah kuda itu lari ke kos-kosannya. Dari jendela kamar, Eren berseru, “GAGAL PDKT DEH LU!”
“EH ANJING JANGAN NGETAWAIN DONG!”
“LANGUAGE!” Akhirnya melayang juga sapu ijuk di tangan Keyzi ke kepala Jean.
“Mama! Ih, jangan galak banget dong!” rengek Satsuki mengangkat keranjang ke dalam kosnya.
“Biarin. Mama nggak restu kamu sama dia. Kalau Tetsuya langsung mama acc.”
“Emangnya skripsi, Tan?” Eto yang baru pulang kuliah masuk ke halaman rumah.
“Bisa dibilang begitu.”
Yeu emak-emak mah bebas, batin Eto dan Satsuki.
Taiga menertawakan Jean yang pingsan kena sapu terbang. Emak-emak memang berbahaya.
***
Kompleks Beringin ditimpa pemadaman listrik bergilir. KiseDai yang biasanya latihan di lapangan street ball, harus menghentikan latihan mereka.
“HUWAAAA!” Taiga yang menjaga Atsushi dikejutkan lampu jalan yang mendadak padam.
“Jangan teriak, Taiga,” bisik Tetsuya di sebelahnya.
“HUANJRIT! TETSUYAAA! LO BIKIN GUE JANTUNGAN MULU SIH!”
Ryouta yang baru saja memasukkan bola ke ring langsung memeluk Shintarou selagi Taiga melancarkan tinjuan beruntunnya yang selalu berhasil dihindari Tetsuya. “Ge-gelap ssu! La-lampunya tiba-tiba mati! Ad-ada hantu!”
“Penakut amat sih lu nanodayo,” ketus Shintarou berusaha menjauhkan Ryouta yang menempel pada dirinya.
“Gini nih makanya gue ogah latihan. Percuma aja latihan kita pasti menang, percaya deh. Nggak usah repot-repot keluar malam.” Daiki angkat suara meraba tengkuknya, ia juga takut. Taiga di sebelahnya menyalakan senter, itulah penerangan pertama.
Daiki takut tiba-tiba ada hantu yang muncul, guys. Makanya manik navy blue-nya sibuk mengitari seluruh penjuru lapangan.
“Jangan salahkan majalah lo tiba-tiba jadi api unggun, Daiki.” Seijuurou masih santai meminum air botolnya di pinggir lapangan. Bodo amat gelap begini mah. Setan-setan lebih takut sama Seijuurou.
“Bi-bilang aja Daiki-cchi takut ssu! Shintarou-cchi ju-juga takut 'kan ssu?” Ryouta masih menggigil dan mempererat tempelannya di tubuh Shintarou yang menatapnya jijik.
“Emangnya lu yang gini doang takut?” balas Daiki menantang mengangkat dagunya sengak. Matanya disengajakan memandang rendah Ryouta.
Shintarou diam-diam mencibir. “Kaki lo aja gemetaran gitu nanodayo. Lagian gue nggak penakut kayak kalian berdua,” cibir Shintarou.
“Oh ... kita emang ada pemadaman listrik bergilir hari ini. Mungkin mesin generator waduknya bermasalah,” ujar Taiga membacakan artikel di ponselnya setelah ia terdiam karena mencari penyebab pemadaman lampu. Angin dingin berembus di tengkuknya, Taiga semakin takut.
“Kalau balik males sih, banyak nyamuk, panas, gelap pula lagi. Mending kita bikin kemah di sini,” usul Atsushi mencomot keripik singkongnya.
“Besok kita masih ada aktivitas di luar rumah nanodayo. Bisa-bisa kita ketiduran di sini 'kan repot jadinya nodayo,” tolak Shintarou masih berusaha melepas pelukan Ryouta dari lengan kekarnya.
“Nanti kita kayak gembel ssu. Huhuhu....”
“Emang lu gembel.”
“TAIGA-CCHI JAHAT SSU!”
“Sebenarnya asik juga kita kemping di sini, kayak ikut jambore dulu,” komentar Daiki menguap, ia takut-takut membuka mata karena bisa saja ada hantu yang tiba-tiba muncul di depannya.
“Betul itu mah!” sahut Taiga.
Kedua pemuda itu bertos karena di masa lalu mereka sama-sama anak Pramuka yang mandiri dan pandai bertahan hidup di alam bebas. Jiwa anak Pramuka melenyapkan ketakutan dan membangkitkan keberanian mereka.
“Nanti ada hantu ssu. Atau nggak nyamuk ssu yo.”
Ryouta menolak usulan Atsushi.
Lah iya juga ya, batin Daiki terdiam lagi. Membenarkan penolakan Ryouta.
“Ternyata kamu diam-diam takut ya, Daiki,” tukas Tetsuya tiba-tiba muncul di depan Daiki.
“EE SINANGGAR TULLO TULLO A TULLO! Ngagetin aja lu, Tetsu kampret,” umpat Daiki refleks menjitak kepala Tetsuya. Diikuti jitakan kedua dari Taiga yang mengira Tetsuya adalah hantu.
“Sakit,” ringis Tetsuya datar.
“YA KAYAK GITU KEADAAN JANTUNG KITA WAKTU LU MENDADAK NONGOL!” Taiga dan Daiki kompak ngegas ke Tetsuya. Pemuda yang paling pendek di timnya itu melindungi wajah dari hujan lokal.
“Bikin tenda di halaman kos kita aja. Iya 'kan Satsuki?” usul Eto mengabaikan kemarahan dua pemuda gorila penakut di dekatnya.
“Boleh tuh,” sambung Satsuki.
“Oke dah! Setuju kita mah! Kita kerahkan semua kemampuan tali temali anak Pramuka!” Kembali bertos, Taiga dan Daiki lari bersama-sama menuju kos-kosan. Untung tidak ada kendaraan, bisa-bisa kedua pemuda berkulit gelap itu ditabrak.
Mungkin karena ada Taiga, pemuda berambut navy blue itu harus berlagak berani walaupun ia sudah gemetaran harus melewati jalan gelap tak berlampu.
Katanya anak Pramuka tapi masih sempat saja takut.
“Hadeh, belum ada yang bilang setuju udah mutusin duluan. Yuk, kita balik aja. Latihan hari ini selesai dan di weekend gue bakal gandakan latihan kalian,” ujar Seijuurou menutup latihan mereka.
“Gandakan duit nggak bisa, Sei?”
“Ngarep banget, rakjel.”
***
“KAKEEEEK!”
“Armin, lepasin ih. Gue nggak bisa konsen nih,” keluh Eren. Punggungnya ditempeli Armin yang memang parnoan berada di ruangan gelap.
Eren menggeliat berusaha melepas kukungan lengan Armin, dasar tidak berperikesahabatan. “Man teman!” sorak Sasha tiba-tiba mendobrak pintu kamar Armin. Senter di tangannya menerangi wajah Sasha, wajah Sasha terlihat seram dipandang.
“Astatang!” latah Eren yang mengakibatkan ponselnya dalam mode terbang dan mendarat secara mulus di kepala botak Connie. Lalu terpental ke lantai.
“Yeay! Kalah juga lu one by one sama gue,” ejek Jean menunjukkan layar ponselnya, skin yang Eren pakai berubah menjadi butiran-butiran kuning dan hijau.
“Halah di Minecraft doang lu menang bangga banget. Coba one by one sama gue di Mobile Legend,” tantang Eren memungut ponselnya yang untung baik-baik saja setelah menabrak lantai.
“Sasha dateng-dateng bikin kaget ae,” ujar Connie, ia mengelus kepalanya yang beruntung tidak benjol.
“Ganggu orang main aja, Sha,” ujar Reiner tanpa melihat ke arah pintu.
“Masih untung Sasha ajakin, ya! Mikasa bikin banyak makanan, mau panik nggak nih?” omel Sasha.
“Piknik, Sha. Piknik.” Connie mengoreksi kata yang salah diucapkan gadis berdarah Jawa tersebut. Meski sudah agak lama tinggal di Julikarta, aksen medok Sasha belum juga hilang dan ia masih sedikit kesulitan berbahasa Indonesia.
“Kita tunggu di luar. Gue gendongin aja, Min,” ujar Eren menggendong Armin di punggungnya.
“Romantis amat lu berdua,” komentar Reiner dibantu Bertholdt berdiri.
“Lu tau aja suara Armin teriak kayak mana,” balas Eren.
“Jahat lu, Ren!” Armin yang nemplok di punggung Eren tak segan-segan menabok kepala sang sahabat.
“Mau gue turunin di sini?” ancam Eren.
Armin mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kos mereka benar-benar gelap.
“Ampun, Bang. Hehe.”
Memang benar Eren bermata kucing, tanpa ada setitik cahaya pun di sini ia masih bisa berjalan tanpa menabrak apa-apa.
Di belakang, Jean menghidupkan senter ponselnya dan mengikuti langkah kaki Eren yang pelan-pelan menuruni undakan anak tangga. Sampailah mereka di halaman depan kos, Armin menghirup napas sebanyak-banyaknya.
“Ah ... angin segar.”
Armin merentangkan kedua tangannya. “Turun gih. Lu kayak bocah aja, malu gue,” suruh Eren sambil berjongkok.
Turun dari punggung sang sahabat, Armin menjemput sendalnya yang nangkring di teras kos dan menyusul gengnya.
“Woi yang di sana! Kuy sini aja!” panggil Daiki melambaikan tangan, tak sadar majalah kesayangannya dijadikan Taiga sebagai alas untuk piring gorengan. Duh, yang mau makan pasti ilfeel. Dasar Taiga seenaknya saja.
“Wah, kayaknya asik di sana. Sasha! Suruh Mikasa ke kos ungu aja!” suruh Eren.
“Bantuin atuh abang-abang, Mikasa banyak banget masaknya,” pinta Sasha dari dalam.
“Sebagai cowok gentle, biar gue aja yang bantuin Mikasa dan Sasha. Lo semua tunggu di sini,” ujar Jean pongah. Tanpa ia sadari di depannya ada batu dan ia terjatuh karena tersandung batu.
“Bang Jean? Jangan ngalangin jalan dong,” tegur Mikasa dingin. Memang Mikasa kurang menyukai Jean yang selalu curi-curi kesempatan untuk PDKT. Mending Jean goda saja Eto yang selalu cuci mata.
“Mamam tuh gentle!” ledek Connie, Reiner, dan Eren menertawakan saat-saat memalukan oleh Jean Kirschtein.
“Eren, tolong bawain ini ke tempat kosan sana, ya,” pinta Mikasa lembut menyodorkan kotak yang ia bawa ke Eren.
Mikasa sudah bersahabat dengan Eren dan Armin sejak kecil, karena itulah Mikasa bebas saja memanggil kedua sahabatnya tanpa embel-embel abang. Omong-omong Mikasa masih SMA.
“Oke, Dek.”
Eren menerima kotak yang diberi Mikasa. Sebelum pergi ke kos ungu, Eren menyempatkan diri menjulurkan lidahnya ke Jean.
“Gue balas juga lu,” geram Jean memamerkan tinjunya.
“Udah, mending bantuin cewek-cewek sana gih. Jangan ngomong doang bisanya,” bujuk Reiner menepuk-nepuk bahu Jean.
Setibanya di halaman depan kos bercat ungu itu, Eren keheranan tidak menemukan api unggun. “Kok nggak ada api unggun?” tanya Eren.
“Tante Keyzi larang kita bakar-bakaran, merusak lapisan ozon katanya,” jawab Taiga memasang lampu berbaterai di beberapa titik sehingga halaman kos tidak lagi gelap sepenuhnya.
“Betul itu, sekarang udah Global Warming, nggak baik numpuk-numpukin gas berbahaya di lapisan rumah kaca,” tambah Armin yang datang membawa piring-piring dari kosnya.
“Nggak mudeng,” ucap Eren dan Taiga kompak.
Kalian emang bego pelajaran IPA, batin Armin dan Shintarou.
“Ramai banget ya, yang mau bobok di sini nggak apa-apa. Ada tenda kok,” ajak Eto. Saya mencium bau-bau modus. Hm.
Modus yang dimaksud bukan data yang sering muncul, ya.
Anak matematika jangan salah paham dulu.
Di halaman sudah berdiri tiga buah tenda berwarna-warni, entah dari mana Daiki dan Taiga mendapatkan bahan-bahan membuat tenda. Mungkin mengemis dulu di sekolah sekitar kompleks. Siapa yang tahu?
Tenda pertama diisi Rize dan kawan-kawan pecinta Korea-nya. Siapa sajakah mereka? Historia, Annie, Ymir, Sasha, Mikasa, Ryouta, Reo, Kiyoshi, Kurona, dan Nashiro. Mereka menonton drama Korea terbaru entah apa judulnya author tidak tahu.
Di tenda bagian tengah, diisi Kiseki no Sedai minus Ryouta dan Seijuurou, lalu ditambah Eren, Jean, Armin, Bertholdt, Reiner, Connie, Ken, Nishiki, dan Hide. Bagian terakhir tenda barulah ada Satsuki, Eto, dan Touka.
Selebihnya sibuk urusannya sendiri di kos atau di luar kos.
“Touka, nonton anime baru kuy.”
“Kuy.”
Biarlah kedua gadis wibu itu bersenang-senang.
Tenda pertama diramaikan teriakan-teriakan fangirl dan fanboy menonton drama Korea.
“ROMANTIS BANGET SSU!”
“CEWEKNYA CANTIK BANGET! ADA KIPASNYA NGGAK YA?” Kiyoshi berceletuk, penyuka kipas bergambar artis dan idol itu bertanya-tanya. Ia ingin membeli kipas dengan adanya wajah pemeran utama wanita di drakor yang baru ia tonton.
“Wah ... baru kali ini gue lihat cowok secakep ini.” Adalah kalimat yang selalu diucapkan Rize setiap melihat aktris dan idol Korea yang baru di matanya. Padahal mah ponselnya sudah dipenuhi wajah-wajah tampan pemuda-pemuda Korea.
Hm ... karena author tidak mengerti selak-beluk drakor, kita lanjut saja ke tenda kedua. Mereka sedang debat menonton film horor atau youtuber horor.
“Kita nonton apa nih? Nggak usah debat,” lerai Ken yang mengeringkan rambut putihnya yang ia cat jadi hitam. Pemuda itu mengalami sindrom penuaan yang menyebabkan rambutnya memutih. Sehingga Ken rajin membeli cat rambut hitam.
Armin sudah diam-diam kabur ke tenda sebelah, mending menonton orang pacaran dibandingkan hantu-hantu yang bermunculan di layar ponsel secara tiba-tiba.
“Raditya Dika? Horor tuh lagu bayi ambil tanganku,” usul Eren.
“Gitu mah gue pengen balik ke perut emak aja deh,” tolak Nishiki. Pernah Juuzou—teman Arima Kishou—memutar lagu laknat itu, akibatnya Nishiki dilarikan ke puskesmas terdekat.
Muka-muka anggota Jabberwock lebih horor lagi woi, batin Taiga. Ia sempat kaget ada juga sebuah tim yang berisi raksasa semua. Anggap saja mereka akan melawan lima orang seperti Okamura Kenichi.
“Hirotada Radifan?” Seorang youtuber disebutkan namanya oleh Connie.
“Itu mah gaya ngomongnya kayak ngajak berantem aja.” Hide tidak bermaksud menghina, sejujurnya ia berharap teman-temannya mengusulkan nama youtuber horor perempuan biar nonton horor sambil cuci mata gitu.
“Nessie Judge?”
Jean baru ingat salah satu youtuber favoritnya. Satu-satunya youtuber yang membuat Jean lupa caranya tidur. Daiki bersyukur selalu mengantongi majalah Mai-chan di saku celananya. Ia bisa mengabaikan video horor yang ditonton teman-temannya.
Percuma tinggi, berotot, kulit eksotis, dan perut six pack tapi penakut. Sebenarnya Daiki seekor black panther atau kucing anggora sih?
“Boleh! Kebetulan ada videonya yang menarik nih, misteri lagu-lagu populer Indonesia!” seru Eren menaruh ponselnya di tengah-tengah tenda.
“Bayarin kuota gue kalau habis ya,” tambah Eren membalut tubuhnya dengan sarung, antisipasi gangguan dari nyamuk.
“Ogah,” tolak yang lainnya kompak.
“Berarti nggak nonton,” ancam Eren.
Pemuda-pemuda kere di tenda itu meratapi kuota mereka yang sekarat, untuk pesan baru masuk saja sering loading apalagi buka YouTube, pakai wifi eh kadang nge-lag. Meski hati menggeliat tak mau, mereka tetap menyetujui permintaan Eren.
“Oke deh.”
Berselimutkan sarung masing-masing, mereka menikmati video horor yang ditampilkan di layar ponsel Eren. Sesekali diramaikan teriakan Taiga dan Eren saat ada jumpscare, umpatan Daiki dan Jean, atau erangan Taiga yang dijitak karena berteriak terlalu kencang.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top