Kos Sultan 1.9
Matahari semakin terik, menambah zat melanin di kulit Taiga. Saku celananya bergetar, ia merogoh dan mengeluarkan benda persegi yang mengacaukan tidurnya. Tanpa membuka matanya lebar-lebar, Taiga menekan tombol hijau.
“Halo Taiga. Ini Tetsuya. Sore nanti kamu kuliah umum 'kan?”
“Hm.” Nyawa Taiga belum terkumpul seluruhnya.
“Bawain hp aku nanti ya. Kita ketemuan di kantin fakultas kamu aja. Jam berapa kamu bisa?”
“Setengah lima gue keluar dari kelas. Kenapa nggak sekarang?” Taiga mendudukkan diri, ia sedikit memijit keningnya. Pandangannya sedikit menghitam.
“Sekarang nggak penting banget.”
“Ini lu nelpon pakai hp siapa?”
“Pakai hp teman kerjaku. Aku tutup ya.”
Sambungan telepon terputus. Sekarang sudah pukul satu siang, pantas saja Taiga merasa lapar lagi. Ia tadi latihan sendirian di teriknya matahari. Taiga menyimpan ponsel di saku dan mengambil bola basket di sebelahnya.
Taiga berdiri dan keluar dari lapangan.
Tiba di kos, Taiga membuka pintu. Di siang hari weekdays memang sepi, terlihat Koutarou dan Reo duduk berhadapan dengan alat-alat make up di sekitar mereka.
“Kalau mau makan tuh ada di dapur umum. Udah Teteh masakin,” beritahu Reo.
“Makasih ... Teh.”
Taiga menutup kembali pintu. Sedikit berat memanggil laki-laki dengan sebutan teteh. Menyimpan bola di kamar, Taiga melintasi kamar Daiki. Sepertinya rivalnya itu sudah pulang kuliah.
“Lu nggak kerja, Ryou?”
“Sst ... gue lagi kabur. Capek banget ssu.”
“Anak nakal lu ye. Harus dikasih hukuman.”
Abaikan saja perkataan absurd di atas.
Ruang keluarga masih ditempati Reo yang mencobakan style make up barunya pada wajah Koutarou.
Reo sebenarnya bukan waria sih, hanya saja ia seorang mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Kecantikan dan sebentar lagi akan lulus. Makanya ia harus mengasah kemampuan menghias wajahnya supaya bisa diterima sebagai make up man di sebuah perusahaan.
Gaya Reo yang sedikit melambai-lambai membuatnya dipanggil teteh. Reo masih doyan cewek kok.
Untung banget kos sedikit sepi. Banyak yang kuliah siang hari ini. Tidak ada acara rebutan makanan.
Membuka tudung saji, Taiga dihidangkan aroma lezat dari tempe mendoan dan martabak mi yang dimasak Reo. Memang sederhana ala anak kos, tapi mengenyangkan.
Ini Kagami Taiga, bukan Taiga di Toradora, bukan juga Taiga di dunia lain. Tentu porsi makannya bukan kaleng-kaleng. Ia mengambil sepiring besar nasi, lalu lima potong tempe dan dua buah martabak mi.
Sembari makan, Taiga membuka timeline Instagram-nya yang lebih banyak diisi akun-akun keolahragaan ataupun tentang basket. Taiga menyelesaikan makannya dalam waktu seperempat jam, ia mencuci piring dan kembali ke kamar.
Ia menyusun buku-buku yang harus ia bawa, termasuk buku yang ia ambil dari perpustakaan.
Omong-omong tentang perpustakaan, Taiga masih lupa apa yang menimpanya tadi malam. Ponsel Tetsuya juga ia bawa. Sayang sekali Tetsuya memberi kata sandi untuk membuka ponselnya, tidak bisa Taiga geledah.
Bunyi-bunyi dari kamar Daiki sedikit mengejutkan Taiga. Terdengar bunyi-bunyi aneh dari dalam sana. Seperti suara desahan Ryouta ataupun bentakan Daiki.
“Daiki-cchi! Gue nggak kuat lagi ssu! Hah! Hah! Udah lemes ssu!”
“Hilih lemah. Bentar lagi dong. Gue belum puas liat lo tersiksa. Gue masukin lagi ya.”
“SAKIIT, DAIKI-CCHI!”
“Eh kampret, harusnya gue yang bilang gitu.”
Sebentar.
Apakah ini praktik BDSM?
Taiga menendang pintu kamar, memeriksa apa yang terjadi. Terlihat Ryouta mengipasi mulutnya dan Daiki yang dengan santainya mengoleskan cabai keriting giling di atas risolesnya.
“Lidah gue sakit, kampret!”
“Yo. Mau ikut?” tawar Daiki mengabaikan kemarahan Ryouta.
“Kalian ngapain?” tanya Taiga dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Challenge makan cabe keriting. Hukuman untuk Ryouta soalnya dia nggak mau beliin gue pizza. Dianya lemah banget,” tunjuk Daiki ke Ryouta.
“Heh! Gue udah bawain kemarin malam ssu yo! Lo boong terus! Lagian gue nggak lemah!”
Ryouta mengambil sesendok cabai giling dan memasukkan sendok ke mulutnya. “Pedes ssu!” jerit Ryouta berlari ke dapur untuk mencari air.
“HUAHAHAHA SOK KUAT!”
Taiga menatap miris Daiki yang tertawa-tawa seperti penghuni RSJ. Ya sudahlah, Taiga berangkat daripada nanti terlambat dan dihukum dosen. Sial sekali Kagetora yang mengajar di kelasnya hari ini.
“Teteh! Koutarou! Aku berangkat ya!”
“Iya! Hati-hati!”
Koutarou tidak membalas karena wajahnya masih dijadikan kelinci percobaan.
Taiga memasang topinya biar lebih ganteng.
Alasan aslinya mah ia meminimalisir kepanasan.
Taiga lebih suka berjalan kaki daripada membawa kendaraan. Lebih sehat katanya. Tetapi pengecualian untuk hari ini. Suhu Kota Julikarta meningkat, Taiga ingin sekali membawa motor ke kampus biar cepat sampai.
Perjalanan lima belas menit menit ditempuh Taiga menuju kampusnya dan tubuhnya sudah banjir keringat. Sebelum masuk ke kelas, Taiga membeli sekaleng soda dingin di vending machine.
Barulah Taiga memasuki kelasnya dan bisa ngadem di ruangan ber-AC tersebut.
***
Taiga membasahi kepalanya di bawah guyuran air keran wastafel. Kuis mendadak hari ini mendidihkan kepalanya. Dosen killer itu benar-benar.
Benar-benar hobi meledakkan kepala mahasiswa-mahasiswinya.
Taiga yang sejak dulu diajarkan untuk selalu jujur berusaha mati-matian tidak menyontek buku, google, ataupun kertas teman. Prinsipnya adalah biar nilai nol asalkan hasil pikiran sendiri.
Prinsip itu ditanamkan orangtuanya sejak kecil. Maklum nilai Taiga selalu tertinggal dari teman-temannya. Namun, Taiga akan sebisa mungkin untuk mengejar ketertinggalan nilainya.
Seperti janjinya tadi siang, Taiga menunggu Tetsuya di kantin fakultas sembari meminum kopi dingin dan memakan dua buah burger berukuran jumbo.
Taiga benar-benar lupa komitmennya untuk berhemat dengan uangnya yang menipis sejak masuk Kos Sultan. Makanan benar-benar membuyarkan akal sehat Taiga.
Membuka bungkus burger pertama, Taiga dikejutkan seorang pemuda berambut biru muda yang meminum milkshake-nya.
“Tetsuya?” pekik Taiga. Untung kantin ramai, ia tidak terlalu diperhatikan.
“Aku udah datang dari tadi kok, kamu aja yang nggak nyadar.”
Itu saja terus yang Tetsuya katakan bila orang-orang terkejut melihatnya.
“Nih hp lu.”
Taiga mendorong ponsel Tetsuya kembali ke pemiliknya.
“Nggak kamu geledah 'kan?” tanya Tetsuya.
“Nggak guna juga gue geledah.”
Tiada percakapan di antara kedua pemuda itu. Taiga sibuk bengong sendiri dan Tetsuya membaca buku catatannya. Bisa jadi hari ini dosen kembali memberinya kuis dadakan, yang lebih parahnya lagi yaitu ulangan dadakan.
“Giyuu, temenin gue ke perpustakaan sekarang dong.”
“Kenapa nggak nanti aja?”
“Soalnya ada cerita tentang perpustakaan setiap jam tujuh malam. Siapapun yang ada di perpustakaan bakal dibawa ke dunia lain. Ada dua versi sih tentang cerita itu. Pertama, kita masih dikasih kesempatan ke dunia nyata. Kedua, kita bakal jadi hantu gentayangan. Ngeri nggak?”
“Biasa aja tuh.”
“Nggak tahu deh! Pokoknya temanin gue!”
Taiga sedikit terkejut. Perpustakaan ... tujuh malam ... Taiga jadi teringat sesuatu. Tadi malam ia mengalami kejadian mengerikan. Kalau diingat lagi sekarang, bulu kuduknya berdiri dan kakinya bergetar.
Ia masih terbayang gangguan-gangguan kemarin yang menghampirinya dan Kousuke.
Omong-omong yang bersamanya tadi malam Kousuke asli atau bukan ya?
“Tet, tadi malam lu liat gue pulang bareng siapa?” tanya Taiga.
“Kamu diantar mobil Pajero Sport. Nggak salah yang nganter Akaza sama Douma, yang kita temuin di air terjun itu lho,” jawab Tetsuya.
“Oh ... bodyguard temannya Satsuki?”
Tetsuya mengangguk.
“Lu ngeliat ada Mas Kousuke?”
Tetsuya menggeleng.
“Mas Kousuke pergi ke mana ya?”
“Nggak salah aku tadi pagi Mas Junpei bilang kalau Mas Kousuke kerja part time di kafe sama Mas Shinji, Mas Shun, Mas Rinnosuke, sama Rio,” jelas Tetsuya.
Taiga mengangguk dan berdiri. “Gue pergi ke perpus mau nganterin buku. Lu ikut nggak?”
“Ikut. Aku tahu kok kalau kamu takut gara-gara kejadian tadi malam.”
“Ish! Gue nggak takut! Gue bisa dateng sendirian!”--Taiga membusungkan dada angkuhg--“emangnya lu tahu apa kejadian tadi malam?”
“Tahulah. Mas Junpei cerita kalau kamu sama Mas Kousuke kena legenda perpustakaan. Terus waktu di kafe kamu di-prank sama Mas Kousuke. Dia bilang kalau dia roh perpustakaan, terus kamu pingsan.”
“Kok pas gue intip kakinya Mas Kousuke nggak ada?”
“Katanya dia angkat kakinya ke atas sofa.”
“Oh.”
Taiga menggeram sendiri, ia merasa bodoh karena mau-maunya ditipu dengan candaan murahan seperti itu. Taiga dan Tetsuya melangkah di koridor menuju perpustakaan. Untungnya perpustakaan terletak di koridor lantai satu ramai.
Tepat di depan perpustakaan, terdapat taman untuk orang-orang pacaran.
“Ngapain Mas Kousuke manggil Mas Shun sama yang lain ke kafe?” tanya Taiga.
“Mau angkut kamu ke kos. Eh ternyata mereka berlima bikin rusuh dan kena marah sama pemiliknya. Untuk ganti rugi mereka kerja di sana.”
Taiga mengangguk-angguk. Tibalah mereka di perpustakaan dan melepas alas kaki masing-masing. Taiga tidak ingat di mana pastinya ia mengambil buku yang ia pinjam. Kalau mau dikembalikan ke penjaga perpustakaan tetap saja tidak bisa karena tidak ada bukti peminjaman.
Lagi pula tadi malam Taiga langsung ambil buku tanpa melapor ke penjaga pustaka. Taiga menaruh buku di rak bagian olahraga dan keluar dari perpustakaan. Sebelumnya Tetsuya mengatakan Taiga boleh pergi duluan.
“Nezuko-chan!” Dari arah berlawanan, datanglah seorang pemuda berambut kuning mengejar gadis berambut hitam. Untung Taiga sempat menghindar dari kedua orang yang berlarian di koridor lantai satu.
“Zenitsu! Jangan apa-apain adek gue!” Sosok pemuda berambut merah tua menyusul. Taiga terlalu terkejut dan tidak sempat menghindar, ia juga tak sengaja menginjak kulit pisang yang dibuang seorang pemuda bertopeng babi.
Tubuh Taiga tidak lagi seimbang, Tanjirou yang terburu-buru tidak sengaja menabrak Taiga. Taiga pun kena sundulan pemuda itu sampai terlempar dua meter.
Taiga pingsan lagi.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top