Kos Sultan 0.8

Bukannya beban pikiran Taiga berkurang, di semester lima tugas-tugas kembali menghajarnya tanpa pengampunan. Dikarenakan tugas-tugasnya inilah Taiga pulang lebih lambat dari biasanya.

Pukul setengah sembilan malam ia keluar dari kampus. Sebelum pulang ke kos, Taiga singgah terlebih dahulu ke sebuah SMA yang letaknya beberapa meter dari kampus. Tetsuya meminta Taiga menjemputnya.

Gedung bercat putih itu terlihat suram dari luar, tak peduli lampu-lampu hidup di beberapa ruangan. Pohon-pohon yang ditanam di sekeliling sekolah menambah kesan gelap, angin yang dihasilkan dedaunan pohon menembus pori-pori kulit Taiga.

Taiga menunggu di gerbang sekolah, tak berani melangkahkan kakinya sekadar mengecek keberadaan Tetsuya. Guna menghilangkan rasa takutnya, Taiga mengeluarkan ponsel dan membuka Instagram.

Di awal baru begini, orang-orang pamer foto-foto di restoran ternama atau cafe gaul. Lihat saja nanti di akhir bulan siapa yang bisa bertahan tanpa meminjam uang untuk membeli mie instan. Taiga bukanlah golongan orang yang gemar ke restoran-restoran mahal.

Bukannya tidak suka, dompetnya yang tidak suka ke sana.

Semilir angin yang semakin kuat, membuat Taiga menyesal tidak membawa jaket. Dirasa lehernya pegal karena menunduk agak lama, ia melemaskan otot-otot lehernya dan memindai keadaan sekeliling.

Sosok wanita berambut hitam panjang dan berpakaian putih tepat di sebelahnya. Walaupun kepala wanita itu menunduk, Taiga yakin dan pasti itu adalah kuntilanak. Pantas saja angin yang berembus semakin dingin.

Persetan semakin banyak hantu di dalam sekolah, ia ingin bertemu Tetsuya secepatnya dan menyeret pemuda itu pulang. Tanpa melihat-lihat jalan, Taiga tak sengaja tersandung batu dan menindih seseorang di depannya.

“Mas Tetsu!”

Tetsu?

“Taiga, kamu berat. Awas,” suruh Tetsuya datar dan mendorong-dorong kepala Taiga yang mendarat di dadanya. Penyet sudah badan Tetsuya.

“Eh maaf. Lo kelamaan sih, Tet. Gue jadi ketemu kuntilanak,” omel Taiga seraya berdiri dan membersihkan tanah yang melekat di kaus putihnya.

Satsuki membantu Tetsuya berdiri. “Aku tambah penyet gara-gara kamu, Taiga,” tuding Tetsuya. Satsuki membantu Tetsuya menepuk-nepuk pakaiannya.

Nyesel gue jemput orang pacaran, keluh Taiga.

“Emangnya tadi ada kuntilanak, Mas?” tanya Satsuki.

“Iya, beneran. Di gerbang sana,” jawab Taiga meyakinkan.

“Wah, gimana nih? Mamaku nunggunya di gerbang,” rengek Satsuki ke arah Tetsuya.

“Huek.” Taiga pura-pura muntah di belakang Satsuki dan Tetsuya, sebenarnya Taiga benar-benar mual melihat dua sejoli yang menyandang status sepasang kekasih tersebut.

“Taiga, ntar kamu beneran sakit lho,” tegur Tetsuya datar.

“Bodo amat! Gue nggak tahan lagi liat lo berdua pacaran, cepetan pulangnya dong!” sergah Taiga mengusap ujung bibirnya yang ileran gara-gara pura-pura muntah, hampir muntah beneran jadinya.

“Dasar nggak laku,” cibir Tetsuya.

“Lu ngajak berantem banget!” Taiga menoyor kepala Tetsuya, pemuda berambut biru muda itu mengelus kepalanya yang jadi sasaran kemarahan Taiga.

“Sakit,” ringis Tetsuya datar.

“Mas Tetsu nggak apa-apa?” Satsuki memeriksa keadaan kepala Tetsuya, untung tidak ada benjol.

“Mas jangan jahat banget ke Mas Tetsu dong,” tegur Satsuki cemberut. Taiga justru menatapnya garang dan alis cabang duanya berkerut.

“Cih. Jangan-jangan kunti di gerbang itu emak lu,” tebak Taiga asal. Sudah terlalu sebal makanya perkataannya sedikit melantur.

“Ih, jahat! Nggak mungkin! Mamaku nggak pakai baju putih!” Satsuki menggembungkan pipi dan menghentak-hentakkan kakinya.

“Lagian ngapain kalian berdua pakai acara malam-malam gini di sekolah? Mau uji nyali?” Taiga mulai nyolot gaes.

“Satsuki tadi ada rapat OSIS dan ditinggalin temannya, makanya minta aku nemenin dia di sini sampai mamanya datang,” jawab Tetsuya yang lengannya ditimpeli manja oleh Satsuki.

Taiga berdecak sebal dan berjalan duluan meninggalkan dua sejoli berpacaran yang menimbulkan rasa panas di hatinya. Mana Satsuki bicaranya kemayu ayu lembut ke Tetsuya. Pemuda berambut biru itu juga tersenyum lembut berulang kali ke Tetsuya.

Hello, guys. Taiga saja yang sekamar dengan Tetsuya sangat jarang melihat Tetsuya tersenyum.

“Serah lo berdua ah,” umpat Taiga menendang kerikil-kerikil yang ia lewati. Beberapa ada yang terlempar ke semak-semak ataupun ke kaca jendela, untung tidak ada kaca yang pecah.

Semakin dekat dengan gerbang, kaki Taiga semakin gemetar.

Mampus. Cepetan dong, Tet!

Taiga masih menoleh ke belakang, ketika menoleh ke depan matanya bertemu dengan mata biru muda milik Tetsuya.

“LU BISA NGGAK SIH NONGOL SECARA NORMAL?” pekik Taiga di heningnya sekolah tersebut.

“Sst ... nanti hantunya bangun semua,” tegur Tetsuya, ia menempelkan telunjuk di bibir.

“LU YANG BIKIN MASALAH, GOBLOK!”

Taiga semakin emosi mengacak-acak rambut biru muda rekan sekamarnya. Dahinya mengerut dan hidungnya kembang kempis dikarenakan hormon adrenalinnya aktif.

“Kamu sih malah pergi tiba-tiba aja. Aku udah nganterin Satsuki ke gerbang eh terpaksa balik ke sini gara-gara nyariin kamu.”

Terhening. Baru Taiga menyadari itu kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Tetsuya. “Btw lu sama dia lewat mana sih?” tanya Taiga memulai langkah pertama menuju gerbang.

Sadar tak ada yang meresponsnya, Taiga memindai keadaan sekeliling. Tidak ada Tetsuya di sana, seketika bulu-bulu di tengkuk dan kedua tangannya berdiri.

“BENERAN HANTU, COEEEG!”

***

Ngos-ngosan, Taiga mengatur napasnya yang tidak beraturan sambil memegangi pintu gerbang.

“Taiga ke mana aja sih?”

“WOI LU HANTU BENERAN YA?”

Taiga menunjuk ke wajah pemuda di depannya yang dengan polosnya menyedot pop ice vanilla blue tercinta. Sudah lelah jantung Taiga dipacu selama berlari, kini ia dikagetkan oleh seorang hantu tampan dan lucu.

“Kamu yang hantu, muka sangar pula lagi,” celetuk Tetsuya watados. Wajah tanpa dosa.

“WOI!”

“Jangan ngegas, ganggu tetangga aja. Mending kamu masuk dulu.”

Tetsuya membukakan pintu pagar, Taiga memasuki perkarangan kosnya sambil memijit keningnya yang berdenyut. Sudahlah tadi ada kuis mendadak, ia dibuat stres oleh teman sekamarnya.

“Tadi yang nyariin kamu itu beneran aku, bukan hantu. Aku lewat jalan yang lain sama Satsuki,” ucap Tetsuya melepas sendalnya di teras dan memasuki bangunan bercat putih itu.

Taiga juga melepas sepatu olahraganya dan bertanya, “Tadi gue nanyain lo lewat mana kok tiba-tiba lonya nggak ada?”

“Pas kamu nanya ke mana aku sama Satsuki lewat, jarak kita udah agak jauh. Aku udah ngejawab tapi nggak kedengeran sama kamu.”

Mengangguk-angguk kecil, Taiga ingat setelah itu dia teriak dan berlari ketakutan.

“Terus lu pulang sama siapa?” Ciee ... Taiga tumben perhatian. Ia menaiki tangga disusul Tetsuya di belakangnya.

“Kebetulan Kazunari baru pulang kuliah nebengin aku. Kamu sih main ninggalin aja.”

“Salah siapa coba yang hawa keberadaannya tipis amat?”

Jantungnya tidak lagi terlalu lelah memompa darah, untung yang ia temui tadi benar-benar Tetsuya dan bukan hantu.

“Kaget, ya?”

“NGGAK!”

Taiga tidak bisa berhenti ngegas jika berbicara dengan Tetsuya yang nada bicaranya datar tapi ucapannya menusuk. “Btw, tadi kami ngerekamin kamu lari-larian di jalan, tuh video kamu ditonton sama penghuni kos,” ujar Tetsuya memberitahu.

"WHAT?"

“Yuk, ke kamar Shintarou dan Kazunari,” ajak Tetsuya.

Taiga terburu-buru memijaki satu persatu anak tangga yang tersisa, Tetsuya ketinggalan di belakang Taiga karena langkah kakinya yang kecil. Pintu kamar Shintarou dan Kazunari sedikit terbuka, memberi celah untuk melihat ke dalam kamar.

Beberapa pemuda berambut warna-warni menghadap televisi, menyaksikan sebuah video pemuda berambut merah yang berlari sambil teriak-teriak.

HANTU! WOI ADA HANTU!

Mana mulutnya mangap lebar pula lagi, mata Taiga yang awalnya agak sipit gimanalah gitu bisa terbuka lebar, alisnya juga naik turun. “Letak lucunya di mana coba?”

Taiga meredam amarahnya ketika mendengar suara tawa pemuda-pemuda yang berada di dalam kamar Kazunari.

Dasar manusia-manusia receh nan aneh.

Pergi ke kamarnya, Taiga menaruh tas di atas ranjang tipis dan mengambil bola basket di sudut ruangan.

“Kamu mau main basket malam-malam?” tanya Tetsuya.

“Iya. Tet, bayar dong PJ-nya.”

Tumben Taiga tidak terkejut akan kehadiran Tetsuya yang tiba-tiba, malahan ia meminta pajak jadian. Memang ya kalau manusia mau minta uang, pasti uang number one dan marah number two.

“Pajak jomblo? Nggak boleh saling menyusahkan antara manusia jomblo,” tegur Tetsuya yang kelihatan pura-pura bodoh.

Alis cabang Taiga menekuk. “Bukan, yang benernya pajak jadian. Lu pacaran sama anak pemilik kos depan 'kan?”

“Aku sama Satsuki? Nggak kok. Dia aja yang suka sama aku, aku nggak.”

“Tapi lo cinta dan sayang sama dia 'kan?”

“Nggak tuh, biasa aja.”

Biasa aja? Hah? Biasa aja?

Apa kurangnya Satsuki di mata Tetsuya? Sudahlah cantik, body goals, putih, mulus, kalau marah wajahnya terlihat lebih imut. Apa kurangnya coba?

“Terserah lu, kuntet. Gue mau main basket dulu.”

Taiga juga tidak tergoda oleh kecantikan Satsuki. Harusnya jika Tetsuya benar-benar tidak menyukai Satsuki, Taiga bisa mulai PDKT. Namanya saja Taiga, mana ada pikirannya ke arah-arah romansa. Palingan dia cintanya sama basket dan makanan.

“Ikut!” Tetsuya terburu-buru mengambil jaketnya agar tidak kedinginan. Tubuhnya yang lebih kecil dari Taiga gampang terkena angin.

Taiga mah badannya udah kebal sama angin malam. Apalagi Taiga pernah SD di Amerika. Udara dingin malam hari mah kecil.

Kedua manusia itu berjalan di kompleks perumahan yang sepi, kebanyakan manusia-manusia di sana sudah terbang ke alam mimpi. Mempersiapkan aktivitas yang kembali padat dimulai dari pagi hari, besok masih hari Selasa. Orang-orang memilih mengistirahatkan pikiran mereka selama mungkin.

“Emangnya lo bisa main basket?” Taiga melakukan pemanasan dan di sebelahnya Tetsuya melakukan hal yang sama.

“Dikit-dikit doang.”

Usai melakukan pemanasan, Taiga mengajak Tetsuya one-on-one. Taiga bersemangat men-dribble bola ke ring bagian Tetsuya, tiba-tiba saja Tetsuya berdiri di depannya dan alhasil bola basket terlepas dari tangan Taiga.

“HUWAAA!”

Tetsuya mengambil alih bola basket dan membawanya ke ring Taiga. Pemuda berambut biru muda itu melompat untuk melakukan dunk, ia meluruskan tangannya yang memegang bola ke atas.

Harusnya sih bola sampai ke atas, namun lompatan Tetsuya kurang tinggi jadinya si bola gagal masuk ke dalam ring. Taiga merebut bola yang terlepas dari tangan Tetsuya dan membawanya ke ring, ia sudah mengerti taktik yang digunakan Tetsuya.

Taiga tak lagi terkejut tiba-tiba Tetsuya berdiri di depannya, karena Taiga yang tumben pintar malam ini, ia berhasil mencetak lima skor dan Tetsuya masih nol.

Tadi Tetsuya sempat melakukan shoot, tetapi tembakannya meleset dan berhasil di-rebound oleh Taiga.

“Aku sebenarnya cuma bisa pass, kalau shoot sama dunk belum bisa sih,” aku Tetsuya.

“Nggak apa-apa. Gue bisa ajarin kok,” ujar Taiga menunjuk dirinya menggunakan jempol. Kedua pemuda itu beristirahat di pinggir lapangan, Tetsuya membelikan dua botol mineral untuk mereka berdua.

Sosok pemuda navy blue yang menyatu dengan gelapnya malam menghampiri mereka. “Lo Kagami Taiga, gimana kalau kita one-on-one lagi?”

Kalian pasti bisa menebak siapa pemenang selanjutnya.

Bersambung...
Pemenangnya si Ahomine Dakian. Kenapa bisa? Aku author-nya :)

Nggak kok, gaes. Aku kalau lihat Kagami dan Aomine one-on-one, yang menang selalu si Aomine, makanya aku mengambil kesimpulan gitu.

Jangan keroyok aku :v

Tapi kalau kalian beranggapan Kagami yang menang nggak apa-apa juga. Soalnya pemenang ditentukan oleh imajinasi pembaca saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top