Kos Sultan 0.6

Selagi Junpei mengadili tiga orang yang maling mangga, Teppei memanggil Taiga ke kamarnya.

“Nih, burger.” Teppei melempar sebuah burger hangat yang terbungkus kertas. Aroma makanan daging ayam, keju, mayones, dan selada yang dijepit dua roti wijen itu sudah lama dirindukan hidung Taiga. Pun perutnya rindu mengolah makanan itu menjadi feses.

“Terima kasih, Mas,” ucap Taiga ke arah Teppei yang membuka bungkus burgernya.

“Sama-sama, nih sausnya.”

Tiga bungkus saus sambal mendarat di paha Taiga, ia membuka bungkus burger dan merobek sudut plastik saus menggunakan giginya. Burger berukuran jumbo itu segera ia lumuri dengan saus sambal.

Perpaduan rasa gurihnya daging ayam dan roti, asinnya keju, manisnya mayones, serta pedasnya saus sambal memanjakan lidah Taiga yang sudah lama tidak disentuh makanan cepat saji.

“Emangnya ada apa mas manggil aku ke sini?”

“Nggak ada. Akhir-akhir ini lo jarang kelihatan di kos, ada masalah apa? Ceritain aja sama gue. Kita ini di kos semuanya adalah keluarga, jangan sungkan-sungkan untuk memberi dan menerima,” nasihat Teppei dengan aura kebapakan.

Duh kangen bapak, batin Taiga. Ia teringat bapaknya di kampung halaman.

“Hm ... jadi, Mas. Rendang persediaan beberapa bulan ke depan udah habis, terus uangku juga tinggal dikit gara-gara anak-anak di sini pada nebeng. Aku nggak mau ngalamin pengalaman yang serupa, milih menjauh gitu dari anak-anak kos, ntar emak marah kalau uangku habis nggak ada buat tabungan.

“Hidup dengan persediaan apa adanya emang survival banget, Mas,” curhat Taiga. Ia kembali mengunyah burgernya. Biasanya menggunakan persediaan yang ada, dalam sebulan setidaknya minimal tiga kali ia memakan burger. Sekarang? Makanannya sehari-hari tak lebih tak kurang makanan sederhana.

Telur, tempe, tahu, bayam, dan sambalado sudah akrab dengan dirinya.

Teppei mengangguk-angguk. Ada-ada saja ide Junpei untuk membuli Taiga. Entah mengapa ritual membuli anak baru selalu ada sejak kehadiran Akashi Seijuurou. Untungnya Seijuurou sedang ada urusan ke luar kota.

Jika ada Seijuurou, maka Taiga akan menjadi samsak guntingnya.

Tersenyum lembut, Teppei menepuk bahu lebar Taiga.

“Mungkin menurut lo mereka semua nyebelin. Sebenarnya nggak, di sini kalau satu yang susah yang lainnya juga susah. Satu yang hilang, yang lain nyariin. Di sini saling berbagi itu udah biasa, berbagi makanan, uang, pakaian, dan kebutuhan lainnya.

“Semuanya adalah keluarga. Memang awalnya mereka ngerepotin lo, tapi nanti setelah lama di sini mereka rela banget kalau lo repotin. Begitulah besarnya kerja sama di sini.” Teppei memberi petuahnya dengan senyum kebapakan yang ia miliki.

Di kos-kosan ini, mungkin Teppei-lah yang menjadi kepala keluarga di sini. Ia tahu luar dalam penghuni kos dan bisa memberi solusi terbaik untuk masalah yang mereka miliki. Taiga merenung, kata-kata Teppei ada benarnya.

Ia bertindak tanpa mencari sisi positif, pandangannya terhadap teman-teman satu kosnya sejak awal sudah negatif. Salahnya juga yang tidak berani mencari sisi positif teman-temannya. Contohnya teman-temannya rela membantu Junpei membuat roti, bekerja sama membersihkan kos, dan menangkap maling.

Semuanya tidak akan terjadi tanpa kerja sama. Kekompakan mereka tak sebatas membuli anak baru, melainkan mempertahankan kebersamaan dan kos agar tetap hidup. Hati Taiga menghangat. Bukan, bukan karena percikan kemarahan.

Melainkan disebabkan rasa nyaman timbul di hatinya ketika ingatannya berputar ke hari pertama di kos. Kos yang ia tempati sangat ramai oleh ocehan penghuninya. Kembali ke setengah jam yang lalu, mereka saling mengajukan diri untuk menangkap pelaku maling mangga.

Benar-benar kompak.

“Terima kasih, Mas. Emang selama beberapa minggu belakangan ini aku jarang kelihatan di kos, aku sering berinteraksi di dunia luar. Padahal interaksi dengan orang-orang yang tinggal bersamaku paling penting.

“Mereka orang pertama yang tahu apa yang aku lakukan terutama Tetsuya. Aku pergi dari kos waktu dia masih tidur dan kembali ketika dia udah ngorok. Interaksi kami kurang walaupun rekan sekamar.

“Karena mas yang ngasih tahu, aku bakal menerima siapapun di kos ini sebagai keluargaku.”

“Bagus.”

Teppei mengacak surai merah kehitaman pemuda yang sudah ia anggap sebagai salah satu adiknya, Taiga diam-diam tersenyum lembut. Ia terlalu sibuk dengan dunia luar, padahal masih ada dunia dalam yang harus ia urus.

“Sejak kapan kamu jadi sopan begini?”

“Guk.”

“TETSUYAAAA! JANGAN BAWA NIGOU!”

Omong-omong tentang Nigou, ada sekelumit kisah romantis di antara Taiga dan peliharaan rekan sekamarnya itu.

***

Pagi-pagi buta, Taiga sudah menyisir rapi rambutnya yang basah karena air dan minyak rambut. Ditatapnya Tetsuya yang masih tertidur sambil menghisap jempolnya. Dengkuran halus rekan sekamar mengisi kamar yang hening tersebut.

Menyampirkan tas selempangnya di bahu kanan, Taiga pelan-pelan turun dari lantai dua dan membuka kunci pintu. Udara segar khas pagi hari menyusup ke pori-porinya, mendinginkan tubuh hingga ke tulang.

Disebabkan pintu yang Taiga tutup bersuara, Nigou terbangun dari tidur nyamannya di ayunan. Ia tahu dalam beberapa hari terakhir Taiga selalu berangkat di subuh hari dan pulang di dini hari, sempat Taiga dicurigai sebagai maling oleh Nigou.

Nigou tak lagi merasa curiga dan melompat turun dari ayunan. Ia berdiri di depan Taiga dengan ekor hitamnya yang bergerak-gerak lucu ke kiri dan kanan. Mata birunya memandang Taiga semangat, apa salahnya mengajak Taiga bermain sebelum berangkat kuliah?

“Guk guk.” Wajah ceria Nigou tak berhasil meluluhkan Taiga agar bermain dengan anjing kecil tersebut.

“Anjing! Pergi lo sana!” Taiga terburu-buru keluar dari perkarangan kos diikuti Nigou yang masih ceria, ia berpikir Taiga mengajaknya bermain kejar-kejaran.

“Waduh, mana pagarnya digembok pula lagi,” umpat Taiga kala menemukan gembok yang mengunci pagar.

Alhasil Taiga memanjat dan melompat ke seberang pagar masih disusul Nigou di belakangnya. Shinji yang mendengar teriakan Taiga, keluar dari rumahnya yang biasa-biasa saja.

“Aduh, berisik banget pagi-pagi gini.”

***

“Nigou 'kan lucu,” ujar Tetsuya dengan wajah memelasnya. Matanya dan mata Nigou sama-sama menatap penuh permohonan ke pemuda besar di depan mereka.

“Ahaha, Nigou emang lucu.” Teppei mengulurkan tangannya untuk mengelus bulu lembut anjing kecil yang berada di atas kepala Tetsuya.

“Au ah. Btw, terima kasih, Mas,” ucap Taiga sambil tersenyum dan keluar dari kamar Teppei dengan tubuh bergetar. Ia masih belum bisa menghilangkan traumanya terhadap anjing. Selucu apapun Nigou, ia berpikir Nigou akan menggigitnya diam-diam.

“Kata Nigou dia mau bobok sama kamu.”

“Ogah!”

“Tet, kayaknya kita harus nyembuhin trauma si Taiga.”

Mengabaikan apa yang dikatakan Junpei, pemuda bersurai merah menyala itu pergi ke kamar berbaring di ranjang tipisnya. Otaknya sudah lelah berkutat membaca barisan kalimat di buku-buku pelajaran yang akan diujikan dalam waktu dekat.

Berjam-jam berlalu.

Taiga kali ini bangun lebih lambat dari biasanya, ketika ia mau mencari-cari ponselnya, yang ia temukan malah benda empuk.

“TETSUYAAA! UDAH GUE BILANGIN OGAH MALAH LU BAWAAAA!”

Teriakan menggelegar Taiga memenuhi seisi kos, sehingga penghuni yang lain terkaget-kaget. Belum pernah mereka mendengar Taiga berteriak. Ya iyalah, wong Taiga jarang di kos-kosan.

Beruntung Nigou tak terbangun, Taiga tak terlalu cemas. Ia mengambil handuk dan mengantre di depan pintu kamar mandi.

“Kagami Taiga?” Sosok pemuda yang lebih pendek dari Taiga menyapanya. Pemuda berambut merah di sebelahnya belum pernah Taiga lihat. Apa ia Akashi Seijuurou?

“Erm ... iya. Lo Akashi Seijuurou?”

“Betul.” Seijuurou mengangguk dengan senyuman lembutnya yang bisa melelehkan hati gadis-gadis yang melihatnya.

Di dalam pikiran Taiga, bukankah Seijuurou punya kamar khusus dirinya? Sudah pasti kamar pemuda itu dilengkapi dengan kamar mandi sehingga ia tak repot-repot mengantre bersama yang lain. Kamar khusus yang awalnya digunakan pemilik kos itu sendiri, diberi ke Seijuurou. Erwin Smith terlalu sibuk untuk mengurus kos sebesar itu sehingga tidak bisa menetap di sana—omong-omong Taiga tahu dari Junpei.

“Oh, gue di sini mau ngeliat situasi kos aja. Kebetulan gue diamanahkan Pak Erwin untuk mengawasi seisi kos udah disiplin atau nggak,” jelas Seijuurou tanpa dipinta Taiga secara langsung.

Menjadi wakil direktur di usia muda adalah hal yang langka, ia dengar-dengar umur Seijuurou masih di awal umur dua puluh. Jika Taiga dan Seijuurou dibandingkan, Seijuurou tetap unggul dikarenakan sudah memiliki penghasilan tetap dalam ukuran yang tak biasa.

Masalah ukuran badan, barulah Taiga lebih unggul.

Bila ditinjau lebih jauh, Seijuurou benar-benar jauh dari perkiraannya. Ia sangka Seijuurou pemuda psikopat yang gemar melempar gunting ke orang-orang yang ia lewati. Malahan Seijuurou terlihat sebaliknya.

Senyumannya lembut, matanya bersinar ramah, dan ia mengeluarkan aura kepemimpinan yang kuat. Lebih kuat dari Junpei.

Setelah merasa dirinya bersih dan rapi, Taiga melangkah menuju dapur utama. Di sana sudah diisi Tatsuya dan Reo selaku dua orang pemuda yang menjadi koki andalan di Kos Sultan.

Junpei jago masak juga tapi dia lebih suka menyuruh daripada dia sendiri yang melakukan pekerjaan.

“Ah, Taiga. Bisa bantuin kami? Nih apron untuk lo,” pinta Tatsuya yang masih menggoreng nasi di wajan besar.

“Boleh.”

Yah ... panas-panasan lagi dong, keluh Taiga dan memasang apron bermotif bola basket. Niat hati ingin mengecek makanan yang sudah masak. Alih-alih menemukan makanan yang sudah tersaji, Taiga malah disuruh menghasilkan makanan dari kedua tangannya yang terampil memasak.

Taiga menggantikan posisi Tatsuya untuk mengaduk-aduk nasi di dalam wajan. Nasi kecokelatan tersebut mengeluarkan aroma pedas khas merica dan bawang merah, tak lupa Taiga menambahkan terasi agar rasanya semakin menggigit.

“Gimana pelaku malingnya, Tatsuya?” tanya Taiga masih mengaduk nasi. Reo memasukkan daun bawang dan seledri yang telah diiris tipis-tipis ke nasi yang diaduk Taiga.

“Dikasih hukuman. Mereka harus merawat pohon mangga sampai banyak yang berbuah,” jawab Tatsuya memecah cangkang telur untuk diceplok.

“Merawat?”

“Iya, kayak membuang hama dari pohon atau apalah gitu,” sahut Reo menggantikan Tatsuya.

“Hm. Oh ya, mangga di sini emang sering dimaling ya?” Taiga masih memiliki pertanyaan untuk dijawab Tatsuya atau Reo.

“Iya, apalagi anak-anak kompleks di sini sering masuk seenaknya kalau pagar nggak dikunci,” jawab Tatsuya membawa sepanci nasi putih dari kamar Wei Liu. Guna menampung isi perut tiga puluh orang, dua panci nasi rice cooker tidaklah cukup.

“Kecuali penghuni di kos depan, yang cat ungu tua itu lho. Mereka nggak berani ngapa-ngapain. Emang sih ada cewek genit,” sambung Reo mengiris sayuran serta menambah irisan daun bawang dan seledri.

Taiga mengangguk-angguk mengerti, ia pernah berkenalan dengan salah satu penghuninya yaitu Arima Kishou, seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit. “Emangnya kenapa ya? Di situ normal-normal aja kok.”

Masih penasaran, Taiga memberi pertanyaan lainnya.

“Kabarnya sih pemilik kos itu adalah seorang tentara, kalau berani ganggu rumah orang lain, hukumannya bakal berat banget. Tapi selama ini kami belum pernah melihat pemilik kosnya, kecuali anaknya yang sering datang ke sini,” jelas Tatsuya.

“Oh gitu....”

Beralih ke topik lainnya tak terasa lima mangkuk besar nasi goreng telah tersaji di meja makan. Setumpuk telur goreng juga tersaji. Tak lupa pelengkap berupa bawang goreng, tomat iris, dan mentimun juga disajikan di meja makan.

Sekelompok pemuda yang menghuni kos langsung berebut nasi goreng di meja makan. Makanan buatan Tatsuya dan Reo tidak pernah mengecewakan. Ditambah Taiga yang turut membantu.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top