Kos Sultan 0.4
Menggunakan hoodie merah kesayangannya, Taiga mengendap-endap keluar dari kos-kosannya. Kejadian tadi malam membuat Taiga sangat ingin pindah dari tempatnya sekarang. Kalau emaknya tahu apa yang ia inginkan, mungkin namanya akan dicoret dari KK.
Taiga harus bertahan setidaknya beberapa bulan ke depan.
Masalahnya satu-satunya sambal yang ia bawa dari rumah emaknya sudah habis. Apa uangnya cukup untuk menanggung nafsu makannya?
Kalau pulang dalam waktu dekat, emaknya bisa mengamuk.
Dalam pikirannya, Taiga berusaha memikirkan strategi supaya ia bisa pulang tanpa disambut amukan emaknya di kampung halaman nantinya. Kalau saja rendangnya masih ada, pikiran Taiga tidak akan sekacau ini.
Lirik kanan, lirik kiri.
Koridor lantai dua sepi.
Oke.
Berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun, Taiga yang awalnya mahasiswa semester empat biasa memulai karirnya sebagai buronan dadakan. Keluar dari penjara yang bernama Kos Sultan.
Katanya sih Kos Sultan tapi isinya rakjel semua. Hadeh, Taiga gagal paham.
“Taiga, nggak kuliah?” Wajar Tetsuya bertanya begitu, yang tidak wajar cara Tetsuya muncul.
“TETSUYA?” Taiga tidak bisa tidak heboh ketika si baby blue mendadak muncul di depannya.
“Biasa aja deh, ganggu penghuni lain aja,” sahut Tetsuya sedikit terganggu dengan suara teriakan Taiga.
“Coba lo munculnya nggak tiba-tiba, ini mah belum tua udah jantungan duluan gara-gara lo...,” cerocos Taiga. Tetsuya mengamati Taiga tanpa ekspresi. Sangat Tetsuya sekali.
“Btw, gue kuliah siang.”
Alis Taiga bikin aku nggak fokus, batin Tetsuya. Manik biru mudanya hanya terfokus pada alis cabang Taiga yang naik turun.
“Oh, aku pergi dulu,” pamit Tetsuya, ia berjalan kaki keluar dari kos, Taiga lupa menanyakan kampus Tetsuya di mana. Mungkin satu kampus dengannya, entahlah.
Taiga melihat sekeliling. Benar-benar kosong. Secepatnya Taiga menutup pintu dan melesat keluar dari kos-kosannya. Taiga memantapkan hati. Ia harus memakai strategi. Melewati lapangan basket, Taiga lupa dengan tujuannya.
Terutama ia melihat sebuah bola oranye tidak bertuan tergeletak di tengah-tengah lapangan. “Main bentar ah,” ujar Taiga.
Namanya saja Kagami Taiga, kalau tidak khilaf bertemu bola basket maka bukan Taiga. Dari jam setengah delapan sampai setengah sebelas Taiga habiskan di lapangan basket. Sehingga Taiga kelabakan mencari air minum dan belanja di warung sebelah lapangan.
“Baru pindah ke sini ya, Nak?” tanya wanita pemilik warung.
“Iya, kok tahu, Mpok?” Taiga sempat-sempatnya mencomot tiga buah bakwan dan menegak air mineralnya sampai habis.
“Orang-orang di sini mah saya udah kenal semuanya. Kecuali kamu,” jawab wanita yang akrab dipanggil Mpok Emi.
“Tadi malam saya ke sini lho, Mpok,” ujar Taiga memeriksa kembali belanjaannya. Telur sudah, kecap, garam, daun bawang, dan keperluan dapur murah meriah lainnya sudah lengkap di kantong plastik kecil miliknya.
“Oh ... anak saya tadi malam yang bertugas. Rambutnya abu-abu 'kan?”
“Iya.”
“Namanya Rico, kalau bisa Mpok mau jodohin kamu sama dia, hihi.” Mpok Emi tertawa genit.
Taiga salah tingkah dan ia terbata-bata pamit. Seram juga melihat tawa Mpok Emi. Sebagian giginya ompong, mana warnanya ada yang secerah emas ada juga yang warna coklat seperti warna manisan kesukaan Atsushi.
Mpok Emi sebenarnya wanita yang ramah, ia berbicara bahasa Indonesia dengan lancar tanpa menghilangkan aksen medok-nya. Yang membuat Taiga takut adalah giginya dan hujan lokal yang dihasilkan Mpok Emi.
Terbayanglah paras ayu anak Mpok Emi tadi malam. Gadis berkacamata itu sepertinya pernah Taiga lihat. Di mana ya? Taiga mengalami sesuatu yang namanya deja vu.
Gue heran, kok anak sama emak nggak mirip?
Bukannya jedag-jedug membayangkan wajah teduh Rico, Taiga malah membanding-bandingkan wajah gadis itu dengan ibunya. Ya jelas tidak miriplah. Beda generasi, beda style juga lah, Taiga. Percaya atau tidak, dalam beberapa kasus terkadang orangtua lebih gaul daripada anak-anaknya.
Contohnya Taiga belum tahu karena belum menemukan papa mama gaul.
Sebelum kembali ke kosan, Taiga memakukan pandangannya pada sebuah gerobak biru sederhana lengkap dengan meja-meja dan kursi-kursi yang dilindungi terpal biru tua di atasnya. Selain basket yang membuat Taiga khilaf, makanan juga sering membuyarkan segala logika di kepala Taiga.
Itulah mengapa setiap pulang kampung emaknya marah-marah dikarenakan uangnya sering tidak bersisa, tubuhnya pun semakin bongsor. Tanpa pikir panjang Taiga mengisi salah satu tempat di bawah terpal itu, memesan bubur ayam.
Sudah habis dua mangkuk bubur ayam, Taiga memesan lagi semangkuk soto betawi. Belum merasa puas, Taiga menambah lontong medan. Pemilik warung di antara senang dan heran melihat pelanggannya yang rakus itu.
Belum lagi alis cabang Taiga yang naik turun melahap makanannya sering membuat orang lain gagal fokus. “Wah, nikmat banget ya, Taiga.”
“Uhuk! Uhuk!” Taiga tersedak bihun dan pelan-pelan mengisikan air pada gelasnya. Menunggu kerongkongannya kosong setelah bihunnya didorong air, Taiga menatap lekat-lekat wajah dosennya yang ia yakini Taiga hari ini ada kelas dengan dosen tersebut.
Oh iya ... kelasnya jam sembilan pagi. Harusnya Taiga sudah berangkat kuliah sebelum waktunya.
“Wah, udah selesai aja. Nggak nambah lagi biar tambah sehat?” sindir Aida Kagetora, dosennya yang tengah duduk di depannya saat ini. Senyum Kagetora merekah di wajahnya yang tertumpu di telapak tangan.
Senyum pembawa maut bagi Taiga.
Taiga meratapi dirinya yang tidak bisa mengikuti ujian dalam waktu dekat karena ketahuan absen satu kali.
Dasar dosen killer.
***
“Tet, si Taiga kok udah lama nggak keliatan?” tanya Junpei sembari menata piring-piring berisi roti-roti dan kue-kue buatannya sendiri di atas karpet ruang kumpul. Ruang kumpul menjadi tempat pesta kecil-kecilan, memperingati Junpei yang siap untuk berdagang roti dan kue buatannya.
“Nggak tahu tuh,” jawab Tetsuya apatis memberi makan Nigou dengan ayam bakar nasi Padang yang ia makan tadi siang.
“Mungkin ngambek. Kalian sih bulinya kelewatan, duit saku anak orang hampir habis terus kalian bersihin sambalnya,” omel Teppei. Aura kebapakannya terlalu bersinar sampai Shun di sebelahnya memakai kacamata hitam.
“Habisnya Seijuurou-cchi bikin aturan harus buli setiap anak baru ssu,” sahut Ryouta sambil menyisir rambutnya dan menghias wajahnya bersama Reo. Alat-alat make up yang harganya waw berada di sekeliling mereka.
“Udah woi! Kayak banci aja kalian,” tegur Yukio jijik. Ryouta dan Reo yang awalnya cantik menjadi lebih cantik dan menawan setelah wajah mereka diberi polesan make up.
“Bodo amat! Wlee!” ledek Ryouta lalu menjulurkan lidahnya, pose berfoto yang sering ia lakukan. Terutama ketika membuat tiktok ataupun snapchat.
Junpei berinisiatif memanggil Taiga yang selama tiga minggu belakangan menyendiri tidak jelas. Mengetuk pintu terlebih dahulu, Junpei mendengar suara Taiga mengizinkannya masuk. Menghela napas, Junpei memberanikan diri dan harus membujuk Taiga tidak lagi menjauhi mereka.
Bagaimanapun juga, ketika Seijuurou sibuk ke luar kota dirinyalah yang mengatur dan menyelesaikan semua masalah yang ada di kos-kosan. Masalah Taiga adalah masalahnya juga. Di dalam kamar hanya ada Taiga yang duduk membelakangi pintu.
Taiga mengumpat tidak jelas hingga terdengar ke telinga Junpei. Ia terpaksa belajar untuk ujian susulan karena tidak diberi kesempatan mengikuti ujian.
“Taiga, tangkap nih.” Junpei melempar sebuah hot dog buatannya dan berhasil ditangkap Taiga.
“Boleh dicobain,” ujar Junpei duduk di sebelah Taiga.
“Makasih,” lirih Taiga kelelahan. Kantung hitam menggantung di bawah kelopak matanya, pertanda ia terlalu keras belajar. Taiga membuka plastik hot dog dan memakan sedikit demi sedikit makanan yang diberi Junpei tersebut.
“Bagaimana?” tanya Junpei meminta komentar.
Ekspresi Taiga yang cerah membuktikan makanan yang ia buat memiliki rasa lezat. “Daripada sendirian ke bawah aja, yuk. Ramai kok,” ajak Junpei. Ia berdiri diikuti Taiga di belakangnya yang berjalan seperti mayat hidup.
“Hai....” Sapaan Shinji menggantung di udara.
“Si-siapa itu, Junpei?” Shinji menunjuk Taiga yang terlihat pucat dan kantong mata yang tebal. Taiga benar-benar mirip panda.
Panda langka karena memiliki alis bercabang dua.
“Hai, aku Taiga.”
Taiga menguap lebar, alhasil Reo mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung. Begitu pula Ryouta mengikuti panutannya. “Bau ya, Cyiin,” bisik Reo.
“Iya, Cyiin,” sahut Ryouta menutup hidung menggunakan kerah kaus merahnya.
“Lu bencong berdua lebay amat sih,” ketus Daiki menikmati keindahan majalah di pangkuannya.
“Kita mulai aja ya makan-makannya, udah laper nih,” rengek Atsushi sedang tiduran di atas alas kaki pintu masuk.
“Atsushi, kalau guling-gulingan jangan di sana,” tegur Tatsuya.
“Bodo amat. Pokoknya makan!” Atsushi menggembungkan pipinya.
Junpei terkekeh, ia memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit bergeser. “Kita mulai aja makan-makannya,” ujar Junpei memulai pesta kecil-kecilan mereka.
“Oh ya, Mas. Acaranya dalam rangka apa?” tanya Taiga bergabung bersama teman-teman satu kosnya setelah sekian lama ia tidak melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Tiga minggu belakangan Taiga sering pergi pagi-pagi buta dan kembali ketika semua orang tidur.
Terlihat jelas Taiga ingin menjauhi teman-temannya.
“Acara pembuka dari mulainya usaha kue dan roti milik Hyuuga Junpei.”
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top