Kos Sultan 0.2

"Sudah diputuskan Tetsuya harus membersihkan kamar dan memandikan Nigou yang tidak mandi selama seminggu. Supaya aman, barang berupa gundam dan poster anone anone harus disita hingga besok pagi," jelas Junpei membacakan keputusannya. Ia memukulkan palu di atas meja yang dilapisi kain sarung hijau.

"Apa? Nggak boleh gitu." Tetsuya menolak.

"Supaya adil, Tetsuya."

"Atau gundam seharga sepuluh juta ini akan dipatahkan dan poster anak kecil ini akan kami serahkan pada FBI," ancam Junpei seraya memperbaiki posisi kacamatanya. Cahaya matahari yang terpantul oleh kacamatanya membuat matanya terlihat berkilat semangat.

"Ya udah deh, besok aku ambil," putus Tetsuya. Ia berdiri dan bergegas ke kamarnya. Harus diancam baru mau.

"Terima kasih atas kerja samanya, Mas," ucap Taiga menjabat tangan Junpei.

"Tidak apa-apa, sebagai imbalannya belikan gue kerak telor," balas Junpei tak lupa dengan senyum licik yang ia sembunyikan dari tadi.

"Eh nggak boleh gitu, kita harus tulus membantu," tegur Teppei, aura kebapakan yang dimilikinya semakin kuat.

"Boleh, 'kan gue hakimnya. Udah, udah pergi sana. Kalau mager jalan kaki pakai motor gue aja, motor bebek warna hitam ada stiker love," ujar Junpei memberikan kunci motornya ke Taiga.

"Duit?" tagih Taiga.

"Pakai duit lo aja."

Kalau Taiga memakai kacamata, ia jamin kacamatanya sudah retak sekarang.

"Udah, udah. Hus! Hus! Cepetan ya! Nggak mau nurut? Batu bata melayang."

Diktator.

Junpei mendorong-dorong Taiga keluar dari kamarnya. Ingin marah, tapi Taiga ingat yang mendorongnya lebih tua darinya. Sambil mengomel, Taiga mengambil uangnya di kamar dan pergi ke bagasi yang terletak di sebelah bangunan utama kos.

Tidak sulit mencari motor Junpei. Motornya mencolok karena diberi stiker love-love. Mengeluarkan motor dari bagasi, Taiga memanaskan mesinnya dan membuka pintu pagar besi.

Ia mengendarai motor dari halaman dan keluar dari area kos, tak lupa ia menutup pintu pagar.

"Bagaikan langit di sore hari, berwarna biru, sebiru hatiku."

Taiga mendongak sejenak melihat warna langit yang masih biru. Cahaya matahari tidak terlalu terik dikarenakan sudah pukul tiga sore. Taiga lumayan kenal dengan area sekitar kompleks kos, jadi ia tidak tersesat lagi jika ingin keluar dari kompleks tempat kosnya berada.

Sebuah lapangan basket menarik perhatiannya, Taiga memberhentikan motornya dan menatap beberapa orang pemuda saling memperebutkan bola oranye.

"Udah lama nggak main basket, masalah kerak telor nanti aja," gumam Taiga memakirkan motornya di sebelah lapangan. Katanya sudah lama tidak main, padahal baru beberapa jam yang lalu sebelum ke kos barunya Taiga bermain basket di kampusnya.

"Permisi! Boleh ikut main?" tanya Taiga ke sekelompok pemuda di lapangan.

Seorang pemuda berkulit hitam manis memperlihatkan dirinya dari ramainya kerumunan pemuda pemain basket. "Boleh, kalahin gue dulu," tantang si pemuda bersurai navy.

"Huh? Kalau kalah jangan nangis," cibir Taiga dengan senyum meremehkan. Si navy menarik satu sudut bibirnya ke atas, juga meremehkan lawan bicaranya.

"Oh, omong-omong, Aomine Daiki."

"Kagami Taiga."

Dua pemuda yang memiliki tinggi hampir sama tersebut berjabat tangan, senyum meremehkan tidak luput dari mereka. Daiki memberi isyarat teman-temannya agar mundur dari area lapangan.

Daiki menyuruh seorang pemuda bersurai pirang melempar bola melempar bola ke atas. "Tip off!"

Taiga berhasil menangkap bola duluan dan mulai akan menguasai permainan. Ia tersenyum penuh kemenangan ke Daiki yang terlihat santai saja mengupil.

Seharusnya Taiga peka dengan kesantaian Daiki.

***

Dalam waktu setengah jam, Daiki memperoleh enam skor dan Taiga belum mendapatkan skor sama sekali. Si pemuda berambut merah bergradasi hitam itu mendudukkan dirinya di atas lapangan yang panas dan mengusap keringatnya.

"Rio, belikan gue cilok. Pakai duit lo dulu, besok gue ganti," suruh Daiki malas sambil menguap.

"Oke, sumimasen!" Pemuda yang disuruh Daiki membungkukkan sedikit tubuhnya kemudian membelikan pesanan si navy blue.

"Well, gue akui permainan lo bagus, makanya bisa gue izinin lo main di sini. Tapi, lo harus ingat satu hal. Lo nggak akan bisa ngalahin gue," ucap Daiki, ia menatap remeh Taiga. Begitu pula senyumannya yang terkesan mengejek.

Daiki merangkul Taiga dan berbisik, "Yang bisa ngalahin gue cuma diri gue sendiri."

Tak lupa Daiki mengorek telinga menggunakan kelingking menemukan kenikmatan saat rongga telinganya mulai kosong. Menepis lengan Daiki, Taiga membiarkan pemuda berkulit gosong itu sibuk membersihkan telinga dan hidungnya.

Menggunakan jari tentunya.

"Hai! Gue Koganei Shinji dan ini Mitobe Rinnosuke. Orang baru ya?" Pemuda yang memiliki senyuman seperti kucing memperkenalkan dirinya beserta sahabatnya yang memiliki wajah kalem.

"Iya, gue Kagami Taiga," jawab Taiga. Ia membalas senyuman Shinji. Senyum khas Taiga adalah ia tersenyum sampai deretan giginya terlihat dan matanya terpejam.

Senyum sejuta cinta Taiga namanya.

"Lo baru pindah ke sini? Tinggal di mana?" tanya Shinji.

"Yoi, gue tinggal di Kos Sultan."

"Woah! Kalau gitu tempat tinggal kita tetanggaan! Semuanya yang ada di sini tinggal di Kos Sultan lho. Kecuali gue, Rio, dan masih ada sih beberapa!" Shinji bersemangat bercerita bersama Taiga.

Daiki menatap kedua pemuda di sebelahnya tidak minat dan memakan ciloknya diam-diam, ia pura-pura tuli mendengar suruhan Shouichi untuk mencuci tangannya. Rinnosuke tidak berbicara apapun, ia mengangguk-angguk membenarkan apa yang dibicarakan Shinji.

Imayoshi Shouichi, seorang pemuda berkacamata yang memiliki senyuman mengerikan mengakhiri acara istirahat mereka yang telah terlaksanakan selama sepuluh menit. Taiga kembali bersemangat, ia dan Daiki yang paling menguasai pertandingan.

Pukul lima sore kumpulan pemain basket tersebut memutuskan pulang ke kosan. Pantas saja kos itu penuh kecuali kamar Tetsuya, penghuninya saja lebih dari dua puluh orang. Taiga agak heran mengapa kos yang katanya sudah penuh, keadaannya sepi tadi siang. Jawaban keheranan Taiga adalah sekelompok pemuda yang tinggal di sana bermain basket di lapangan.

Sungguh, Taiga punya teman seperbasketan yang banyak.

Taiga mengusap peluh yang mengalir di wajahnya dengan ujung kaus hitamnya. Tubuhnya yang lengket dan gerah memaksa Taiga mempercepat kakinya menaiki undakan-undakan tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

Baru sampai ia di undakan tangga terakhir, sosok hantu maskeran menghalangi jalannya.

"Taiga, di mana kerak telornya? Gue udah lama nunggu," tagih Junpei seraya melipat kedua tangan di depan dada.

"Hantu!"

Taiga berjengit kaget dan hampir terguling indah ke lantai satu kalau saja Teppei tidak menarik kausnya, mencegahnya terjatuh. "Hati-hati," tegur Teppei tersenyum kebapakan.

"Terus lo ngatain gue hantu? Mana sopan santun lo sebagai junior?" hardik Junpei. Jari telunjuknya menuding ke hidung bangir Taiga.

Taiga yang sudah menyeimbangkan tubuhnya kembali hampir tergelincir kalau Shinji tidak menahan kedua bahunya dari belakang. "Hati-hati Bro!" peringat Shinji yang sengaja berkunjung.

"Makasih," ujar Taiga dan berdiri tegap di undakan tangga.

"Apa tadi, Mas?" tanya Taiga. Dari tadi ia salah fokus dengan masker mentimun yang menyelimuti wajah Junpei.

"Kerak telor," ulang Junpei jengah.

"Relain aja, Taiga pasti capek," nasihat Teppei.

"Salah dia sendiri sih disuruh belanja malah keluyuran," sanggah Junpei. Taiga kembali mengurut dadanya, Tatsuya menepuk bahunya sambil tersenyum lembut, kemudian bersama Atsushi pergi ke habitatnya.

Udah ganteng gini kok masih jones? Ketutupan aura ganteng gue kali? batin Taiga bertanya, masih menatap sekilas kepergian Tatsuya dan Atsushi yang menebar sampah sepanjang koridor.

"Nanti aku beli abis mandi. Gerah banget, Mas." Taiga mengibas-ngibaskan kausnya yang basah setelah tidak lagi fokus pada Tatsuya dan Atsushi.

"Kalau gitu nggak jadi kerak telor. Belikan martabak Bandung rasa keju coklat, oke?" tukas Junpei.

"Nebeng ya, Pei. Hehe." Teppei menyengir sambil mencolek-colek bahu rekannya.

Ternyata Teppei sama saja.

"Pakai duit aku?" tanya Taiga. Matanya membulat dan mulutnya menganga.

"Pakai duit siapa lagi? Cepat mandi, sana! Lo bau!" usir Junpei menutup hidungnya.

Teppei menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Turutin aja, Junpei emang nyebelin kok," bisik Teppei.

"GUE DENGAR LHO!"

"Ya udah, Mas. Aku mandi dulu," pamit Taiga.

Ia pikir Junpei dan Teppei tergolong ke penghuni yang normal.

Nyatanya tidak.

Junpei yang terlihat berwibawa aslinya adalah pemuda diktator dan senioritas. Teppei baik, cuma kalau bisik-bisik suaranya kedengaran juga.

Membuka pintu kamarnya, Taiga memuji kerja keras Tetsuya merapikan interior di kamarnya. Kamarnya hanya memiliki dua ruangan. Satu ruangan besar dan satu lagi benar-benar kecil difungsikan sebagai tempat memasak.

Berada di dalam kamarnya, pemuda bersurai merah itu menutup kembali pintu kamarnya dan menghirup dalam-dalam aroma anggur yang lembut memenuhi setiap sudut kamarnya.

Dua kasur tipis disusun bersebelahan. Di sebelah kasur, terletaklah ransel milik Taiga. Selain kasur dan ransel, isi kamar berukuran empat kali lima tersebut hanya sebuah lemari.

Di kertas yang tertempel di lemari, Tetsuya mengizinkan Taiga menaruh barang-barangnya di lemari. Lagi pula lemari di kamar mereka bukanlah milik Tetsuya. Melainkan milik kos.

Setelah menyusun seadanya barang-barang miliknya, Taiga mengambil handuk dan ember berisi peralatan mandi. Kamar mandi tidak terlalu jauh dari kamarnya, hanya berjarak lima langkah.

Baru keluar dari kamar, Taiga disuguhkan pemandangan barisan pemuda-pemuda mengantre di depan dua pintu yang menjadi kamar mandi.

"Haaaaaaah...."

Taiga terpaksa menunggu dengan keadaan tubuh pegal-pegal dan keringat yang mengalir deras di sekujur tubuh.

Bersambung...
Mohon dijawab ya, teman-teman. Menurut kalian mana font cover yang bagus?

1? 2? Atau ada rekomendasi font lain?

Nah, sekalian aku mau promosi. Silakan yang mau request ada di bagian awal book aku ini lho. Terserah mau request one-shot, chat, dan lain-lain

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top