EPILOG

Enam tahun berlangsung begitu cepat. Penghuni kos-kosan di Kompleks Beringin silih berganti. Ada yang pergi dan ada yang datang.

Setiap ada anggota yang pergi pasti ada penggantinya.

Kos Sultan adalah saksi bisu perjuangan seorang Kagami Taiga membentuk tim basketnya.

Kini pemuda rakus itu tumbuh menjadi pria dewasa yang memimpin para pebasket hebat yang mewakili Indonesia di pertandingan internasional.

Di suatu siang yang terik Taiga meniup peluit.

“Hari ini latihan kita sampai di sini saja.”

“Terima kasih, Pelatih!”

Latihan basketnya diakhir lebih cepat karena hari ini adalah hari Sabtu. Ditambah lagi rekan sekamar Taiga menikah, ia harus datang. Taiga mengemasi catatan-catatan perkembangan para pemainnya ke dalam tas dan ia gantung di bahu kanannya.

Pria itu keluar dari gimnasium, cahaya terik menerpanya. Ia bergegas kembali ke kos tanpa menaiki kendaraan dan berjalan kaki saja.

Ponsel di dalam tas bergetar, tangan membuka resleting dan mengeluarkan benda pipih canggih dari dalam.

“Halo.”

Halo, Taiga. Bapak pulang tiga hari lagi.”

Mengembangkan senyum, perasaan syukur membanjiri hati. Taiga sudah mencari rumah untuk ia tinggali bersama orangtuanya. Rumahnya berada di Kompleks Beringin juga. Tinggal mengurus barang-barang untuk mengisi rumah tersebut. Hidup bahagia bersama orangtuanya ada di depan mata. Inilah yang Taiga impikan. Orangtuanya sehat total menjalani hari tua.

Tiba di kos-kosan, Taiga masuk ke kamarnya. Ia bergegas mandi dan berpakaian, mengenakan batik dan celana panjang hitam.

Di mana Tetsuya? Ia tak lagi tinggal di Kos Sultan. Pria bersurai biru muda itu tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama istri yang ia nikahi hari ini.

Taiga lupa menanyakan di mana Tetsuya membeli rumah. Mudah-mudahan ia ingat untuk menanyakannya nanti.

“Berangkat bareng, Taiga?” ajak Tatsuya, salah satu penghuni lama kos yang masih menetap.

“Yuk.”

Keduanya berangkat. Menembus teriknya matahari. Melewati jalanan padat yang diramaikan pencari makan siang. Taiga menggenggam kado di tangan kanannya.

Motor Tatsuya berbelok ke halaman ruang serba guna dan memakirkan motornya di tengah belasan motor lainnya. Suara musik orgen menggema, membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasakan kegembiraan kedua mempelai.

Taiga jadi ingat dulu ia ke sini mencuri makanan bersama teman-temannya. Kekehan pelan keluar dari mulutnya.

“Lo kenapa?” Tatsuya menyangkutkan helm di sangkutan motor.

“Nggak. Keinget dulu bareng Mas Junpei, Kazunari, Tetsuya, sama Ryouta maling makanan. Naik motor dempet-dempetan ala cabe-cabean pula lagi. Terus Mas Junpei kepincut sama cewek yang nyambut tamu.”

Junpei bukan lagi pemuda single haus kasih sayang. Ia telah menikah dan berkeluarga. Hidupnya mapan. Junpei berhasil membangun toko rotinya sendiri.

“Oh ... masa muda yang lucknut.” Tatsuya ikut terkekeh.

Lucu. Dulu Tetsuya datang ke gedung ini untuk mencuri makanan di acara pernikahan orang, sekarang ia sendiri yang mengadakan pesta pernikahan. Apa ada orang yang maling makanan di acaranya?

Omong-omong tentang Ryouta. Apa ia sempat datang?

Taiga dan Tatsuya disambut keluarga mempelai. Pria bersurai merah anggur yang menyambut Taiga meringis. Ingat dulu pernah menyundul kepala Taiga sampai terlempar dan pingsan.

Untung Taiga sama sekali tak ingat siapa Kamado Tanjirou yang menyambutnya gugup.

Taiga mengisi buku tamu, lalu menaruh hadiah di meja lain, dua kado terletak di sana. Tertulis nama yang familiar.

Dari Akashi Seijuurou dan Kise Ryouta. Wah, bagaimana keadaan dua sahabatnya itu? Sudah enam tahun mereka tak berjumpa.

Artinya mereka sempat datang. Untunglah.

Tega sekali jika mereka tidak datang ke hari berbahagia sahabat sendiri. Sekalian reuni jikalau kedua pria itu belum pulang.

“Lo ngapain bengong?” tanya Tatsuya menepuk bahu Taiga usai memasukkan amplop berisi uang ke sebuah kotak.

“Ng-nggak.”

Mengambil nasi dan lauk di meja prasmanan, Taiga duduk di depan panggung mempelai. Terlihat Tetsuya yang meniup mata istrinya yang kelilipan.

Kapan gue kayak gitu ya? Kapan-kapan kali.

Tetsuya tampak gagah dalam balutan kemeja putih dan tuksedo hitamnya. Si istri juga berpenampilan manis. Gaun putih membungkus tubuh mungilnya. Rambut panjangnya digulung ke atas dan diberi hiasan.

Pasangan good looking.

“Taiga!” Suara cempreng itu memanggil. Membuat Taiga menoleh. Suara yang lama lenyap di pendengarannya.

Terlihat dua orang yang lama tidak ditemuinya. Seijuurou dan Ryouta bergabung dengan Taiga dan Tatsuya. Di meja lain duduklah Shintarou dengan kekasihnya dan Kazunari yang merupakan adik kekasihnya. Ditambah Satsuki dan Daiki yang datang bergandengan tangan. Junpei dan Riko datang membawa seorang anak kecil berusia setahun, anak itu bersurai hitam dan bermata cokelat.

Jangan lupakan Keyzi selaku mama Satsuki datang bersama Levi—adik sepupunya—dan Petra—istri Levi. Erwin dan Hanji juga datang, mereka resmi berstatus sebagai suami istri sejak dua tahun yang lalu. Kagetora juga datang bersama Riko dan keluarganya. Atsushi datang sedikit terlambat, bergabung di meja Taiga, Tatsuya, Seijuurou, dan Ryouta.

“Nggak nyangka kita bakal ketemu lagi, gimana kabar kalian?” Tatsuya mengumbar senyum.

“Baik-baik aja, pas musim liburan sibuk banget haduh,” jawab Ryouta ceria. Logat kekanakannya menghilang seiring bertambahnya umur.

“Baik, gue resmi sembuh dari DID. Terus perusahaan gue nomor sepuluh di internasional.”

“Woah. Selamat.”

Ryouta mengucapkan selamat duluan, diikuti Taiga, Tatsuya, dan Atsushi.

“Terima kasih.”

Di usianya yang baru menginjak angka dua puluh empat, seorang Akashi Seijuurou mampu mengembangkan perusahaannya sampai menduduki angka sepuluh di mata dunia.

Mengagumkan. Pantas Seijuurou berkembang sejauh itu. Didikan keras sang ayahanda membentuk kepribadiannya yang sempurna.

Taiga terkagum sejenak. Teman-temannya mulai banyak yang berubah. Ryouta tak lagi kekanakan, porsi makan Atsushi normal, dan Seijuurou terlihat lebih ramah dari sebelumnya.

Rasanya ia kurang percaya kemunculan dua orang yang selalu hadir di memorinya saja. Taiga mencubit tangannya.

Sakit. Ini bukan mimpi.

Rasa bahagia membanjiri hatinya di balik sikapnya yang tak menunjukkan perasaan apa-apa. Diam-diam Taiga tersenyum lebar.

Mereka benar-benar bertemu lagi.

“Kalian bertiga gimana?”

“Gue berhasil jadi pelatih tim basket nasional.”

“Hebat, kapan-kapan gue lihat deh tim lo tanding.”

Mereka bercakap-cakap, saling melontar pujian dan terkagum akan prestasi yang dicapai sang sahabat.

Setelah enam tahun berlalu, Tatsuya mengajar di sekolah internasional, Atsushi bekerja sebagai koki di sebuah kafe di Jakarta. Tak sia-sia Atsushi menghabiskan waktunya untuk makanan.

Daiki juga kini tampil dewasa, ia berprofesi sebagai polisi. Badannya semakin atletis, Satsuki sengaja menggamit lengan kekarnya mesra, melindungi sang kekasih dari tatapan nakal para tamu wanita.

Ah iya. Daiki dan Satsuki resmi berstatus sebagai kekasih. Satsuki tak lanjut kuliah dan langsung terjun ke dunia hiburan sebagai penyanyi. Akhir-akhir ini Satsuki sibuk syuting film pertamanya dan pemotretan.

Tidak mengecap bangku perkuliahan bukan berarti seseorang pantas dinyatakan tidak sukses, bukan?

“Oh iya Satsuki. Lagu debut kamu sampai terkenal di Amerika lho,” ujar Ryouta ke Satsuki di meja sebelah. Ia sampai berdiri saking antusiasnya.

“Udah tahu kok. Mas Ryouta suka 'kan? Itu lagu tentang kita.”

“Kayaknya Mas harus dengarin lagunya, gara-gara sibuk nggak tahu Satsuki bikin lagu,” sambung Seijuurou.

“Ya nggak apa-apa. Satsuki maklum kalau Mas Sei sibuk.”

Lagu Satsuki yang ditulisnya dan didedikasikan khusus untuk Vorpal Swords membuatnya memulai debut di dunia hiburan.

Sampai Jumpa Kembali. Judul yang sederhana. Sarat lirik berkalimat indah dan dipadukan suara lembut Satsuki. Jumlah pendengar lagu itu meledak dalam waktu singkat.

Yoshimura Eto juga turut berperan dalam pembuatan lagu. Ia uang menyusun nada dan memainkan alat musik.

Doa-doa yang Satsuki selipkan di lagunya terwujud hari ini. Ia bertemu kembali dengan teman-temannya. Mereka semua sukses.

Ya kecuali satu orang yang menghilang akhir-akhir ini.

“Ini sirupnya enak lho, kamu mau?” tawar Daiki menyodorokan gelas plastik sirup merah dengan selasih.

“Mau dong.”

Daiki terang-terangan meminumkan sirup merah itu ke Satsuki. Alhasil teman-temannya ada yang bersorak menggoda.

“Ekhen ekhem.” Kazunari salah satu orang yang paling heboh menggoda. Ryouta terkikik ala fanboy.

Ada pula yang iri, contohnya Taiga.

Bisa-bisanya sohib sesama dekilnya mendapat pacar secantik Satsuki. Taiga juga mau.

Diliriknya Kazunari di meja lain yang memangku anak Junpei dan Riko. Shintarou dan kakak perempuan Kazunari ikut bermain-main dengan anak itu. Kagetora, Junpei, dan Erwin mengobrol. Pun Hanji, Riko, Petra, dan Keyzi merumpi ala ibu-ibu. Levi saja yang betah mengatupkan mulut rapat-rapat.

Vorpal Swords lengkap. Semua pemain, manajer, dan pelatih hadir di pernikahan salah satu rekan perjuangan. Tapi rasanya ada satu orang yang tidak datang.

Siapa ya?

“Oh ya, Abang Kousuke di mana?” tanya Seijuurou. Menyadari sedari tadi manik merahnya tak menangkap kehadiran Kousuke.

Ya. Wakamatsu Kousuke pindah dari Kos Sultan setahun yang lalu. Sejak itu ia tak pernah menampakkan diri. Bagai terhisap ke dasar bumi.

“Nggak tahu. Setahun ini nggak ada keliatan. Ya 'kan, Taiga?”

Taiga mengangguk membenarkan. Di mana Kousuke? Seingatnya laki-laki itu di-drop out kampus lalu bekerja serabutan. Entah apa alasannya tiba-tiba pindah dari Kos Sultan. Kalau masalah tak mampu membayar uang sewa per bulan, penghuni lain siap membantunya.

“Oh gitu ... di mana Abang Kousuke ya?” Seijuurou bergumam usai Tatsuya bercerita singkat mengenai menghilangnya Kousuke.

Taiga mendengkuskan hidung. Teringat pernah dikerjai Kousuke. Lalu ingatannya merambat saat bersama Kousuke di perpustakaan.

Ia mendadak merinding mengingatnya. Taiga bersumpah, ia takkan mau ada urusan dengan makhluk halus.

Satsuki mengobrol riang dengan Seijuurou dan Ryouta. Daiki meminum sirupnya santai, tak terlihat cemburu. Enam tahun tidak bertatap muka, Daiki paham Satsuki sangat merindukan kedua pria yang ia anggap saudara.

Ia mendekat ke anak Junpei yang berpindah ke pangkuan Shintarou. Anak laki-laki itu tertawa gembira ketika pipinya dicolek Kazunari.

“Hihi adek gemes. Ayo sini sama Om,” ujar Daiki ramah.

Tiba-tiba anak itu memekik. Membuat Riko yang tengah berbincang dengan Petra menghentikan omongannya dan mendekati sang anak.

“Cupcupcup, anak ganteng mama kenapa?” Riko menimang-nimang anaknya. Junpei membuat wajah lucu, perlahan tangis anaknya mereda.

Sesudah itu Junpei berdiri di depan Kazunari, Daiki, dan Shintarou. Kacamatanya berkilat. “Siapa yang bikin anak gue nangis?”

Spontan Shintarou dan Kazunari menunjuk ke Daiki. Sontak Daiki terbatuk pelan, membuat Satsuki menghentikan tawa dan bertanya khawatir, “Kamu kenapa?”

“Gapapa.”

Daiki menggeleng.

“Oh ya udah.”

Satsuki lanjut mengobrol. Junpei bersiap menceramahi Daiki. Ah, seperti di kos dulu. Junpei sering menceramahi penghuni kos yang melanggar aturan.

Atau penghuni kos lain yang mencuri mangga.

“Hehe ... kayaknya lo udah lupa sama clucth-”

“Sayang ... jangan gitu,” tegur Riko di tengah kegiatannya bernyanyi-nyanyi kecil guna menghibur si anak.

Junpei menyengir dan kembali duduk di sebelah istrinya. “Iya deh. Apa yang nggak buat kamu?”

Jijik, batin Daiki, Kazunari, dan Shintarou kompak. Maklum mereka belum mengerti hubungan suami-istri.

“Lo pelan-pelan dikit kek dekatin anak kecil,” tegur Shintarou ke Daiki. Logat anehnya pun menghilang.

“Ho'oh, betul tu,” kompor Kazunari.

“Iya iya.” Daiki mengambil tusuk gigi dan menusukkannya ke sepotong semangka.

Di meja sebelah, Taiga hampir tersedak kue bolu yang dimakannya karena menertawakan Daiki.

“Satsuki nggak mau nyanyi?” tanya Riko.

“Eh? Nyanyi?”

“Iya, nyanyi aja. Kita pengen dengar suara lo secara gratis kuota dan gratis tiket konser,” sambung Kazunari. Membuat pinggangnya dicubit si kakak.

Satsuki menatap ke panggung mempelai. Tetsuya tersenyum tepat ke arahnya dan mengangguk kecil, mempersilakannya maju.

Perempuan bersurai sakura itu tertegun. Debaran kencang timbul kembali di hatinya saat melihat senyum menyejukkan itu.

Satsuki menggeleng. Tidak. Ia tak boleh kembali mencintai Tetsuya.

Hati Tetsuya telah dimiliki seorang perempuan dan perempuan itu bukan dirinya. “Oke.”

Satsuki tersenyum, naik ke atas panggung. Beberapa pasang mata tamu mengikuti langkah gemulainya.

“Semangat, Satsuki!” seru Ryouta berdiri, kini ia yang jadi pusat perhatian.

“Ma-maaf,” ucap Ryouta kembali duduk. Membuatnya disikut Seijuurou sebagai teguran.

Orang-orang berbisik. Seorang mantan model dan artis naik daun ternyata berteman? Wah, ini bahan berita yang menarik.

Sebelum Ryouta dikerubungi para penggemarnya, Satsuki menyeret seluruh perhatian para tamu dengan suara lembutnya. Ryouta pun diabaikan.

Beberapa orang tamu menyanyi mengikuti lagu sembari tubuh bergerak kecil menyesuaikan irama.

“Tiada lagi keraguan jalani hidup bersamamu. Kuyakin kaulah satu-satunya yang terbaik di hidupku.”

Dari panggung ia berdiri, Satsuki dapat melihat Tetsuya menggenggam erat tangan istrinya. Takut sewaktu-waktu istrinya direnggut.

Senyum Tetsuya melebar saat istrinya berbicara dengannya. Kapan Tetsuya tersenyum selebar itu? Satsuki nyaris lupa.

Nyeri timbul di hatinya. Bukan dirinya yang duduk bersama Tetsuya di kursi mempelai. Satsuki dulu selalu berharap hari ini tak terwujud. Hari di mana ia melihat Tetsuya terikat hubungan halal dengan perempuan lain. Kenyataan sering melenceng dari harapan. Satsuki menggeleng kecil.

Tidak, Satsuki. Mas Tetsu bukan punya kamu.

Manik merah mudanya berpindah ke Daiki yang kedua pipinya gembung oleh kue bolu. Pria itu mengacungkan jempol bersama senyum lebarnya.

Senyumnya menular ke wajah cantik Satsuki. Debaran di jantung Satsuki lebih cepat dari saat ia melihat Tetsuya. Warna merah menjajah kulit putihnya.

Tetsuya bukan miliknya. Daiki yang Satsuki miliki sekarang.

Ya. Itu adalah yang benar. Satsuki harus fokus menjaga apa yang ia miliki.

“Teman-teman setim Kakak banyak yang datang ya,” ucap Kamado ... ah bukan. Sekarang namanya Kuroko Nezuko. Istri sah Kuroko Tetsuya.

“Iya. Semuanya datang ... eh nggak. Satunya lagi nggak ada, nggak ada yang tahu dia ke mana,” jawab Tetsuya.

Tiada seorang pun yang mengetahui ke mana Wakamatsu Kousuke mengembara. Ia menghilang tiba-tiba saja. Tanpa memberi kabar apapun.

“Engkaulah jiwaku. Jiwa dan ragaku. Takkan berpisah hingga waktu ... memisahkan ... kau dan aku.”

Satsuki menyelesaikan satu lagu, disambut tepuk tangan meriah. Sebelum Satsuki dikerubungi para penggemarnya, Daiki berdiri dan menjemput sang kekasih yang tengah menuruni panggung.

“Makasih.”

Satsuki menyambut lengan kekar Daiki.

“Cuit cuit, enam tahun nggak ketemu tambah romantis aja kalian,” goda Ryouta.

Daiki dan Satsuki yang duduk di bangku masing-masing tersipu.

“Lo mau gue lempar cacing? Baru ketemu udah ngajak berantem,” ancam Daiki.

“Idih dih.”

Acara reuni berlanjut. Menumpahkan rasa rindu yang ditahan selama empat tahun terakhir. Membalas pertemuan yang hanya ada di chat atau telepon saja.

“Sayang, itu Satsuki lho yang nyanyi. Kok nggak nyadar kita ada di sini?”

Eto mengguncang lengan Jean yang menyendok soto ke mulutnya.

“Kita di pojok. Nggak keliatan kali. Emangnya kenapa sih? Kalian 'kan bisa ketemu terus.”

“Aku 'kan pengen nyanyi bareng.”

“Jangan. Suara kamu jelek.”

“Muka kamu yang jelek.”

Eto mencibir dan lanjut makan.

“Eh itu ada Seijuurou sama Ryouta!”

Eren menunjuk ke meja depan panggung pelaminan. Terlihat Seijuurou dan Ryouta tertawa bersama teman-temannya. Tengah mengenang masa lalu. Ada Satsuki juga di sana.

“Bebeb Seijuurou!” Eto terpekik kecil, sampai berdiri dari kursinya. Ia menepuk-nepuk tangan heboh.

“Heh, ingat siapa pacar kamu sekarang,” tegur Jean. Tak terima Eto berpaling ke Seijuurou.

Selama enam tahun ini yang bersama Eto adalah Jean, bukan Seijuurou. Jean tak rela menyerahkan kekasihnya ke Seijuurou.

“Maaf maaf, aku senang banget ketemu mereka. Nanti samperin yuk.”

Eto tersenyum lebar, memakan sotonya semangat. Enam tahun ini Eto segan mengirim pesan atau menelepon Seijuurou. Makanya ia dan Seijuurou lost contact. Tak mengetahui kabar masing-masing, kecuali Eto yang mengetahui keadaan Seijuurou dari berita.

Ya, hanya keadaan luarnya saja. Selama enam tahun tentu keadaan banyak berubah.

“Iya iya. Tapi jangan belok ke Seijuurou.”

“Sip. Oleng dikit boleh lah ya.”

“Tetap nggak boleh.”

Jean menajamkan tatapannya pada Eto. Wanita bersurai hijau itu menyengir dan memakan cepat sotonya. Tak sabar berbicara dengan lagi dengan cinta lama.

Jangan sampai ia mengalami cinta lama bersemi kembali. Kasihan Jean.

“Gue bentar lagi balik ke kantor nih. Dulu ya,” ujar Seijuurou berdiri. Puas melepas rindu dengan sahabat-sahabatnya dulu.

Shintarou tak lagi sedingin dulu, ia mulai hangat. Buktinya ia mampu menggaet hati kakak Kazunari. Taiga dan Atsushi menormalkan porsi makan mereka.

Daiki kalem. Logat Ryouta yang kekanakan hilang, hanya sifatnya belum terlalu dewasa. Junpei dan Riko yang sangat tegas kini melembut sejak memiliki anak.

“Mumpung Vorpal Swords lengkap gini kita foto bareng-bareng yuk,” usul Riko.

“Boleh boleh.”

“Ya, foto aja dulu. Buat kenang-kenangan. Saya foto pakai hape Satsuki nanti dikirim ke grup WA Vorpal Swords.” Keyzi menyetujui.

“Grup WA?” beo Daiki mengernyit bingung.

“Kita nggak punya grup WA?” tanya Satsuki ke sang pacar.

“Rasanya nggak,” Riko menjawab.

“Lah baru nyadar.” Taiga menepuk dahi.

“Dulu kita ngapain aja sih? Sampai nggak kebikin grup WA.” Junpei menggeleng. Heran mengingat kelakuan mereka dulu.

Mungkin saking seringnya berkumpul bersama, membuat grup chat tidaklah penting. Kan bisa bertemu secara langsung.

Bertatap muka langsung tentu lebih menyenangkan daripada di chat. Hati satu sama lain lebih dekat.

“Makan,” jawab Atsushi spontan.

“Itu mah elu.” Daiki mengerling.

“Udah udah. Nanti Satsuki bikinin grupnya dan kirim foto kita.”

“Yuk kita naik aja,” komando Kagetora, mengakhiri perdebatan kecil. Mulai dari para pemain, manajer, hingga pelatih menaiki panggung.

“Wih selamat, Tet. Semoga rumah tangga lo adem ayem. Dikasih anak-anak yang baik dan penurut,” ucap Taiga menjabat erat tangan pucat Tetsuya. Tangan itulah yang dulunya mengoper tajam bola ke Taiga.

“Iya, semoga kamu cepat nyusul.” Tetsuya balas tersenyum. Di dalam hati berharap rekan sekamar yang sering ia buat emosi ini menemukan jodoh.

Beralih ke sebelah, Taiga menyalami istri Tetsuya. Perempuan bermata anggur itu tersenyum ramah, mempermanis wajah bulatnya. Pantas Tetsuya memilih perempuan ini sebagai istrinya.

Gerak-geriknya lembut, pun senyumnya menyejukkan hati siapapun yang melihatnya.

“Anak Kak Riko lucu ya,” ucap Tetsuya. Bayi di gendongan Riko tertawa. Tangannya menggapai-gapai, meminta digendong Tetsuya.

“Kayaknya anak Kakak mau digendong sama kamu. Nih gendong, bentar aja ya,” ujar Riko mengulurkan bayinya ke Tetsuya.

“Oke, Kak.”

Tetsuya menggendong hati-hati bayi di gendongannya yang bergerak lasak.

“Jangan lupa bikin bayinya nanti malam,” bisik Junpei dan dihadiahi cubitan Riko di pinggangnya.

“Aduh, Sayang. Jangan galak gitu.”

“Kamu aneh-aneh aja sih.”

Anak itu tergelak menonton perkelahian kecil orangtuanya. Nezuko yang berdiri di sebelah Tetsuya tersenyum, wajahnya merona. Hm ... membuat bayi ya? Nezuko menggeleng. Mengabaikan pikiran kotor yang sempat singgah di kepalanya.

Ditatapnya bayi berambut hitam di gendongan Tetsuya. Pipi putihnya seakan mau jatuh dari tempatnya. Tangan dan kaki gemuknya menggeliat kecil. Mulai bosan. Apa anaknya dan Tetsuya akan selucu ini nanti?

Para tamu mengambil posisi. Di sebelah Tetsuya, berdiri Satsuki, Junpei, Ryouta, Taiga, Daiki, dan Atsushi. Selebihnya di sebelah Nezuko.

Kamerawan menaruh kamera di depan mata. Menyorot ke para tamu yang tersenyum cerah. Ada yang berpose jari saranghaeyo, dua jari, atau jempol saja.

Nigou yang berada di sudut panggung, berlari riang ke Taiga. Hewan itu duduk di atas sepatu Taiga dan membuatnya terkejut.

Tepat cahaya kamera mengambil foto, Taiga terlompat kaget dan merusak formasi.

“HUWAH NIGOU!”

Beberapa tamu memerhatikan panggung. Mencari sumber teriakan barusan. Keyzi terkekeh, ia berhasil menangkap foto Taiga.

Wajah aibnya terfoto. Mulutnya terbuka lebar, alis cabangnya, menukik, dan sikunya menghantam hidung Daiki.

Foto yang cocok untuk diceritakan pada anak Taiga nantinya.

“Ulang lagi,” suruh kamerawan dan menyiapkan posisinya. Menahan ledakan tawanya. Ia diwajibkan profesional dan tak terbawa suasana.

“Nigou ... ih ... Nigou....” Taiga menunjuk ketakutan Nigou yang menggonggong riang ke arahnya. Manik biru hewan itu bersinar, ekornya bergoyang-goyang.

“Ada apa sih?” tanya Daiki sebal. Sikut Taiga mengenai hidungnya. Sakit. Untung darah tak keluar.

“Sini aku elusin,” ujar Satsuki. Mengelus hidung Daiki lembut.

Cih. Nyari kesempatan dalam kesempitan.

“Udah nggak sakit lagi 'kan?”

Daiki mengangguk. Satsuki kembali ke posisi semula. Romantisnya pasangan itu membuat para perempuan single menggigit bibir dan mulai mmebentuk skenario halu di otak masing-masing.

Tetsuya menggeleng. Sadar fobia Taiga belum hilang. “Nigou, balik ke tempat kamu tadi ya, nanti kamu bisa main kok sama Taiga,” pinta Tetsuya lembut.

“GUE GAK-”

“Diem aja dulu,” suruh Daiki.

“Wan!”

Nigou menurut. Anjing lucu itu berlari kecil. Riko berteriak gemas, ingin menggendong anjing kecil itu lagi. Namun, ia ingat kondisi dan harus menahan keinginannya.

“Pfft ... udah gede masih takut anjing.”

“Daripada lu sama cacing.”

Bibir Satsuki melengkung ke atas. Sahabat-sahabatnya tak terlalu banyak berubah. Mereka masih rusuh. Hanya lebih tumbuh lebih dewasa dari sebelumnya. Selama apapun berpisah, mereka tak terlihat canggung.

Jarang sekali pertemuan setelah perpisahan beberapa tahun tak berjalan canggung.

Kamerawan menekan tombol kamera. Pengambilan foto kedua berhasil.

“Bentar bentar. Kita mau foto bareng juga.”

Sebelum Vorpal Swords turun, datanglah Eto yang menggamit lengan Jean. Di belakangnya ada Eren sendirian tanpa pasangan.

“Sekarang foto sesama siswa rantauan ya? Saya turun dulu kalau gitu,” ujar Kagetora terkekeh.

Kagetora dan Tetsuya bersalaman. Pria setengah abad lebih itu menepuk punggung Tetsuya.

“Jadilah ayah dan suami yang baik,” nasihatnya tersenyum lembut.

“Baik.”

Tetsuya membungkuk kecil. Riko dan Junpei beserta anak mereka turun dari panggung. Kagetora menyusul. Riko sempat-sempatnya mengelus Nigou.

Sebelum keluar dari gedung, Riko menarik kedua sudut bibir ke atas. Eto, Jean, dan Eren bergabung dengan pemain serta manajer Vorpal Swords. Memasang beberapa pose konyol selama berfoto.

Nezuko yang merupakan orang baru tak canggung ikut bersikap konyol bersama sahabat-sahabat suaminya.

Waktu cepat berlalu. Wajah mereka berkembang pesat. Garis wajah semakin tegas dan dewasa. Postur tubuh kokoh. Wajah polos khas remaja benar-benar lenyap.

Riko jadi berpikir. Kapan mereka bisa reunian lagi? Jarang ada kesempatan seperti ini. Terutama Seijuurou yang perusahaannya diakui dunia dan Ryouta yang membawa pesawat ke negara-negara di dunia.

“Ayo satu pose lagi.”

Semua model foto mengepalkan tinju lurus ke depan dan tersenyum semangat. Usai berfoto, para tamu bersalaman dan mengucapkan kalimat selamat juga doa yang ditujukan ke kedua mempelai.

“Terima kasih udah datang.”

Rasa bahagia mengisi rongga hati Tetsuya. Ia berjanji mendatangi pernikahan teman-temannya yang lain nanti.

Tetsuya beruntung bersahabat dengan orang-orang berhati tulus. Yang selalu ada. Datang di saat senang maupun sedih. Merayakan kesenangan. Menghibur sewaktu hati bersedih.

Kompleks Beringin yang mempertemukannya dengan mereka. Orang-orang aneh yang berhati baik. Memang awalnya keanehan mereka menyebalkan.

Lama-lama kebaikan menutup kekesalan hatinya.

Sebelum pulang, Eto berbincang sedikit dengan Seijuurou dan Ryouta. Melepas rindu katanya. Seluruh kesedihan yang Eto usahakan terlupakan benar-benar lenyap sekarang. Ia tak lagi sedih. Hatinya lega dan dadanya meringan.

Rasa rindunya terbayarkan hari ini. Kini Eto memandang Seijuurou tak lebih dari sahabat.

Sahabat yang sama-sama berjuang memenangkan pertandingan.

Taiga keluar dari gedung dan memorinya bertahun-tahun yang lalu terputar. Ia bersama Tetsuya dan teman-temannya yang lain masuk ke gedung ini.

Mengisi buku tamu, mengambil cendera mata, makan sebanyak-banyaknya, dan diam-diam mencuri makanan.

Astaga gue dulu berdosa banget.

Taiga menggeleng dan meringis, meminta dosanya yang dulu diampuni. Ingatannya semakin mundur ke hari pertamanya di Kos Sultan.

Tetsuya adalah penghuni kos pertama uang ditemuinya.

Kesan pertamanya menyebalkan. Tetsuya seenaknya muncul dan menghilang. Membuang sampah sembarangan tanpa mau bersih-bersih. Tetsuya harus diancam dulu.

Lalu Taiga dikeroyok ramai-ramai karena membuat Nigou menangis.

Berlanjut ke hari ia ditawar bergabung dengan KiseDai. Latihan setiap malam. Kalah di pertandingan pertama, bertengkar dengan Tetsuya. Mereka saling mengabaikan.

Untung Kagetora menawarkan KiseDai liburan di Bali. Mereka diberi dukungan mental dan latihan yang lebih efesien.

Latihan lagi setiap malam. Hebatnya mereka cuma latihan seminggu dan mengalahkan Jabberwock di pertandingan kedua.

Habis Jabberwock pulang dengan kepala tertunduk malu. Makan-makan warung di Mpok Emi. Menghias lapangan. Acara perpisahan di festival es krim.

Taiga seakan kembali ke masa lalunya. Semuanya berjalan cepat. Tidak terasa itu semua kenangan enam tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin Taiga mengalaminya.

Taiga tak memerhatikan jalan dan salah memijak undakan tangga, lantaran terlalu hanyut dalam memorinya.

“Hati-hati, Mas.”

Sebelum Taiga tergelincir, untung lengan kekarnya ditahan sepasang tangan kecil. Taiga terbangun dari ingatan masa lalunya.

Semuanya sudah lama berlalu. Tak ada salahnya mengenang masa lalu, tapi harus tahu tempat dan waktu. Taiga sadar ia sedang mengingat masa lalu di kondisi yang salah.

“Ma-makasih.”

Taiga memperbaiki posisi berdiri. Tersenyum canggung ke perempuan berambut oranye yang membantunya. Manik ungunya yang berkilau tertutup seiring senyum lebar yang mengembang di wajah mungilnya.

Manis.

“Lain kali hati-hati ya.”

Debaran jantung Taiga mengencang.

Kisah barunya dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top