Bonus Chapter First Arc: Keluarga Satsuki
“Satsuki! Ambilkan air untuk tamu!” suruh mama.
Sedikit mengeluh, aku melepas earphone yang terpasang di telinga dan menghentikan kegiatan mengerjakan tugas. Tumben sekali ada tamu yang berkunjung, aku ogah-ogahan menuju dapur membantu mamaku menjamu tamu.
Mama memotong kecil-kecil kue bolu yang ia beli dan aku membuatkan teh. Padahal kue bolu itu untukku dan mama malah diberi pada orang lain. Kedua tanganku memegang nampan berisi dua cangkir teh manis dan sebuah piring berisi beberapa potong bolu coklat kesukaanku.
Relakan saja untuk tamu, Satsuki.
“Silakan dinikmati,” ujarku tersenyum sambil menaruh hidangan di atas meja tamu.
“Terima kasih, Satsuki," ucap Om Izuku tersenyum kepadaku, Om Katsuki tetap diam dengan wajah sangarnya yang tidak pernah berubah.
Mama muncul dari dapur beserta senyum manisnya. Oh ... saatnya orang dewasa berbicara, gadis remaja sepertiku dianjurkan tidak ikut serta pembicaraan mereka dan mengeram telur di kamar.
Aku tidak mengerti mengapa tumben-tumbennya Om Izuku dan Om Katsuki berkunjung, terakhir kali mereka datang untuk menghibur mama di kematian papa. Jangan-jangan Om Katsuki mau melamar mama? Om Izuku tidak mungkin mau melamar, ia sudah beristri.
Tidak, aku tidak setuju mempunyai papa baru! Aku masih menyayangi papaku yang sudah di dunia lain.
Duh, gara-gara kedatangan kedua teman papa itu ingatanku kembali bergulir ke masa lalu, pikiranku tak lagi fokus pada rumus-rumus fisika yang terhampar di depanku ataupun wajah imut Mas Tetsu.
Kembali ke usiaku yang menginjak lima tahun. Kedua orangtuaku sibuk bekerja, akhirnya aku sering dititipkan di rumah kakek nenekku—sekarang kakek dan nenek tinggal di kampung halaman.
Sesibuk apapun mama, aku tetap sering bertemu dirinya. Kadang mama juga membawaku ke kampusnya, aku berkenalan dengan banyak mahasiswa-mahasiswi. Aku berharap bisa sekeren mereka nantinya ketika memakai jas almamater.
Papa? Oh, aku jarang bertemu dirinya. Dalam setahun pernah aku tidak berjumpa wajahnya. Sejauh manapun jarak kami, mama tetap rajin menghubungi papa dan ikatan hati kami tidak pernah jauh.
Kupikir awalnya papa adalah orang dingin dan cuek bahkan ke keluarganya sendiri. Sepanjang yang kulihat, papa tidak pernah tersenyum kepadaku atau mama.
Ternyata tidak secuek yang kupikirkan. Pernah suatu ketika aku ingin ikut-ikutan temanku yang ikut les menyanyi, mama tidak mengizinkanku ikut les. Sepanjang hari aku terus merengek dan memberontak ke mama sampai-sampai mengunci diri di kamar.
Kalau tidak salah sekitar dua hari aku mogok keluar kamar? Aku tak mengetahui papa pulang dari tugasnya.
“Satsuki, boleh papa masuk?”
Saat papa mengatakan itulah pertama kalinya aku membuka pintu kamar lebar-lebar, selama dua hari itu aku sedikit membuka pintu untuk mengambil makanan yang dibawakan mama. Aku sadar aku tak bisa hidup tanpa mama.
Papa yang selama ini kulihat sangat irit berbicara, ia berubah menjadi banyak bertanya mengenai sekolahku.
Namanya saja anak-anak pasti bersemangat bercerita mengenai hari-hari di sekolah. Entah pelajaran menggambar, berebut plastisin, bermain ayunan, atau mencoret-coret buku teman.
“Satsuki suka menyanyi?” tanya papa setelah melakukan sesi tanya jawab denganku hampir selama setengah jam.
“Iya. Satsuki mau ikut les nyanyi, mama jahat nggak bolehin Satsuki les,” jawabku dan membuang wajah dari mama yang diam-diam mengintip dari balik pintu kamar.
“Emangnya Satsuki yakin pengen jadi penyanyi?” Papa memperbaiki posisi duduknya jadi bersandar di dinding.
Aku mengangguk cepat bersama mata yang melebar semangat. “Satsuki pengen jadi kayak Agnes Mo!”
“Yakin Satsuki nggak bosan?”
“Yakin! Satsuki selama ini nyanyi terus, makanya Satsuki sering batuk!”
“Atau kamu ikut-ikutan teman?”
Tebakan papa barusan mampu membuatku terdiam, aku ingat saat wajahku terasa memanas papa tersenyum tipis. Sangat tipis, mirip garis kaku yang ujungnya sedikit naik.
Papa benar-benar tampan ketika tersenyum.
“Satsuki, mama nggak ngizinin kamu les karena dia tahu kamu ikut-ikutan teman. Lagian untuk apa les sedangkan kamu bisa belajar sama papa?”
Hiburan papa adalah kalimat terpanjang yang pernah ia ucapkan dan sambil menghiburku senyum papa semakin melebar.
“Satsuki mau minta maaf sama mama?”
“Mau! Mau!”
“Yuk, bikin kejutan.”
Malam di hari itu aku menyanyikan lagu Anjing Kecil sambil memeluk boneka anjing yang dibelikan papa. Aku dan mama berdamai, keesokan harinya aku kembali bersekolah diantar papa.
Semakin larut dalam kenanganku, aku semakin merindukan papa. Ugh, rasanya tidak enak sekali. Titik-titik air mataku berjatuhan dan menimpa kertas buku catatanku, meninggalkan bekas lingkaran absurd di sana.
Jika aku bilang suka menyanyi, menggambar, menari, bermain basket, dan lain-lainnya, papa setia menyaksikan bakatku dan mengajari apa yang kuminta.
Semua bakat yang kupunya sekarang karena latihanku bersama papa, seperti menyanyi, menari, dan menggambar. Pengetahuanku tentang basket juga berasal dari papa sehingga dari SMP sampai sekarang aku menjadi manajer tim basket.
Bukan berarti mama tidak memberi pengaruh positif kepadaku, mama banyak membantuku di bidang akademik. Hasilnya pialaku tak hanya dari perlombaan kesenian, ada juga dari olimpiade sains.
Lahir dari orangtua yang hebat membuatku lebih bersyukur. Cuma ... kehilangan salah satu di antara mereka memberi kekosongan di separuh hatiku. Kelas dua SMP adalah masa-masa tersulitku, sejak semester empat di SMP rumah menjadi sepi tanpa papa.
Tidak ada yang menonton bakatku atau membawaku jalan-jalan mengelilingi kota metropolitan ini.
Terkadang ingin sekali aku kembali ke masa-masa kecil, papa masih bersamaku dan mama. Saat acara lulus dari TK, mama dan papa berdebat pakaian apa yang akan kupakai. Ujung-ujungnya aku sendiri yang memilih pakaianku untuk pertunjukan menyanyiku. Setelah acara, papa menggendongku di punggungnya sampai ke rumah.
Lulus dari SD ada acara jalan-jalan sekolah, mama dan papa ikut serta mengawasiku dari belakang. Teman-teman meledekku anak manja, pulang dari jalan-jalan aku merajuk dan kembali mogok keluar kamar.
Di acara kelulusan SMP aku merasa kesepian, mama juga begitu. Di antara para orangtua siswa-siswi, mama menjauhkan dirinya. Aku salah satu siswi yang orangtuanya tidak lengkap.
Kos yang kuurus bersama mama adalah salah satu peninggalan papa. Dari kelas dua SMP semester satu, papa mengajariku mengurus kos yang ia buat. Ajaran papa yang masih lekat di kepalaku bisa meringankan pekerjaan mama.
Ingatan ini membuatku semakin ingin menyusul papa, kuputuskan mendengar lagu penuh semangat dari ponselku.
“Osanaka hi ni sutoori musu ni aru. Ikikita o nayande wa, me o sorashite nigeitenda.”
Aku mengikuti lirik-lirik lagu enerjik tersebut, perlahan rasa sedihku terangkat. Mama suka lagu-lagu Jepang, makanya aku tertular kesukaan mamaku tersebut.
Ketukan beberapa kali di pintu membuatku menghentikan lagu dan membuka pintu. “Tidur, ya?” tanya mama.
“Nggak kok, istirahat aja,” jawabku.
“Mama masuk ya.”
Menutup pintu kamar, aku duduk di sebelah mama yang membolak-balikkan buku catatanku.
“Gimana pelajarannya? Ada bantuan?” tanya mama.
Menggeleng, pikiranku kembali melayang ke wajah papa yang menemaniku kurang lebih empat belas tahun.
“Ma, dulu kisah cinta mama dan papa gimana?” Kalau dihitung, sudah hampir sembilan belas tahun dari pernikahan orangtuaku dan aku tidak tahu bagaimana kisah cinta mereka.
Mama gelagapan, sepertinya tersedak mendengar pertanyaanku. Menetralkan kekagetan, mama mengambil napas sebanyak-banyaknya.
“Oke, kamu sudah besar makanya Mama ceritakan sekarang.”
Memasang telinga baik-baik, aku menatap lekat-lekat wajah mama. Mama pernah bilang wajah cantikku berasal dari wajah tanpa cela papa, padahal mama memiliki wajah yang manis. Jadi, wajahku ini campuran ketampanan papa dan wajah manis mama.
Alasan mama di masa-masa sekolahnya tidak pernah pacaran menurutku bukan karena tampangnya, melainkan semua orang segan ke mama yang merupakan siswi berprestasi dan mama dulunya perempuan dingin.
Cold girl gitu.
Iya sih rambutku yang merah muda dari campuran rambut papa. Warna merah putih dicampur 'kan hasilnya merah muda. Seperti itulah rambutku.
Mataku yang merah muda turunan dari nenek bagian mama. Ketika aku baru membuka mata pertama kalinya di dunia ini, mama dan papa sempat kaget.
Papa sempat berpikir mama selingkuh, tapi setelah tes DNA, tubuhku murni dibentuk DNA papa dan mama. Dokter mengatakan orangtua mamaku yang mewariskan mata merah muda ini.
“Umur 22 tahun mama lulus S1. Mama mengajari anak-anak sekitar di pelajaran fisika, kadang-kadang bantu-bantu juga di pelajaran matematika dan biologi. Rumah kakek nenekmu dulu ramai karena banyak anak-anak minta diajarkan.
“Mama memutuskan lanjut S2 sambil membuka les. Baru aja semangat mau belajar lagi, nenekmu menyuruh mama menikah. Mana maulah Mama! Target Mama menikah setelah selesai S2. Mama dulu takut sekali menikah, nanti kalau menikah Mama nggak bisa kerja dan nggak bisa kuliah lagi.
“Setelah dipaksa-paksa, Mama ikut ajalah suruhan orangtua. Ntar dikutuk jadi Malin Kundang 'kan nggak lucu. Mama nggak mau jadi objek wisata tontonan orang.”
Lelah di posisi duduk, aku tengkurap dan menopang wajahku menunggu kelanjutan cerita mama. “Teman mama ngenalin seorang cowok ke mama, eh mama langsung suka karena papa kamu ganteng.”
Aku menahan tawaku mendengar alasan mama yang mirip anak-anak. Menyukai orang karena tampang terlalu kekanakan. Di balik wajah mama yang dingin, jiwanya masih kekanakan sampai sekarang. Terutama tidak ada papa yang sebagai pawang mama. Duh.
“Mama stalking terus papa kamu, dapatlah informasi dia seorang tentara. Agak ragu juga sih punya suami seorang tentara, Mama dulu aja buat mandi susah banget. Dalam pikiran Mama tentara itu keras dan disiplinnya tinggi, nggak cocoklah sama Mama.
“Pengennya sih Mama cari cowok lain, tapi keciduk duluan sama kakekmu. Orangtua Mama mah langsung setuju datengin orangtua papamu dan langsung aja tunangan. Gara-gara itulah Mama bete setiap hari dan makin mageran."
Oh ... aku mengerti mengapa mudah mengumpulkan informasi dan data-data orang lain, ternyata bakatku ini turun dari mama yang hobi stalking. Dan kebiasaanku mogok keluar kamar juga didapat dari mama.
“Pas nikah, papamu sering bikin Mama bete. Udah cerita panjang lebar jawabannya malah ‘Hm.’, ‘Oh’, ‘Gitu.’. Mama 'kan gemes jadinya!”
Terbawa suasana, mama menggigit gulingku. Papa juga sering begitu, aku sudah banyak mengoceh sampai mulutku berbusa, jawaban papa sebatas gumaman kecil.
Kadang bikin eneg.
“Untung aja papa kamu cuek dan dingin gitu. Kalau Mama ngelakuin kesalahan paling diliatin doang. Untunglah ya dapat suami cakep baik pula lagi. Makanya nanti kamu harus pinter-pinter cari suami.”
Mengangguk-angguk kecil, aku sedikit mendengkus mendengar cerita mama barusan. “Kok berhenti aja, Ma?” tagihku.
“Udah, tidur aja dulu. Mama susah move on gara-gara cerita barusan, pengen tidur. Kamu juga.”
Mama berdiri dan mengusap rambutku pelan, lalu keluar dari kamar.
“Oyasuminasai, Hime.” Mama tersenyum dan menutup pintu.
Aku tertegun. Hime. Sudah lama aku tak mendengar panggilan itu, terakhir kali papa memanggilku seperti itu saat pamit melaksanakan tugas finalnya.
Mengikuti perkataan mama, aku membereskan buku-bukuku dan ikut berbaring di ranjang. Kuakui papa berwajah tampan, di umurnya yang ke-37 tahun, wajahnya belum ada kerutan sama sekali. Kudengar dulu dari mama, di masa-masa sekolahnya papa terkenal sebagai cold boy dan dikejar-kejar banyak siswi.
Ternyata cerita tentang most wanted itu selalu cold boy adalah sebuah fakta.
Yang lebih mengejutkan, mama dan papa pernah bertemu saat SMP. Bukan di sekolah, mama dan papa bertemu ketika babak final olimpiade sains tingkat kota. Kebetulan papa duduk di depan mama dan sempat meminjam penghapus mama.
Ingatan mama memang hebat. Yah ... sebenarnya papa mudah diingat karena matanya yang heterokromia dan rambutnya yang dua warna. Makanya Om Katsuki memanggilnya setengah-setengah sialan atau bendera berjalan. Well, aku tidak suka Om Katsuki karena panggilannya untuk papa sekasar itu.
Mengenai namaku, awalnya aku dinamai Todoroki Satsuki, mengikuti marga papa. Tetapi, papa tidak menyetujuinya dan mengganti namaku menjadi Momoi Satsuki. Alasannya papa tak mau aku ditemukan kakek dan dipaksa menjadi tentara wanita.
Yap. Orangtua papa sudah lama bercerai dan papa mengikuti ibunya, tetapi masih ada kemungkinan kakek kembali mencari cucunya untuk melanjutkan keturunan tentaranya. Sejak kecil papa diberi latihan fisik yang keras dan dipaksa menjadi tentara.
Papa tidak ingin hal itu terjadi lagi padaku, makanya papa membawa pindah mama ke Julikarta dan tidak memberi marganya ke aku ataupun mama, supaya kakek tidak menemukan kami. Hingga kini nihil kabar kakek terdengar olehku, keberadaannya juga tak jelas.
Momoi diambil dari bahasa Jepang yang artinya merah muda, sesuai dengan warna rambut dan mataku.
Melelahkan sekali harus teringat masa lalu yang indah itu.
Pelan-pelan mataku semakin berat, mudah-mudahan papa mengunjungiku ke alam mimpi.
Bonus Chapter 1 End
Ada yang bisa nebak siapa bapaknya Satsuki?
Oh ya setiap bonus chapter diambil dari sudut pandang Satsuki :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top