Bagian 1
Brak!
Suara gebrakan meja terdengar jelas. Ruangan yang biasa tertata rapi, kini tak lagi berbentuk, kertas berhamburan, barang-barang berserakan di lantai menandakan betapa besar kemarahan yang tengah dilampiaskan empunya.
Matanya menatap nyalang pada benda-benda yang berserak akibat ulahnya sendiri hingga pandangannya berhenti pada sebuah undangan yang ikut tergeletak di lantai. Seketika ingatan Nataya Bagaskara terlempar pada kejadian beberapa tahun silam.
***
"Na, besok aku mau ke rumah kamu."
"Ya ke rumah aja, biasanya kan juga gitu," ucap Reana dengan masih memainkan sedotan dalam gelas.
"Kali ini spesial, aku udah mantap mau ngelamar langsung ke orang tua kamu," tekad Bagas seraya melipat tangannya ke atas meja, menatap lekat sang kekasih yang kini kembali menikmati segelas es lemon kesukaannya.
"Uhuk!"
Reana seketika tersedak saat mendengar Bagas mengutarakan keinginan untuk melamarnya.
"Hati-hati Na, kamu pasti kaget ya?" Bagas nampak khawatir bergegas pindah ke sebelah Reana kemudian menepuk pelan punggung kekasihnya.
"Kamu yakin?" tanya Reana setelah ia bisa menguasai dirinya kembali.
"Yakin donk. Aku sekarang udah yakin banget kalo kamu itu jodoh aku, apalagi aku juga udah punya pekerjaan tetap, makanya aku mau lamar kamu ke rumah, kalo perlu kita tunangan sekalian nanti," ucap Bagas antusias, akan tetapi lelaki itu tak menyadari gelagat Reana yang sedang berusaha mengontrol diri dengan menggigit bibir dalamnya.
"Tapi..." Belum sempat Reana menyelesaikan ucapannya, Bagas kembali berkata, "Kamu tenang aja. Aku udah siapin semua, aku juga udah bilang sama orang tuaku buat ikut ke sana nanti. Kamu percaya kan sama aku?"
Jika apa yang ia dengar dari Bagas barusan, lelaki itu ucapkan setahun yang lalu saat dirinya terus mengajak Bagas untuk menikah saja, mungkin sekarang Reana tak akan sebimbang ini.
"Kok diem? Na?" Lambaian tangan Bagas di depan wajahnya membuat Reana sedikit gugup.
Pada akhirnya Reana hanya mengangguk pasrah, ia tak bisa begitu saja menolak Bagas, apalagi hubungan mereka sudah berjalan cukup lama. Bagas yang ia kenal selama ini adalah pria baik, sejauh ini pula Bagas tak pernah sekalipun menyakitinya apalagi berselingkuh seperti mantan pacarnya terdahulu, tak ada salahnya jika ia menerima lamaran Bagas, sedang urusan lain akan is selesaikan nanti.
Sehari kemudian, Bagas benar-benar menepati ucapannya. Pria itu datang dengan mengajak Bu Yuni serta Pak Bima selaku orang tuanya untuk melamar Rea. Acarapun berlangsung, gayung bersambut ketika orang tua Rea juga memberi restu pada niat Bagas, bahkan malam itu mereka melangsungkan pertunangan meski dengan acara yang sederhana.
Bagas merasa bahagia karena tinggal selangkah lagi mimpinya akan segera terwujud untuk membangun rumah tangga bersama orang yang ia cintai dalam waktu tak sampai enam bulan lagi, ia tak menyadari jika ternyata Rea diam-diam merasa gelisah.
***
"Gas, aku mau kita ambil jeda buat hubungan kita," pinta Reana kala itu.
"Kenapa Na? Tinggal sebentar lagi kita akan menikah tapi kamu malah minta jeda buat hubungan kita. Maaf kalau akhir-akhir ini aku sibuk, tapi ini semua aku lakuin demi kita nantinya." Bagas mengira, kesibukannya akhir-akhir inilah yang membuat Reana merasa tersisihkan hingga meminta jeda.
"Makanya itu, aku mau kita konsen sama semua kerjaan kita lebih dulu. Aku nggak pengen karena kesibukan malah bikin kita ribut. Jadi lebih baik kita fokus sama kerjaan kita masing-masing dulu. Aku minta ini juga demi kita, kamu mau kan?" Genggaman tangan Reana membuat Bagas berfokus di sana, dengan logika yang mulai menimbang apa yang Reana katakan.
Hingga setelah beberapa lama Bagas terdiam, pada akhirnya terdengar helaan napas dari pria itu disertai anggukan meski terlihat berat.
"Baiklah kalo emang ini demi kebaikan kita, tapi satu bulan aja ya Na? Kita fokus selesaiin kerjaan kita, habis itu kita konsen sama sisa persiapan pernikahan kita," tegas Bagas diakhir ucapannya.
Bukan hal yang mudah ketika Bagas memutuskan hal itu, namun benar juga apa yang dikatakan Reana. Beberapa hari mereka bersitegang, hal kecil memicu perbedaan pendapat diantara keduanya. Jika situasi ini berlangsung semakin lama, ia khawatir jika hubungan mereka tidak akan baik-baik saja.
Sebulan berlalu, awalnya semua masih seperti biasa, hingga di bulan kedua Reana menunjukkan kejanggalan dengan semakin sulit dihubungi bahkan seperti menghilang dengan alasan tempatnya bekerja sedang merencanakan untuk membuka kantor cabang yang mengharuskannya sebagai sekretaris menemani atasannya lebih sering ke luar kota meninjau lokasi dan pekerjaan.
Bagas masih berusaha memaklumi dan menenangkan hatinya, hingga sebuah kejutan datang di meja kerjanya. Seorang OB beberapa menit lalu mengantarkan undangan dengan nama Reana yang tertulis jelas di sana beserta sebuah kotak cincin yang sangat Bagas kenali. Pria itu semakin mengeratkan rahangnya saat bukan namanya yang menyertai melainkan nama pria yang ia ketahui sebagai atasan dari wanita yang entah masih bisakah disebut sebagai tunangannya.
Reana menikah, tapi bukan dengannya. Nyatanya wanita yang ia cintai malah menghianatinya meski waktu yang mereka habiskan untuk menjalin hubungan berlangsung cukup lama. Bagas yang telah menyerahkan sepenuh hatinya pada Reana serta selalu berusaha membuat gadis itu bahagia, harus merasakan sakitnya terhempas dari angan bahagia yang ia lambungkan. Reana pergi meninggalkannya, begitu pula dengan hati yang mulai beku sejak saat itu.
***
"Ya Ampun, Mas Bagas?"
Tantri yang tiba-tiba masuk ruangan Bagas tertegun melihat betapa kacaunya isi ruangan tersebut.
"Kenapa?" Bagas menghiraukan reaksi Tantri dan memilih menghampiri istri sang sahabat.
"Lebih baik ke ruanganku saja. Kita bicara di sana." Tantri berbalik meninggalkan Bagas yang segera mengekor padanya.
Suasana hening sejenak meliputi keduanya, hingga tak lama kemudian ketukan pintu terdengar mencuri perhatian keduanya.
"Masuk," perintah Tantri.
Dari balik pintu muncul seorang gadis dengan balutan baju kasual tersenyum kepada mereka.
"Maaf lama, Mbak. Tadi ketemu dosen pembimbing buat bikin surat penelitian," kata gadis itu seraya mendudukkan diri tepat di samping Bagas meski masih ada satu sofa kosong di samping Tantri.
"Bisa duduk di sana?" tanya Bagas sedikit terusik dengan kehadiran gadis yang duduk di sebelahnya.
"Suka-suka donk mau duduk dimana." Gadis itu hanya menatap sekilas pada Bagas kemudian kembali fokus pada Tantri.
"Udah, kita mulai aja. Jadi gini, aku minta Mas Bagas ke sini karena mau minta tolong buat bimbing Nisa selama dia melakukan penelitian untuk tugas akhirnya sekalian belajar soal manajemen di kantor kita. Mas bisa kan?" jelas Tantri.
"Aku?" Bagas memastikan jika dirinya tak salah dengar.
"Iyalah, siapa lagi? yang di sini tuh selain aku sama Mbak Tantri kan cuma Mas Bagas," sela Nisa.
"Diem, anak kecil." Bagas mendelik.
"Pasti ribut," keluh Tantri.
"Lagian kenapa enggak neliti di kantor bapaknya sendiri sih, nyusahin orang aja," gerutu Bagas.
"Kalo di kantor papa, ntar disangkanya aku nerima jadi. Makanya aku ke sini," balas Nisa.
"Jadi, mulai besok Mas Bagas tolong bantu Nisa ya. Selama dia di sini, dia akan satu ruangan sama Mas Bagas. Aku harap kalian bisa kerjasama dengan baik. Oh ya Nisa, kalo ada apa-apa yang enggak kamu paham tanya aja ke Mas Bagas. Semoga sukses tugas akhirnya." Tantri melihat bergantian pada dua orang yang duduk di hadapannya, terlihat Nisa menganggukkan kepalanya sementara Bagas entah apa yang pria itu pikirkan sekarang.
"Senang bisa bekerjasama dengan Mas," ucap Nisa seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Tak ada balasan apa pun dari Bagas, pria itu justru memilih berdiri dan meninggalkan keduanya. Memang sejak bertemu pertama kali, Bagas tak pernah sedikitpun bersikap ramah pada Nisa, namun hal itulah yang membuat Nisa semakin penasaran tentang sosok pria itu.
...
Hai hai.. Akhirnya bisa up juga. Gimana? Garing ya? Dilanjut jangan nih jadinya? Jangan aja ya? 😁😁😁😁
Nunggu ada yang komen dulu lah.
Colek InemLengloi yang dari kemarin merasa terpehapeh. 😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top