31| Wanita Masa Lalu
Ayo klik bintang dan komennya ;)
***
Adnan memiliki jadwal konsultasi dengan Soedarmo hari ini.
Lelaki tua itu tidak datang sendiri. Melainkan ditemani cucu yang Soedarmo gandang-gandang akan ia jadikan calon ahli waris tunggal.
Dari cara Soedarmo bertutur di depannya, membanggakan satu-satunya cucu yang ia punya, bahkan merinci segudang prestasi yang diraih Sharon, Adnan bisa melihat sepenting apa Sharon untuk hidup lelaki ini.
Kadang pula Adnan berpikir, apa jadinya jika dulu Soedarmo tahu Adnan jadi satu-satunya tempat cucu kesayangannya itu bergantung. Begitu tertutupnya hubungan Adnan dan Sharon sampai Soedarmo pun tak pernah tahu.
"Seminggu kemarin Bapak ngerasa apa?" tanya Adnan, sembari membuka catatan medis Soedarmo. Ia ingin memastikan apakah ada gejala baru yang harus diperhatikan.
Soedarmo menghela napas sejenak, tampak enggan tapi akhirnya jujur. "Kadang kepala rasanya berat di bagian kanan sini, Nan," katanya sambil menunjuk pelipisnya. "Terus, beberapa kali kayak bingung mau ngomong apa. Padahal udah di ujung lidah, tapi nggak keluar. Sekali waktu itu, sempat juga tangan kanan kayak nggak mau nurut pas ngambil gelas. Cuma sebentar, sih, habis itu normal lagi."
Adnan mengangguk paham, lanjut memperlihatkan hasil MRI kepada Soedarmo dan menyesuaikan duduknya sebelum mulai menjelaskan, "Gejala yang barusan Bapak sebutin memang ada hubungannya sama lokasi glioma di lobus frontal kanan. Tumor di area ini bisa mempengaruhi fungsi motorik ringan di sisi tubuh berlawanan. Terutama, area ini terlibat dalam kemampuan berpikir dan bicara. Jadi kalau nanti Bapak merasa bingung atau sulit mengingat kata, itu bisa jadi karena jaringan di sekitar tumor mulai tertekan."
Soedarmo agak termangu, mencerna pelan-pelan apa yang Adnan tuturkan. Lima tahu bergelut dengan glioma membuat Soedarmo dengan mudah mengenali istilah-istilah medis dan juga anatomi kepala. "Berarti ini udah makin parah, ya, Nan? Apa tanda-tanda saya udah harus siapin wasiat?" Soedarmo tertawa ditimpali kekehan pelan Adnan.
Adnan menggeleng pelan, menenangkan. "Nggak separah itu, Pak. Gejala yang Bapak rasain belum nunjukkin perubahan signifikan terhadap ukuran tumor. Hasil MRI terbaru cukup stabil, nggak ada edema atau pembengkakan, perfusi darah juga masih cukup baik. Sekalian saya infokan juga, glioma Anda punya sedikit perubahan dibandingkan hasil sebelumnya," kata Adnan sambil menunjuk area lingkaran pada hasil scan. "Pertumbuhannya termasuk relatif lambat. Tapi ada sedikit peningkatan ukuran di sini," ujar Adnan, menunjuk bagian depan otak yang terlihat sedikit lebih terang di hasil pencitraan. "Di area prefrontal cortex. Dari sekitar dua setengah senti jadi empat senti. Tapi sejauh ini, saya belum lihat ada tanda-tanda transformasi ke high-grade glioma."
Sepanjang Adnan menjelaskan, Soedarmo dengan tenang mendengarkan.
Selanjutnya Adnan mengambil pen pointer, menunjuk area abu-abu yang terlihat lebih padat di hasil scan. "Ini lokasi utama tumornya, di lobus frontal kanan. Syukur, belum ada tanda keterlibatan struktur penting atau penyebaran ke sisi otak lain."
Ia kemudian menyoroti bagian tepi tumor. "Di sini juga, Bapak bisa lihat, nggak ada contrast enhancement yang berarti mengindikasikan kalau tumornya masih cukup stabil dan belum terlalu agresif."
Setelah semua kondisi Soedarmo rampung Adnan utarakan, lelaki itu menutup penjelasannya dengan nada lebih lembut, "Secara keseluruhan, glioma Bapak masih bisa dikendalikan. Bisa dibantu terapi buat nahan laju pertumbuhan penyakitnya. Tapi tetap harus dipantau buat memastikan nggak ada tanda-tanda progresi lebih lanjut."
"Jadi sekarang saya harus ngapain?" tanya Soedarmo dengan nada serius. "Saya nggak mau operasi lagi. Capek saya dioperasi terus."
Adnan tersenyum mengangguk sembari membuka catatan medis di meja. "Yang paling penting sekarang Bapak rutin kontrol, rutin terapi sesuai jadwal. Jaga pola hidup, tidur cukup, makan makanan bergizi, hindari stres. Kalau Bapak mulai ngerasa nggak enak atau ada sesuatu yang Bapak rasa aneh, langsung kabari saya," jelas Adnan, suaranya tegas tapi tetap menenangkan.
Soedarmo mengangguk pelan. "Okedeh. Hari ini sudah selesai berarti kita ya?"
Adnan mengangguk. "Nggak ada obat tambahan. Bapak habiskan saja dulu obat yang saya resepkan minggu lalu."
Soedarmo mengangguk melihat Adnan yang sedang mencatat keterangannya dalam lembar anamnesis.
"Sekalian deh, Nan. Mumpung ketemu, saya mau ngobrolin cucu. Umur nggak ada tau, mana tau besok saya sudah nggak ada," ucapnya. "Takutnya saya nggak punya umur panjang. Jadi mulai dari sekarang sudah harus urus semua buat cucu saya, Sharon."
Adnan menatap Soedarmo dengan pandangan sulit diartikan saat pria tua itu menyebut nama Sharon. Meski ekspresinya tetap stabil, percikan ketegangan tak bisa sepenuhnya disembunyikan dari balik matanya.
"Apalagi sekarang kan orang di depan saya ini sebentar lagi pegang rumah sakit, jadi lebih mudah saya sampaikan langsung maksud dan tujuannya."
Adnan tidak banyak memberikan ekspresi. Namun sepenuhnya perhatian ini tumpah untuk Soedarmo.
Soedarmo terdiam sesaat lalu melanjutkan, "Kamu kan tau, saya pernah cerita, Sharon udah sama saya dari kecil. Satu-satunya keluarga yang saya punya sekarang itu Sharon." Soedarmo ungkit kembali apa yang dulu pernah diceritakannya: orang tua wanita itu bercerai, masing-masing memiliki keluarga baru, Soedarmo sendiri sudah lama menghapus putra semata wayangnya sebagai ahli waris lantaran pernah bermain curang akan kesekapan bisnis mereka. Maka bisa Adnan pamahi seberapa besar ikatan cinta yang terbentuk antara kakek dan cucunya itu.
"Sharon itu anak pintar, Nan. Dia cuma punya saya dan anaknya, saya juga begitu. Andai kata saya bisa kasih dunia, akan saya kasih untuk Sharon. Dan kalau sudah waktunya dia ambil alih MedTech, saya yakin dia bisa. Tapi saya juga tau, Sharon itu keras kepala. Kadang dia butuh orang yang bisa jadi lawan sekaligus pendukung. Dan kamu... kamu yang paling saya percaya untuk itu."
Adnan menarik napas panjang, membiarkan pernyataan itu menggantung di udara. Bukan pertama kalinya Soedarmo memuji Sharon di hadapannya, tapi kali ini terasa lebih sesak, lebih personal. Apalagi setelah pertemuan terakhir mereka kemarin yang cukup menggolak perasaannya.
"Bapak nggak perlu khawatir soal kerja sama MedTech dan Dharma," ujar Adnan akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. "Saya yakin, Sharon punya kemampuan bawa MedTech lebih jauh, dan saya juga yakin dia tahu yang terbaik."
Soedarmo tertawa kecil, menggeleng pelan. "Kamu terlalu formal kalau bicara terkait cucu saya, Nan. Ada apa? Saya lihat kalian dulu dekat, kan?"
Adnan terdiam sejenak, tangannya tanpa sadar terkepal di sisi map. Dekat? Kata itu terasa seperti ejekan saat mengingat masa lalu mereka. Hubungan penuh gairah, sembunyi-sembunyi, dan berakhir dengan Sharon memilih meninggalkannya demi mencoba memperbaiki rumah tangga yang katanya sebagai penebus dosa. Tapi sekarang, dia tahu Sharon salah besar, meski itu sudah terlambat untuk diperbaiki.
Statusnya kini seorang suami. Dan meskin Sharon tidak lagi terikat pernikahan sebelumnya, tetap saja kehadiran wanita itu membawa luka tak kasat mata, menumbuhkan lagi kenangan-kenangan yang Adnan pikir telah mati seutuhnya. Namun, harapan itu tetap ada, bersemayam di sudut hatinya yang paling dalam.
"Tapi saya tahu kamu sekarang sudah punya istri. Hidup itu kan bergerak maju, Nan. Saya nggak pernah bilang kalian harus bersama. Saya cuma mau, kalau nanti giliran Sharon yang pegang MedTech, hubungan baik keluarga kita tetap terjaga. Itu saja."
Soedarmo tertawa ringkas. Sedangkan Adnan hanya meng-angguk, membiarkan percakapan berakhir. Namun, pikirannya kini sudah melandas di tempat lain, diikuti bayangan seorang wanita yang pernah ia cintai, dan mungkin masih ia harapkan.
Sharon Katandira Wiradi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top