30| Jejak Manis

Jangan lupa klik bintang & komen ;)

***

Siapa sangka Adnan kembali berbaik hati menjadi supirnya. Ini kali ketiga setelah lelaki itu menyetir untuknya setelah kemarin malam dan saat mereka ada di Yogyakarta menuju bandara Adisutjipto.

Mobil Adnan didominasi aroma ringan linen yang baru selesai dicuci: bersih, segar, namun juga ringan. Ciptakan perasaan menenangkan dan nyaman. Persis seperti wangi pemiliknya. Itulah mengapa, Inka mulai terbiasa dan ingin terus menikmati aroma ini.

Omong-omong terkait mobil, jika Adnan memilih membelikannya mobil baru, maka Inka lebih setuju Adnan menjadi supir. Pun, pembahasan perceraian yang beberapa waktu lalu mereka peributkan di meja makan dengan cepat terlupakan.

Nyatanya, hanya dengan ditawari tumpangan, Inka sudah lupa akan kemarahannya. Betapa ia suka duduk sebagai penumpang Adnan Akhtar.

"By the way, aku nggak masalah sama omongan Mas Adnan yang sebut aku cuma numpang. Udah bukan masalah buatku. After all, I deserve all the best tiramisu cakes in town instead of dealing with a husband whose words are pure trash," katanya enteng. "So yeah, no worries, aku akan mulai urus surat cerainya supaya uang 30 miliarku cepet cair. I'll summarize all your wrongdoings, so it gets approved quickly."

Ketika itu, ponsel Inka berdering nyaring. Ia keluarkan ponselnya dan melihat nama Ibu di sana. Inka menarik napas pelan, lantas menekan sembarang area layar.

Beberapa detik berhenti, Ibu sudah kembali menghubunginya lagi. Dengan separuh hati ia tempelkan ponselnya ke telinga yang jaraknya jauh dari Adnan. Bermaksud agar lelaki itu tak bisa dengar.

"Mana? Sudah mau dua minggu nikah tapi suamimu nggak ada omongan sama Ibu."

Inka berdeham. "Waalaikumsalam, Ibu," balas Inka lemah lembut. Sepintas ia telisik sosok Adnan dengan tatap meruncing ke samping. Lelaki itu masih terus memperhatikan jalan. "Inka sama Mas Adnan baik-baik aja di sini. Ibu gimana? Kalau Mas Adnan luang, kami sempatkan main ke sana, ya."

"Apa kamu ini? Lagi bicara apa kamu?"

"Iya, Bu. Kalau sekarang, Mas Adnan belum bisa. Kerjaanya di rumah sakit masih padet."

"Kamu ini bicara apa, Inka? Baca lagi pesan Ibu kapan hari itu. Bilang suamimu Ibu sudah beli tanah untuk bangun pondok makan. Mau Ibu dirikan restoran. Coba suami bujuk suruh tanam modal."

Inka tertawa kalem. "Iya, makasih ya, Bu, doa baiknya. Semoga aku dan Mas Adnan cepet punya momongan. Sudah sampai sini dulu ya, Bu. Nanti Inka telepon lagi." Tanpa basa-basi lebih lanjut, Inka akhiri sambungan mereka kemudian menatap Adnan yang masih fokus membelah jalan.

Satu jepretan terdengar manakala Inka mengarahkan ponsel, membidik figur wajah si suaminya dari sisi kiri. "Suami ganteng ih," pujinya bicara sendiri.

"Hapus."

"Nggak ah. Buat koleksi. Mau dimasukkin ke album 'si grumpy'." Inka menaikkan kembali ponselnya. Memotret lagi wajah Adnan dari sisi samping, bahkan tak tanggung-tanggung dari bagian depan.

"Sasinka."

"Cuma minta tiga. Rewel banget deh." Jarinya menggilir tiga foto terbaru. Senyumnya meluas. "Muka kamu ganteng banget pagi ini. Tampilan pria matengnya dapet banget. Soalnya kalo ikhlas nganterin istri, gantengnya jadi makin-makin." Lalu menonaktifkan ponselnya untuk menghindari gangguan telepon Ibu.

"Hapus, Sasinka."

Bola mata Inka bergulir ke sudut, melirik Adnan jengkel. "Apa sih Mas Adnan ini, sok eksklusif banget sama istri sendiri." Tak lama hidungnya bergerak-gerak mengerut, mengendus sesuatu di sekitar mereka. "Wangi banget sih ini. Kamu pakai parfum apa, Mas?"

Lengang.

"Ohh, ternyata scent of suami on duty. Pantes wanginya sampe nyegrak."

"Kamu sering ngelawan saya, by the way." Adnan kembali menyentuh topik awal. "Saya minta hapus, nggak didenger."

"Didenger kok, Suami."

"Buktinya tadi kamu nggak nurut sama saya, Sasinka."

"Nurut, kok. Aslinya aku mau manut. Asal bilangnya baik-baik. Dipuji dulu istrinya, diminta yang sopan. Pake magic word: Tolong. Pakai kata "To-long". Use cold tone. Nggak usah cang cing cong kebanyakan ngomel." Inka mengunci ponsel dan membuangnya ke tas secara asal. "Nih, asal Mas Dokter tau ya, suara Mas Dok itu, aduh, bahaya banget deh. Jadi dimohon jangan pake nada intimidate kalau ngomong. Tau nggak kenapa?" Adnan tidak menjawab dan memang tidak ingin menyahut. "Suara velvety-rich punya Mas Dok itu udah keterlaluan. Bikin nagih. Bawaannya mau bobo bareng. Tapi sambil nggak pake baju." Ya, tidak apa-apa menjalang sama suami sendiri. Halal. "Tapi jangan ya, Mas, telanjang-telanjang tau-tau ada titanoboa masuk selimut."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Nggak tau. Seneng aja ngomong ngalor-ngidul sama Mas Adnan."

"Omonganmu nggak jelas. Kosong semua isinya."

"Aku mode berbobot di kantor aja deh. Sama suami beda lagi..." Suara Inka terdengar mengayun manja pada ujung kalimat, bersama jemari lentiknya menyusuri mulusnya paha Adnan yang tertutup celana bahan cokelat. "Mau jadi mode istri minta dibelai, bobotnya ditanggung pas lagi woman on top aja."

Adnan menoleh dengan cukup terkejut.

Tawa kecil inka lompat seperti bisikan ringan mendapat reaksi itu. "Liat ke jalan, Mas. Nyetir yang bener. Heran. Kagetan mulu sejak nikah. Digodain dikit, kaget. Diprovokasi secuil, tantrumnya ngalahin toddler."

Adnan tidak menyahut tapi terdengar bunyi napas frustrasi yang berembus.

"Mas. pulangnya makan di luar yuk. I want to eat something, deh."

Jelas, Adnan masih belum sudi menjawab atau sekadar bertanya.

"Nama makanannya dari A. Adnan Akhtar," racau Inka panjang. "Mau banget makan kamu deh. Pengen dirajam lagi di ranjang kayak kemarin." Inka menggigit bibir bawahnya sensual. "Eh ya ampun, udah kayak pasutri beneran aja minta-minta digagahi. Tapi kan di pasal boleh minta, ya? Nanti malem yuk. Lagi pengen kelahi sama titanoboa."

"Kamu masih mau ngoceh atau saya turunin di trotoar?"

"Ih! Enak aja mau turunin istri se-gorgeous ini sembarangan."

"Makanya diem sebelum saya lepas ke jalan."

"Memangnya aku apaan dilepasin ke jalan?"

"Diam atau saya turunin."

"Berani turunin, I'll make you go viral. Abis itu posting di X biar rame. Terus muka kamu—"

"Stop ngoceh begitu, Sasinka. Pusing saya dengerin isi dari mulut nggak bermutu kamu."

"Taste it then. Taste it again. Supaya inget mutu mulut istrinya yang kemarin malem nggak dikasih jeda napas."

Perdebatan terhenti kala Adnan naik pitam dan mendadak menghentikan laju mobil di bahu jalan. "Selesain dulu ngomongnya."

Seketika Inka terdiam, menunduk tak berani menatap suaminya. "Udahan. Maaf." Ia oper tatap pada Adnan melalui lirikan mata.

"No. Selesain. Saya tunggu."

"Udah, Mas Dok. Udah diem istrinya," katanya mencicit. "Gitu aja kok marah. Udah, ayo jalan."

"Nggak. Selesain dulu kamu bicara."

"Nanti telat."

"Masih mau ngomong?"

"Nggak."

Di mobil, napas Adnan berbunyi naik dan turun terlalu keras. Tanda pria itu sudah menahan tanggul kesabaran yang akhirnya jebol juga.

Agak lama menunggu dan tidak ada tanda-tanda Inka bicara, lelaki itu segera memeriksa spion, pastikan tidak ada kendaraan lain di belakang mobilnya. Setelah itu barulah menurunkan tuas persneling dan melajukan mobil kembali.

"Istrinya mau dicium nanti sebelum turun."

"Nggak. Nggak perlu."

"Takut sange, ya?"

Adnan diam. Enggan menggubris.

"Dok."

"Diam."

"Hari ini belum dapet vitamin C dan A. Ciuman dari Adnan."

"Sekali lagi ngoceh, saya buang keluar mobil sungguhan."

"Minta cium suami aja kok susah."

"Nggak. Saya nggak mau cium kamu. Langsung turun dari mobil. Pening saya denger kamu banyak mulut."

"Mulut istrinya cuma satu, buat ciuman." Namun seketika Inka melipat bibir dan memalingkan wajah ke jendela saat mendapat serangan tatap dari pria di balik kemudi. "Iya, iya. Diem."

Tetapi belum satu menit mengunci bibir, Inka kembali meracau, "Nggak mau cium pasti takut, kan? Takut si titanoboa minta lepas dari penangkaran sekarang." Tatapan Inka mengayun ke bagian di antara dua kaki Adnan yang terbuka. "Itu... yang itu takut kebelet, kan?" Dengan kecepatan kilat jarinya mencolek bagian yang tersembunyi di balik ritsleting Adnan.

Pemiliknya dengan cepat menepis keras tangan gemulai yang secara tiba-tiba mencolek tepat di bagian tengah celana. "Kurang ajar kamu lama-lama"

"Alah. Kurang ajar, kurang ajar, nanti juga nagih." Cukup, Inka, cukup. Jangan binal sama suami sandiwara ini. Khawatirnya semakin terlena dan lupa kalau ini peran punya masa kadaluwarsa. "Sama suami masa nggak boleh raba-raba."

Berhenti menggubris, Adnan biarkan Inka berceletuk apa pun yang wanita itu mau sampai ia menghentikan mobil area yang agak jauh dari pintu kantor.

"Majuan," protes Inka menunjuk persis pintu lobi di mana ada satpam berdiri. "Kayak Gojek aja nurunin di sini. Driver Gocar ya kamu?"

"Turun."

"Nggak. Maunya sampe depan. Kalo bisa anter sampe ruangan. Kalo parkir di sini nggak bisa pamerin si Rahmat ke orang kantor."

Adnan mengerutkan kening mengutip nama yang terselip dari kalimat Inka.

"Si Rahmat," Inka menerangkan, "Mercedes kalau diterjemahkan dari bahasa Spanyol jadinya Rahmat. Nama mobil kamu sekarang pake Rahmat aja. Biar ada unsur komedi, nggak suram banget hidupmu. Maju lagi, Mas, buru. Telat meeting nanti istrinya."

"Nggak. Turun di sini."

"Yaudah, cium dulu istrinya." Inka menodongkan wajahnya sendiri ke depan wajah Adnan.

"Sasinka. Turun."

Inka berdecak mengalah. Namun sebelum keluar dari mobil, ia benar-benar memaksa ciuman dari Adnan. Merampas pipi Adnan untuk menghadapnya dan menempelkan ciuman kilat di pipi pria itu. Tidak lupa juga menyambar cepat tangan Adnan. "Salim," katanya, dengan memberi cap merah bibir di punggung tangan pria itu.

"Dah. Istrinya kerja dulu. Pas pulang kita lepasin sama-sama ular titanoboa kamu ke habitatnya. Kesian, udah engap kayaknya disangkar."

Giliran Adnan yang berdecak selepas Inka pergi. Ia tatap jejak lipstik di punggung tangannya, lalu membesutnya dengan saputangan sampai benar-benar hilang. Sesaat, Adnan amati punggung istrinya yang bergerak melewati pintu geser otomatis.

Ia mendengarnya.

Barusan Adnan mendengar semua apa yang dikatakan ibu mertuanya kepada Inka. Tapi apa peduli Adnan.

Sejenak ia pijat tulang pelipisnya yang terasa ngilu sepagian ini dan beranjak menuju rumah sakit.

Satu sambutan meriah datang dari Aryo saat kakinya melintas di salah satu koridor saat berpapasan. "Tau dah yang udah nikah mah beda, Dok. Lagi anget-angetnye ye. Tapi jangan keterlaluan juga lah. Masa cap bibir istri kebawa sampe rumah sakit. Malu diliatin."

Langsung mengerti, dua jari Adnan membesut bagian tulang pipi yang tadi disinggahi kecup. Benar saja, tanda merah menyala tertinggal di jarinya. Yang bisa ia lakukan selanjutnya hanya mendesau muram sebelum berbelok ke toilet.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top