28| Suami On Duty

Jangan lupa komen dan klik bintang, guys ;)

***

"SELAIN makanan Jepang, Adnan suka apa lagi, Om?" Inka sempat katakan "Terima kasih" kepada pelayan ketika bungkusan makanannya sudah ia pegang.

"Saya nggak tau banyak. Tapi diajak makan omakase aja dia udah seneng."

"Ah, tapi tadi pagi digorengin telor ceplok juga dimakan."

"Masa?"

"Beneran, Om." Inka mengangguk. Jalan beriringan menuju pintu keluar restoran.

Saking kagetnya dengar itu, Parma sampai berhenti melangkah. Menatap Inka skeptis. "Ah, yang bener kamu. Orang saya inget belum lama terakhir dia bilang ke saya nggak bisa sarapan kecuali minum kopi."

"Ih si Om nggak percaya. Itu juga kalo nggak dipaksa nggak bakal mau. Gengsi aja dia sama aku."

Parma terkekeh tanpa suara. "Hebat juga kamu."

Mereka kembali melangkah ringan, masih tersenyum karena obrolan tentang Adnan yang cukup lucu dibahas. Tapi sebelum langkah mereka mencapai pintu keluar restoran, langkah Inka tiba-tiba terhenti.

Matanya tertuju pada salah satu meja di sudut restoran, tidak jauh dari pintu masuk. Ada sosok yang mirip dengan Adnan. Inka mengenali cara Adnan duduk, bahkan dari jarak yang cukup jauh. Dan tentunya bagian belakang kepala yang rasanya selalu ingin ia sepak terjang kalau mulai bicara kasar.

Namun di depannya, duduk seorang wanita yang tampaknya sedang terlibat percakapan serius. Inka berhenti sejenak, matanya terfokus pada mereka berdua. Rasa familier muncul, tetapi ia tak bisa mengenali wajah wanita itu.

Wajahnya tak asing. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Dan, Ah! Sekarang ia ingat. Birkin oren di lantai. Ibu muda dengan anak perempuannya yang membawa donat.

"Om, bentar, deh. Tunggu bentar," katanya sambil melangkah cepat mendekati meja Adnan.

Semua keraguan dan rasa penasaran berputar di benak.

Awas ya, Adnan Akhtar. Enak aja dinner berduaan sama perempuan nggak bilang istri.

Padahal situ yang ngomong nggak boleh open relationship.

Pulang ke rumah ia hajar sungguhan Adnan Akhtar itu.

"Oh—hai, ya ampun ternyata ini beneran ya suami aku. Sampai kaget tadi aku lihatnya kok mirip. Aduh, aduh, siapa ini?" ujar Inka, berusaha terdengar santai dan ceria meski dalam hatinya muncul perasaan berseberangan.

"Temen lama saya." Adnan lekas menyahut.

Di antara mereka ada Sharon yang menatapnya bingung, masih mencerna keadaan.

"Udah janjian atau..."

"Nggak sengaja ketemu." Adnan kembali menjawab. Seakan-akan pria itu tidak memberi celah agar Sharon bicara.

"Ketemunya di sini?" Inka masih mengorek.

"Ya." Adnan baru saja berbohong yang entah apa tujuannya.

Sulit dipercaya. Untuk apa dia berbohong? Mengapa tidak katakan yang sebetulnya kalau pertemuan dengan Sharon memang direncanakan?

Jika berpikir dia lakukan ini untuk menjaga perasaan istrinya, tentu bukan. Adnan yakin bukan karena itu. Alasan paling masuk akal karena ada ketentuan dalam surat perjanjian yang harus ia patuhi.

"Halo." Inka mengulurkan tangan ke arah Sharon cuma-cuma, yang langsung mendapat sambutan hangat. "Sasinka."

"Sharon."

"Oh, nama depan kita sama," kata Inka mencoba meredam suasana tegang. "Omong-omong mau ditinggal lagi berdua atau gimana?"

"Saya mau pulang sekarang." Adnan meraih ponselnya dari meja seraya bangkit dari kursi dan sapa Parma yang sudah berada di antara ketiganya. "Om."

"Kebetulan kita ketemu, nih. Istrimu saya serahkan ke kamu, ya. Mobil dia bilang kan rusak. Tadi juga ke sini saya yang jemput."

Adnan mengangguk. Menatap sekilas wajah istrinya yang dibalur ekspresi ceria.

"Yasudah, kalau gitu, Om balik sekarang, ya." Parma menepuk pundak Inka dengan sayang. "Ayo, Nan. Ka, saya balik duluan, ya."

"Iya, Om. Makasih ya hari ini. Om hati-hati di jalan."

Berselang kepergian Parma, Inka angkat tinggi-tinggi satu tangannya menunjukkan kantong kemasan restoran. "Aku beliin kamu makan malem," lapornya dengan senyum lebar. Lantas alihkan pandangan ke meja, menyisir piring-piring yang masih lengkap dengan hidangan. "Tapi kamu mau makan, ya?"

"Belum. Saya belum makan apa-apa." Adnan menarik napas panjang dan melepaskannya singkat. "Ayo pulang."

"Eh, masa langsung pulang. Pamit dulu sama temen lama kamu dong, Mas." Kemudian Inka tersenyum senatural mungkin kepada Sharon. Tangannya sendiri ia loloskan diapitan lengan Adnan. "Maafin suami saya ya, Mbak, dia memang agak ketus orangnya."

Sharon hanya membalasnya dengan senyum tipis. Agak geli sekaligus lucu. Tanpa diberitahu, ia lebih dulu mengenal orang seperti apa Adnan Akhtar.

"Nanti Mbak Sharon baliknya gimana? Bawa mobil?"

Sharon mengangguk halus.

"Beneran nggak masalah ditinggal?"

"No."

"Oke deh. Kalau gitu kami pamit ya, Mbak. Malam."

***

Kemarahan itu masih menggelegak di dada, bagai arus deras yang menghantam tebing, ciptakan gemuruh tak kunjung reda.

Adnan sempat sesali kedatangannya ke tempat ini, serta merta menggulung segala logika, bahkan sampai menyeret ketenangan yang sempat ia genggam. Hingga kini, gelombang resah itu kian membesar dan semakin liar.

Kalau bukan Sasinka, ia pasti sudah menikahi wanita itu.

Kedua tangannya mencengkeram erat setir, seolah melampiaskan emosi pada benda mati. Ia tak langsung menyalakan mesin. Masih mematung di lahan parkir. Pandangannya kosong menatap ke depan, seakan lupa kalau di sebelahnya ada Inka yang sejak tadi memperhatikannya dengan seksama.

"Ngeliat ekspresi kamu sekarang... aku yakin, kayaknya dia bukan cuma temen lama ya, Mas." Suara Inka menepis hening.

Adnan tak segera menjawab. Kepalanya berpaling ke samping, menatap Inka yang sudah meluruskan pandangan ke depan.

"Padahal nggak masalah if you want to admit she's important. Aku sama sekali nggak keberatan kalau kamu bilang dia orang penting dalam hidup kamu." Kemudian Inka berbalik menatap Adnan lamat-lamat. "Bukan tanpa sebab aku bisa bicara gini. Walau belum lama kenal kamu, tapi aku udah bisa kenalin banyak arti raut wajah kamu. Dan kamu mau tau nggak, sekarang tampang kamu kayak gimana?"

Cengkeraman tangan Adnan semakin kuat, buku-buku jarinya memutih. Hanya helaan napas berat terdengar dari bibir, namun tidak ada kata-kata.

Sementara itu, tatapan Inka tetap tertuju pada suaminya. "Kamu nggak pernah tunjukkin emosi itu di depan aku. Waktu kita hampir ngelakuin di Jogja, di kantorku, di rumah sakit, bahkan hari-hari setelah kita menikah, sekesel apa pun kamu sama aku, aku nggak pernah lihat ekspresi semacam itu di muka kamu."

Sunyi. Keduanya kembali menyoroti pelataran restoran.

Kemudian Inka mengangkat pundak ringkas. "Whatever happened back there, it's written all over your face," tambahnya.

"Kamu sok tau," pungkas Adnan.

Inka menoleh dengan senyum terkembang. "Yeah? Do I? Emang nggak boleh aku sok tau ke suamiku sendiri?"

"Enough. Kita pulang."

"Enggak." Inka menahan lengan Adnan ketika pria itu nyaris menekan tombol laju di dekat kemudi. "I'm not letting you drive while you're still mad."

"Saya nggak marah."

"Iya, kamu marah. Admit it."

Adnan sedikit membuang arah pandangnya ke samping sekaligus mendesahkan napas geli. "Jangan sok tau sama hidup saya, Sasinka."

"Oh, you think so? Kalau gitu besok aku boleh, ya, pergi sama rekan cowok di kantorku? Kerja disambung dinner."

Adnan langsung menoleh, sorot matanya tajam, penuh ketidaksukaan. Rahangnya mengencang, namun yang ia pilih hanyalah diam.

Sementara Inka tersenyum tipis, lumayan puas melihat reaksi lelaki itu. "Sama aja, kan? Kamu ketemu temen perempuanmu. Aku ketemu temen laki-lakiku. You're not mine, and I'm not yours. Of course, we don't claim each other like property. Kita mainnya fair-fair-an, Mas."

Adnan mematung. Matanya menatap Inka tajam. Hatinya bergejolak marah. Beberapa detik berlalu tanpa kata, sementara Inka menunggu, tidak gentar dengan tatapan menghunus Adnan. "You don't know what you're talking about, Sasinka."

Inka mengangkat alis santai. "Oh, I think I do. I'm just giving you a taste of your own medicine, Mas Dok."

Ada ketegangan yang terasa menekan di antara mereka.

"Oh, jadi kamu udah mulai berani kontrol saya?"

"I never tried to control you, Mas, ya ampun." Inka tertawa kecil. "Kan udah sering aku bilang, aku siapa sih bisa kontrol The Almighty Adnan Akhtar. Tapi oke deh, izinkan istrinya kasih tau sesuatu kali ini." Inka menarik napas sesaat. "If you want to claim everything, then you should start being honest with yourself first. Tolong dicatat, not everything in your life can be owned. Jika mau perlakukan mereka seperti punya kamu, then show them they matter. You can't just take. You have to give. Karena ownership artinya bukan cuma mengakui kepemilikan, tapi kamu letakkan responsibility di sana. It comes with effort, not entitlement. Sampai sini bisa dipahami, Mas Adnan?"

Hening kembali menghampiri. Sejak dengarkan itu pandangan Adnan sudah lurus ke depan.

"Dan Mas Adnan. Coba sesekali sampaikan perasaan kamu dengan baik. Dengan cara sebaik yang kamu bisa," pinta Inka dengan suara lembut tapi ada ketegasan terselip. "Aku nggak punya tugas ubah sifat atau karakter kamu, tapi paling enggak, coba belajar komunikasikan sesuatu sama istrinya dengan cara baik-baik. Kalau kamu suka bilang suka, misalnya masakan aku, atau..." Lantas Inka mengangkat bahu ringkas, "anything terkait hubungan kita. Kalau kamu marah, sampaikan ke aku dengan cara yang bisa aku pahami."

Ada sesuatu dari cara Inka menjelaskan yang membuat Adnan tetap tenang. Lagi-lagi Adnan tidak ingin mengakui satu fakta kecil ini. Tidak pada Inka. Tidak juga pada dirinya. Jika ternyata bicara berdua dengan istrinya jauh lebih baik ketimbang ia berbincang dengan Sharon beberapa waktu lalu.

Ternyata tidak buruk mendengar segala macam celoteh Inka.

"Kalau sebatas kerjaan aku nggak akan marah sama kamu, tapi dinner, berdua, semeja, sama perempuan—itu dia letak masalahnya. Itu yang harus aku permasalahkan. Buatku itu agak keterlaluan," Inka lekas meralat, "Bukan agak lagi, tapi memang sudah sangat ke-ter-la-lu-an."

Adnan mendesah berat. Namun ia biarkan istrinya tetap protes. Ya, lebih baik begitu. Lebih baik dengar suara berisik istrinya daripada memusingkan suara-suara pekat Sharon yang belum kunjung hilang.

"Sekarang balik lagi, kalau kamu memang maunya nggak ada interupsi sama sekali, artinya aku juga boleh berlaku demikian. Iya, toh?" tanyanya mencoba memberi Adnan pemahaman. "Kamu jalan sama perempuan mana pun, entah itu rekan sejawat, temen lama, temen SD, temen... siapa pun deh pokoknya. Terkhusus kenalan perempuan di luar urusan pekerjaan, aku akan izinkan meski kamu nggak izin sama aku, dengan catatan," tekannya di pangkal kalimat, "aku juga boleh dinner berdua sama kenalanku. Laki-laki. Berdua. Gimana?" Inka lantunkan semua kalimat itu tanpa letupan emosi. Artikulasi dan bahasanya tertata jelas.

"Kamu lagi nasehatin saya?" Adnan menoleh lagi.

"Enggak. Justru aku lagi nyari solusi buat hubungan kita selama dua bulan ke depan. Kamu bilang dua bulan, kan? Ya udah itu," putusnya. "Besok aku nggak perlu izin kalau mau pulang malem, dinner, atau ke mana pun sama kenalan temen cowokku. Karena kamu juga yang buka kesempatannya di saat dulu kamu minta nggak ada open relationship di antara perjanjian kita."

Inka melanjutkan, "Jangan sampai kejadiannya kayak waktu di Jogja. Sebut perempuan saya, perempuan saya, tapi kamu sendiri seolah nggak kasih aku izin klaim kamu sebagai laki-laki aku. Itu kan nggak adil namanya, Mas."

Adnan mendecih. "Makin lama kamu makin pinter ngomong depan saya, ya, Sasinka."

"Jelas pinter, kalau nggak pinter nggak bisa rekrut ratusan pegawai kompeten. Dan itu namanya teknik komunikasi," celetuknya. "Aku kasih tau ke kamu. Jangan sampe cuma pinter komunikasi sama pasien, tapi sama pasangan sendiri nol besar."

Adnan menarik napas panjang dan melepaskannya kasar. "Kita pulang sekarang."

"Jadi?" Inka mau memastikan ketika mesin mobil menyala. Suaranya tidak setegas tadi. Sudah kembali ke mode istri ceria. Lebih tepatnya istri yang dipaksa pura-pura ceria menghadapi suami temperamen. "Kesimpulannya apa?"

Adnan tidak merespons. Cukup lama Inka menunggu.

"Halo, Mas Adnan?" Inka kibaskan tangan saat mobil meninggal lahan parkir. "Jadi kesimpulannya gimana? Boleh kan istrinya pergi berdua sama cowok nggak izin suami dulu?"

"Saya larang kamu yang itu."

"Terus kamu?" Inka menelengkan kepala, menunggu beberapa detik namun tidak ada balasan. "Kamu gimana?"

"Iya."

"Iya apa?"

Mata Adnan mengerjap sepintas. "Lain kali saya izin," tukasnya dengan suara samar.

Inka segera tersenyum nakal, mengutip rona kemerahan yang menjalar sampai telinga Adnan. Entah sebagai apa tanda rona itu. "Mas Dokter ini kenapa makin hari makin manis, ya?"

"Jangan banyak omong kalau saya lagi nyetir."

"Kalo istrinya masih mau ngomong gimana?"

Adnan kembali mendesah. "Saya turunin kamu di tengah jalan."

"Coba aja kalau berani."

Beberapa meter di depan, Adnan sungguhan menghentikan laju mobil di bahu jalan. "Turun."

"Ihhh. Sama istrinya kok serius banget."

"Turun."

"Enggak. Jalan lagi buru."

Tidak ingin buang tenaga, Adnan kembali melanjutkan per-jalanan.

Selama perjalanan kepala Inka memutarkan satu tanya. Haruskah?

"Mas..." Inka mengatupkan bibir sesaat, coba baca reaksi Adnan saat ini. "Mobil aku kan rusak ceritanya, boleh nggak..."

"No." Adnan lekas menyahut seolah sudah tahu apa yang mau dikatakan wanita itu.

"Ih belum aku lanjut. Mau nggak besok anterin istrinya kerja?"

"No. Saya ada jadwal pagi."

"Aku juga pagi."

"Saya berangkat jam setengah enam."

"Sama dong kalau gitu." Meski sebetulnya Inka selalu datang ke kantor pukul tujuh pagi.

"No. Cari kendaraan kamu sendiri."

"Padahal nggak minta beliin. Cuma minta anterin."

"Buying you a car makes more sense than to drive you."

"Ih, ya ampun, jahatnya itu mulut. Kayak nggak pernah baca sumpah dokter aja." Akan tetapi usahanya tidak berhenti di sana. "Mau ya Mas Suami nganter aku ngantor besok? Ya, boleh, ya? Kantor aku sama rumah sakit juga masih jauhan rumah sakit. Boleh, ya, Mas? Pleaseeee." Wajah Inka saat ini persis seperti emoji kepala kuning dengan dua bola mata berbinar sendu nyaris menangis.

Adnan bersikukuh. "No."

Inka mendekat, menatap Adnan dengan tatapan memelas. "Mas, please, cuma nganter istrinya ke kantor. Mas Adnan nggak usah turun dari mobil. Ya, please, Mas..."

Adnan menolak memberi reaksi.

Inka merengut sedih. "Suami pelit banget. Kamu nggak kasihan, gitu, ngeliat istrinya susah? Kalo istrinya gembira, layanin di ranjang kan jadi gembira."

Adnan tetap diam, matanya fokus ke jalan. Tapi Inka terus memaksa, memberikan senyum manis dan tatapan penuh harap, memanipulasi dengan cara yang biasa dia lakukan.

"Kalau nggak dianter..." Kepalanya memikirkan sebuah rencana. "Aku bakal dateng ke rumah sakit setiap hari buat setor muka ke suami. Terus I will introduce myself as Adnan Akhtar's wife to all the staff, kalau bisa ke semua orang yang hari itu ada di RS."

"Sasinka Arumindari Djatmika." Adnan langsung menoleh terpancing, suara beratnya terdengar penuh ancaman. "Bisa diam nggak kamu?"

"Anterin."

"I said, no." Usai mengucap itu, Adnan alihkan lagi pandangannya ke jalan.

"Oh, yaudah. Kalau nggak mau, berarti aku harus cari cara lain." Inka menyeringai, mencoba menggoda dengan cara lain. Ia keluarkan ponsel dan menghubungi Sadam. Sengaja menghidupkan pengeras suara. "Mau telepon junior di kantor yang naksir aku."

Maaf ya, Dam, maaf. Nggak maksud jadiin situ tempat pelarian.

Adnan bisa mengintip sekilas melalui sudut mata nama Sadam Haribawa tertera jelas di layar.

"Halo, Mbak? Kenapa?" Pada dering keempat, suara Sadam langsung memenuhi mobil.

"Dam, besok lewat sekita—" Sambungan terputus. Panggilannya dimatikan sepihak, sebab Adnan merebut ponsel Inka lebih cepat dan langsung membuang ponsel itu ke kursi belakang.

Sempat Inka pandangi ponselnya yang malang tergeletak di sana. "Jadi?" Inka memangku dagu dengan dua tangan menghadap Adnan dalam jarak dekat. Serta mengabaikan ponselnya yang sedang menyala-nyala tanda panggilan dari Sadam. "Jadi gimana? Nggak mau dibeliin mobil. Maunya dianterin."

Yang ditatap kembali fokus menyetir.

"Mas, jawab. Jadi gimana? Bisa kan istrinya dapet tumpangan besok? Jawab. Kesimpulannya apa?"

"Ya."

"Jawab yang bener."

Adnan menarik napas sesaat. Perlawanannya mulai melemah. "Besok saya antar."

Senyum lebar langsung menghiasi wajah Inka. Tanpa bisa menahan diri, ia maju dan dengan cepat mengecup pipi Adnan yang masih fokus pada kemudi. "Thank you, Mas Suami."

Adnan berdecak, membesut jejak ciuman Inka di sana. Sementara pelakunya sama sekali tidak merasa tersinggung. Senyumnya justru kian melebar. "Mas Adnan makin manis deh kalo lagi pasang mode suami on duty."

Adnan tetap diam, hanya menghela napas pelan.

Dalam pikirannya, dia sudah tahu bahwa dia baru saja menyerah, meskipun tidak mengatakannya secara langsung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top