26| Rahasia Lain Adnan
Ayo tinggalkan komen dan klik bintangnya ;)
***
Adnan memiliki banyak pengalaman pertama sejak kecil. Tetapi menikmati beberapa sendok nasi untuk sarapan tak pernah terbesit di kepala.
Seumur hidup, nasi tak pernah masuk dalam kamus paginya. Sejak dia kecil, Hardi membiasakannya menyantap makanan tinggi protein untuk kebutuhan otak. Lagi pula Hardi pun tak begitu menyukai hidangan dalam bentuk nasi, sehingga mau tak mau, menu-menu di meja makan pun kerap mengikuti apa mau Hardi.
Lihat, bahkan sekadar menu dalam makanan pun sudah Hardi atur untuk tumbuh kembangnya. Sehingga Adnan terbiasa dengan pola yang sama.
Parahnya, enam tahun terakhir ini ia sudah meninggalkan tradisi sarapan dan lebih memiliki nikmati secangkir kopi pahit untuk membuatnya tetap fokus.
Tetapi Sasinka itu memang lucu. Bukan dalam artian menyenangkan. Sekaligus berisik.
Bila diingat ulang, itu adalah sarapan pertama berupa nasi yang ia jajal ke mulut. Ketika Adnan mengunyah nasi di mulutnya, ada rasa manis menggelitik lidah.
Rasa manis ini masuk akal, karena karbohidrat dalam nasi dipecah oleh enzim amilase dalam liur, yang mengubahnya menjadi maltosa, gula sederhana yang memberi sensasi manis. Namun rasa manisnya lebih menonjol daripada yang Adnan kira.
"Masuk mulu, Dok. Nggak niat libur honeymoon?" Gelas kertas Aryo menadah di salah satu mesin kopi, berdampingan dengan Adnan yang juga menunggu gelas kopinya terisi di dispenser lain.
"Nggak. Nanti aja."
"Belom ada rencana apa gimana?"
"Belum."
Jawaban singkat-singkat seperti itu sudah sangat akrab di telinga Aryo. Orang baru yang mendengar Adnan bicara seperti itu mungkin akan merasa tersinggung. Aryo pun demikian, sudah sangat lama ia pernah merasa tersinggung.
"Segerakan lah, Dok. Jangan ke rumah sakit mulu. Kali-kali rehat bentar."
Kopi Adnan telah selesai. Ia bawa kopi itu pergi. Namun sebelum meninggalkan Aryo, sempat ia tepuk pundak pria itu sebagai respons.
"Dok." Aryo baru teringat sesuatu. Ketika Adnan menoleh, ia melanjutkan, "Hampir saya lupa, barusan ada perempuan cakep nyariin situ. Tanya ke saya mau ketemu. Kemungkinan cucu Bapak Soedarmo. Pernah liat sekilas soalnya."
Adnan mengerutkan kening. "Di mana orangnya?"
"Masih di tempat tunggu VIP kali, ya. Tau deh. Coba dicek aja."
Mendapati informasi itu, tanpa bertanya lagi, Adnan beranjak mencari wanita yang kemungkinan besar memang Sharon. Benar saja, Sharon duduk di salah satu sofa panjang putih tak jauh dari tempat resepsionis.
Senyum Sharon terbentang menyambutnya. Tidak ada gelagat sendu seperti kemarin. "Hai, Dok."
Menyadari satu staf administrasi perempuan menatap pada mereka, Adnan melepas desau. "Saya udah menikah. Jangan ungkit masalah pribadi..."
"Oh, enggak," Sharon segera menyela. "Aku cuma mau sampaikan titipan pesan Kakek."
Adnan mengarahkan pandangannya ke ponsel yang Sharon angkat. Suara Soedarmo terdengar dari speaker, tegas seperti biasa, meski agak melemah karena usia.
"Nan, soal rapat umum mendatang, sudah saya serahkan semua ke Sharon. Cucu kesayangan saya ini. Kemungkinan saya nggak bisa hadir, tapi saya minta dia wakili saya. Hitung-hitung langkah awal lanjutin MedTech kalau saya sudah harus istirahat dan jadi pasien kamu saja. Silakan tinggal kamu komunikasikan sama cucu saya ini."
Selama mendengarkan, tatapan Adnan tertumbuk ke lantai. Menghindari segala macam adu pandang dengan wanita di depannya. Setelah tidak ada suara yang terdengar dan Sharon menyimpan kembali ponselnya, Adnan menarik napas panjang.
Sharon tidak langsung menjawab. Dia memandang Adnan lama. Sampai kemudian senyuman kecil terbentuk. "Lucu, ya," katanya pelan. "Orang yang kemarin tanpa ragu rusak pernikahan aku, sekarang bahkan takut sekadar lihat mukaku. Seolah takut pernikahannya diusik."
Adnan tidak merespons. Hening menggantung, hanya dipecah suara silih berganti orang-orang di sekitar mereka yang menjadi latar.
"Jadi...," Sharon melanjutkan, "Bisa kita bicara, Dok? Personally. Bukan sebagai sesama calon pewaris. But just two people who used to be close and then... drifted apart."
***
"Halo, Ka. Gimana kabar?" Inka mendengar celetuk ringan Parma setelah ia tempelkan ponsel ke telinga.
"Pas banget. Baru aja nih aku selesai meeting. Kalo kabar ya gitu-gitu aja ah, sama aja." Inka terkekeh kecil, sembari menggeser beberapa berkas di meja, lalu mengambil AirPods di tas. Memasangnya di telinga agar tak harus memegangi ponsel. "Om gimana? Ada kabar baru apa?"
"Omong-omong Om sudah balik ke Jakarta. Makanya ini saya hubungi."
"Loh, kemarin katanya lagi Spore mau ngurus kerja. Baru berapa hari masa udah balik Jakarta, Om."
"Kebetulan saya udah di Jakarta mau ajak makan, barengan ada urusan di sini buat urus proses ekspansi merek skincare saya di Jakarta nanti."
"Oh gitu." Inka mengangguk samar sambil tangannya bekerja mengecek notula hasil rapat tadi. "Boleh, boleh. Kalau Om Parma mau ketemu nanti kita atur jadwal buat ketemuan aja. Mau kapan, Om?"
"Yang nggak ganggu kamu kapan? Atau kamu aja yang atur jadwal ketemu?"
Selanjutnya Inka membuka satu berkas penting dan membaliknya hingga halaman terakhir. "Tapi ngomong-ngomong apa tuh, Om, tiba-tiba mau ajak ketemu?"
"Ya, ketemu aja. Mau ngobrol santai kalau kamu nggak keberatan."
Inka membubuhi tanda tangannya pada ujung lembar Surat Keputusan dan penugasan personel dalam kerja sama pariwisata mendatang. "Ah, si Om." Suaranya terkandung senyum. "Keberatan dari mana. Malah seneng diajak ngobrol owner skincare. Biar bisa dibagi paket skincare gratis," guyonnya.
Parma tertawa. "Bisa aja kamu."
"Boleh hayuk, kapan? Aku lagi nggak padet banget," ucapnya. "Hari ini juga bisa. Jam tujuh mau, Om?"
"Boleh deh, yuk."
Inka menutup map berkasnya. Tatapnya sudah menjurus lurus pada detik panggilan yang terus melaju di layar. "Izin suami dulu nggak, nih?"
Parma kembali tertawa. "Terserah kamu lah."
"Izin aja deh. Daripada jadi istri durhaka."
Respons Parma hanya berupa gelegak tawa. Setidaknya dengan adanya Parma, Inka sudah cukup lega. Tak perlu menanggung beban rahasia pernikahannya sendirian.
Begitu sambungan mereka berakhir, Inka mengetikkan sesuatu di kolom percakapan WhatApps Adnan.
Inka
-Mas Suami, istrinya mau dinner di luar
-Sama Ommu kok. Om Parma
-Dikasih izin, kan?
-Mas Suami kuat nggak tunggu istrinya pulang?
-Bentaran aja. Nggak sampai jam 10
Setelah semua pesan terkirim, Inka menambahkan lagi satu foto dirinya yang baru diambil, tersenyum ke arah kamera dengan keterangan: OMG cantiknya istri dokter Adnan.
Selang satu jam, Adnan sudah membaca pesannya, tetapi sampai ia bertemu Parma pun, tak juga pria itu membalasnya.
***
"Seneng saya ngobrol sama kamu, Ka." Parma mengangkat pandangannya pada Inka di seberang meja sambil mencelup-celupkan sashimi di mangkuk saus kedelai. "Begitu pertama ketemu waktu itu, walau cuma sebentar, tapi saya langsung suka. Apalagi lihat interaksi kamu ke Adnan. Berasa saya punya anak perempuan yang lagi godain abangnya."
Inka bisa langsung tahu, Parma memang orang yang ramah sejak perkenalan pertama mereka. Tetapi ia baru tahu jika hanya bicara langsung berdua seperti sekarang ini, Parma lebih banyak menyumbang bahan bakar obrolan.
Kini percakapan mereka sudah berlangsung setengah jam. Cukup panjang untuk Inka bertanya soal gurita bisnis Parma dan mendapat pendidikan singkat mengenai kiat-kiat berdagang.
Dan ternyata Parma juga kenal dengan Bapak. Meski tidak akrab tetapi keduanya pernah duduk dan makan berdua untuk bicara santai. Sekarang Parma dipertemukan kembali dengan putri dari mantan ketua DPR 2004 silam itu.
"Kamunya usil, Adnan-nya begitu."
"Ada riwayat hipertensi kayaknya dia, Om. Alisnya begini terus nih." Inka menirukan gaya Adnan sewaktu kerutkan kening. "Justru orang kayak gitu kan kalo kebanyakan marah bukannya kita takut tapi malah makin seneng godain."
Parma mengumbar tertawa kecil. Lalu mengoper sepotong kecil daging ikan segar ke mulut. "Pas kecil dia nggak begitu, Ka. Banyak cerita. Apa pun dia ceritain sama saya."
"Oh ya?"
Parma mengangguk. "Ngeluh capek belajar ke saya, lagi pengen Sushi ngeluhnya ke saya, apa aja deh dia banyakan kasih tau saya," ucap Parma sambil mengenang.
Inka menyimak. Sempat mengangguk. "Kenapa sekarang jadi dingin gitu, Om?" Sekilas ia menatap gerak tangannya ketika menyumpit satu balok kecil yakimono dan kembali pada wajah Parma.
Tetapi saat itu Parma tak lekas menjawab. Hanya ada desahan yang luruh dari celah bibir. "Keadaan. Apalagi." Seolah tidak ada alasan lain mengapa Adnan bisa berubah.
Namun keadaan seperti apa?
Kening Inka mengerut. Lupa akan yakimono dalam kepitan sumpit yang tinggal ia lemparkan ke mulut.
"Waktu kelas dua SD dia jadi tertutup, nggak pernah mau berbagi lagi sama saya. Makanya saya seneng, kalau ada kamu kan, saya jadi punya alesan negor keponakan saya tiap kangen."
Inka lantas menggeleng. Ia letakkan kembali yakimono itu dan melepas sumpitnya di atas hashioki; tatakan kecil untuk sumpit. Hidangannya langsung terabaikan. "Enggak. Tadi maksudnya gimana, Om. Aku kurang nangkep. Waktu kelas dua SD jadi tertutup itu maksudnya gimana? Terus keadaan apa? Bagian kedua itu aku kurang nangkep."
Parma tiba-tiba ikut meletakkan alat makannya. Ia membesut sesaat bibirnya dengan serbet putih dan meneguk sedikit sisa air di gelas. Namun setelah itu, Parma masih belum mengatakan apa-apa dan justru membuka ponselnya.
Ia menyimak setiap gerakan Parma dengan tatapan tak paham hingga kemudian lelaki itu menyodorkan ponsel ke arahnya. Memperlihatkan seorang wanita paruh baya. Yang sedikit tampak lebih muda dari Parma.
"Almarhum istri Om, itu ya?"
"Coba perhatikan lagi. Menurut kamu mirip siapa?"
Inka mempertajam pengelihatannya. Mencermati baik-baik sosok berparas jelita dalam foto usang kekuningan. Wajah yang jelas-jelas memancarkan aura wanita ibu kota tetapi dengan riasan ringan dan sederhana. Matanya, bibirnya...
Déjà vu. Ia jelas pernah lihat wajah seperti ini. Wajah wanita itu terasa tidak asing baginya, tapi dia tak bisa langsung mengingat di mana atau kapan pernah melihatnya.
Mengingat lebih keras, alis Inka seperti hampir bertemu.
"Hayo mirip siapa itu. Coba diliat terus." Sementara Parma memberi Inka semangat agar lebih teliti. Senyumnya memanjang melihat ekspresi di wajah Inka.
Dan pada akhirnya Inka menggeleng, meskipun rasanya masih sedikit mengganjal. Pasalnya, muka itu sungguh-sungguh tak asing. Terlebih pada bagian bentuk mata dan bibir.
"Adik ipar saya," sebut Parma seraya menarik ponselnya mundur, mengunci layarnya, dan menempatkannya di meja.
Respons Inka sedikit terlambat. "Gimana?"
"Adik ipar saya," ulang Parma.
"A-adik ipar? Maksudnya..." Alis Inka mengerut mencoba memahami fragmen teka-teki atas ucapan Parma, "Maksudnya gimana, Om? Om... bukannya... Om Parma sama Hardi Pramudi Akhtar...?"
Parma mengangguk-angguk. "Iya."
"Iya, kan? Cuma dua bersaudara. Terus..." Tanpa sadar Inka menunjuk layar ponsel yang sudah padam.
"Istri pertama adik saya. Hardi. Ayah mertua kamu."
Inka menunjukkan reaksi terkejut di wajahnya.
"Foto tadi ibu kandung suamimu, Adnan."
Pupil mata Inka melebar. Jantungnya yang semula tenang seketika berdebar kencang. Tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa apa pun yang hendak disampaikan Parma tentu bukan kabar baik.
Selanjutnya Parma mendesah. Seakan apa yang ingin disampaikannya terasa berat. "Tadinya saya nggak mau cerita apa-apa ke kamu, apalagi terkait masalah ini. Tapi setelah kita ketemu dan saya kenal kamu gini, saya cukup yakin buat berbagi. Kamu mau denger? Takut nanti kita pulang larut."
Inka menggeleng cepat. "No. I'm okay. Just tell me," pintanya. "Om Parma silakan cerita apa pun. Aku mau denger. Semua. Semuanya soal kehidupan suami aku yang Om tau." Karena belum tentu ia akan mendengar kabar ini dari Adnan itu sendiri.
Sebelum melanjutkan, Parma sempat betulkan cara duduk agar lebih nyaman. Matanya mengindikasikan sorot bimbang, entah untuk meyakinkan diri haruskah cerita atau sebaiknya mereka sudahi pertemuannya sampai di sini. Sebab Inka masih tergolong baru di keluarga.
Inka menanti enam detik, dan saat itulah Parma kembali mengulur napas. Baiklah. Keputusannya bulat. Akan ia ceritakan tentang itu. "Kalau boleh saya bilang, suamimu itu mungkin masih sakit. Maaf. Bukan bermaksud saya punya tudingan negatif dengan keponakan saya sendiri. Sebelum saya bilang ini, Adnan nggak pernah tau almarhum ibunya. Nggak pernah kenal siapa namanya. Nggak pernah tau sekali pun muka ibunya seperti apa, dia nggak tau itu, karena adik saya memang nggak pernah ada niatan kasih tau itu sama Adnan."
"Mira itu..."
"Sebentar, nanti saya ceritakan juga bagian itu," sela Parma langsung mengerti.
"Siapa nama beliau, Om? Ibu kandung Mas Adnan."
"Yasmin Hanafi," jawabnya. "Dia sempat bilang sama saya sebulan sebelum meninggal. Titip pesan buat jaga Adnan. Buat nanti kalau di masa depan ada apa-apa sama Adnan, saya yang tanggung jawab." Parma berhenti bicara. Pandangannya termenung ke satu titik di ujung meja.
Ternyata ia ragu bukan karena tidak mau berbagi kisah ini pada Inka, melainkan hatinya seperti disayat-sayat ketika membuka kisah lama.
"Hubungan saya sama Almarhum bisa dibilang baik. Sangat baik. Nggak pernah ribut, nggak pernah persoalkan harta dan semacamnya. Saya dan istri selalu baik, begitu juga sebaliknya. Bisa dibilang hubungan keluarga kecil saya dan Hardi itu harmonis. Saya sayang Almarhum selayaknya rasa sayang saya ke adik sendiri."
Inka mengangguk samar, menyimak tanpa suara.
"Ini yang jadi letak penyesalan saya." Parma ketukan-ketukan jarinya ke meja bagai menyalurkan amarah yang masih mengendap. "Saya nggak bertanggung jawab karena saat itu saya mikir, ya sudah, nggak mungkin adik saya macam-macam sama anaknya sendiri. Saya banyak tinggalin Adnan. Ujung-ujungnya saya nggak tepatin janji. Sampai saya sempet nggak percaya sama omongan Almarhum, 'ah masa adik saya bakal begitu' itu pikir saya pas waktu itu. Segila-gilanya dia sama kerja dan belajar, saya nggak pernah mikir bakal aneh-aneh ke anak."
"Aneh-aneh?" Inka langsung mengutip satu bagian itu. "Om Hardi aneh-aneh gimana? Aneh-aneh ke Adnan maksud, Om?"
Parma menghempaskan napas lagi. Terdengar berat di telinga. "Ini yang tadi saya bilang. Suamimu mungkin masih nggak nyaman. Masih ada yang mau dia keluhin. Masih sakit. Bukan sakit fisik. Ini," Parma menunjuk dadanya sendiri. "Di sini. Di batinnya. Mungkin ada sesuatu di batinnya yang belum sembuh, Ka."
Inka menjilat bibirnya mencoba mencerna. Mengabaikan ragam firasat buruk di kepala. "Belum sembuh memang Adnan sakit apa, Om?"
Namun tiba-tiba saja Parma membesut ujung matanya dengan cubitan tangan, mengeringkan matanya yang mendadak lembab dan merah.
Meski demikian, Inka tidak ingin Parma berhenti bercerita. Ia ingin dengar semuanya. Apakah hal itu ada kaitannya dengan tato yang diukur Adnan di antara tulang selangka pria itu?
"Hancur hati saya lihat keponakan yang sudah saya anggap anak sendiri digebukin dan dipukulin berkali-kali."
"Iya?" Inka sedikit memajukan kepala. Siapa tahu dia salah dengar.
"Dulu Yasmin titip pesan, minta tolong kalau Adnan sudah lahir minta dijaga. Dia sendiri bilang kemungkinan nggak akan sempet gendong bayinya," ucap Parma. "Selama ini saya raguin adik ipar saya yang bilang kalau dari pernikahan mereka Hardi cuma buruh keturunan."
Dalam beberapa waktu ke depan meja mereka hanya diisi udara. Inka bahkan tak begitu yakin apakah masih ada udara berseliweran di sekitarnya. Sebab sejak tadi rasanya ia lupa cara bernapas.
"Yasmin meninggal satu menit setelah lahirin Adnan," ucap Parma getir. "Plasenta akreta," sambungnya.
Menangkap raut tidak paham yang timbul di wajah Inka, Parma lanjut menerangkan, "Jadi plasentanya dia nempel di dinding rahim. Letaknya jauh di dalam," jelasnya sambil mendemonstasikan dengan gerakan tangan. "Normalnya itu kan kalo abis lahir, plasenta ikut lepas. Tapi ini plasentanya masih nempel di rahim. Dan sebelumnya Yasmin memang sempet kuret karena keguguran anak pertama. Begitu Adnan berhasil lahir, alhasil pendarahannya nggak berenti. Masif. Cuma kurang dari satu menit bertahan, dan, udah, nyawanya nggak tertolong. Bahkan adik ipar saya itu belum sempat lihat muka Adnan."
Saking ngilu membayangkannya, Inka menutup mulut dengan ujung jemarinya.
"Setelah saya pahami, ternyata Yasmin benar, yang memang dibutuhkan Hardi dari sebuah pernikahan itu anak dari darah dagingnya sendiri. Lalu yang tadi saya bilang soal keponakan saya yang sejak kecil suka dihajar itu," lanjut Parma. Inka sudah menurunkan tangannya dari bibir dan menanti kalimat itu dengan perasaan campur aduk, "iya, itu benar. Itu karena Hardi mau Adnan tubuh dari didikan dia yang keras." Parma separuh merenung lagi diiringi gelengan kepala. "Sampai hari ini saya masih sakit dengar Adnan itu semasa kecilnya suka dipukuli. Dididik keras supaya bisa dipercaya jadi manusia kepercayaan dia."
Mereka hening sejenak.
"Empat bulan usia Adnan, adik saya itu sudah menikah lagi. Karena buat dia yang terpenting bagaimana ciptakan anak yang bisa dia banggakan dan dirancang sedemikian rupa bagaimanapun caranya."
Semakin didengar semakin napas Inka terasa berat untuk ditarik.
"Dan kamu tau nggak, Ka, apa yang buat sayalebih sakit?"
Inka menggeleng, bahkan ia tidak tahu apakah kepalanya benar-benar bergerak. Sebab seluruh sarafnya seperti malfungsi.
"Saya baru kenalkan Adnan dengan Yasmin saat Adnan resmi sandang gelar Dokter. Itu yang buat saya sakit. Dan mungkin juga Adnan."
Lindap.
Ngilu menggempur setiap sisi jantungnya. Inka merasakan sensasi tidak nyaman mendengar seluruh informasi yang telah dibeberkan Parma.
Sekarang seluruh sikap dingin Adnan jadi terasa masuk akal baginya. Kata-kata menyebalkan pria itu saat mereka berdebat di tangga pun bagai menguap tak berbekas.
Sejenak, Inka hanya mampu terpekur. Mencoba memahami perasaan mengganjal di dada.
Apa sebetulnya yang membuat ia tidak nyaman mendengar ini semua? Bentuk empati antar sesama manusia? Ataukah, sebetulnya ia sudah jatuh terlalu dalam dan berharap Adnan menganggapnya, setidaknya, walau hanya jadi bagian kecil dalam hidup pria itu?
Mungkin, bisa jadi mungkin, Inka diam-diam sedang berharap dengan harapan yang ia sendiri takut akui: untuk menjadi bagian dari hidup Adnan. Cukup bagian kecil saja, sebuah celah yang mungkin bisa ia tembus untuk menghangatkan kebekuan di hati itu sedikit saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top