25| Satu Malam

Jangan lupa klik bintang & komen

***

Berkecimpung dengan pikirannya, malam itu Inka nyaris menyulut lintingan tembakau. Berpikir dengan mengisap satu atau dua batang rokok bisa membuat perasaannya membaik.

Apa-apaan Adnan Akhtar itu? Berani-beraninya menyebut dia pelacur dengan cara paling kurang ajar.

Emosinya sempat tersulut, meledak-meledak di depan Adnan. Bahkan Hansa yang menjijikkan pun tak mampu buat ia semurka ini.

Untung saja yang dia berikan hanya sebatas ciuman. Bukan sekepal tinju atau mungkin tamparan. Atau mungkin lebih parah dari itu.

Tidak. Seumur-umur, Inka tak sudi menggunakan tangan kepada lawan meski emosi sudah di ubun-ubun. Emosi semacam itu hanya akan mempersulit dirinya sendiri.

Jadi Dari pada membalas Adnan dengan cara sama keji, ia redam murkanya dengan lakukan ciuman tadi. Meskipun di sisi lain dia tahu hal itu justru akan membuat Adnan semakin memandang rendah dirinya.

Lagi pula seberapa tinggi pria itu?

Seberapa merasa hebat dia sampai bisa merendahkan orang lain semudah menginjak serpihan kaca di bawah sepatunya?

Inka mendengus, menatap rokok kepitan dua jemari. Tangan-nya gemetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang masih mengendap dan membakar perlahan seperti bara.

Hanya saja, sebelum api dari pemantiknya menyentuh ujung tembakau, terdengar ketukan agak memaksa dari luar pintu. Merayunya melepas rokok dalam jepitan jari, dan menyeret langkah membuka pintu kamar. Tak disangka, Adnan datang padanya setelah satu jam berlalu.

Wajah lelaki itu mengeras. Memperlihatkan tatapan yang lain dari sebelum mandi tadi. "Layani saya."

Baik. Itu adalah dua kata paling bajingan. Seolah-olah dirinya adalah wanita yang didapat dari rumah bordil.

Inka mendengus separuh mengejek. "Udah pura-puranya?"

Adnan tak mengerti pertanyaan itu.

Inka kembali mengulang, "Udah selesai pura-pura nggak pengen istrinya, Mas?"

Bergeming, Adnan enggan menyahut. Seperti apa perminta-annya barusan, ia hanya butuh dilayani, bukan berdebat lagi.

"I need you. Say it." Inka melipat tangan di depan perut. "Say it first. Say you need me. Because until you do, I'm not giving you what you want."

Seketika dua sudut bibir Adnan terangkat tipis. Nyaris tak tampak. Kemudian ia mendekat perlahan, tatapan matanya gelap dan sulit dibaca. "You think I'll beg?" suaranya rendah, nyaris berbisik.

"Oh..." Inka menghela napas kecil, suaranya seperti desau geli bercampur kaget. Kepalanya menoleh sedikit ke samping, bibirnya masih setengah terbuka saat dia mencerna ucapan Adnan. Matanya menatapnya kembali, kali ini dengan sorot menantang. "So, you don't need me?" Nada bicaranya santai, namun ada kilatan kesal di baliknya.

The Almighty Adnan Akhtar ini sungguh-sungguh terlalu, ya.

Inka hendak membuka mulut untuk membalas lagi, tapi belum sempat bicara, Adnan sudah memutus jarak di antara mereka. Satu tangannya menarik pinggang Inka dan tepat saat itu juga bibirnya menemukan milik Inka, meniru apa yang tadi dilakukan istrinya di tangga.

Anggap saja balasan.

Anggap saja demikian. Sebab Adnan rasa ada sesuatu yang lebih krusial dari sekadar keinginannya untuk dilayani. Adnan semakin tertarik setiap berdebat dengan wanita ini. Mendesaknya untuk jinakkan sesuatu yang liar.

Ciuman ke berapa ini?

Keempat mereka. Tentu saja.

Bahkan cumbuannya kali ini mengingatkannya pada rasa saat mengecap bibir Inka untuk kali pertama. Terus ia cumbu istrinya seolah ini kesempatan terakhir hidupnya. Sementara tangan Inka refleks menekan dada Adnan. Coba menahan diri. Namun tentu pria itu malah semakin memperdalam pagutan mereka.

Sharon. Nama itu lantas menyeruak.

Adnan tidak bisa mengabaikan bagaimana rasa benci dan kecewa kembali mampir. Semakin teringat nama itu, semakin besar pula amarahnya. Lalu seluruh emosi itu ia limpahkan di bibir sang istri. Adnan butuh sesuatu untuk meredam murka, dan Inka jelas ada di sini.

Bukankah begitu kesepakatannya.

Inka menawarkan sesuatu, dan Adnan membelinya.

Setelah beberapa detik berlalu, Adnan memutus jarak. menarik kedua bibir mereka hingga meninggalkan jejak basah yang berkilau di bawah lampu kamar.

Inka terdiam, napasnya tersengal hebat. Dia tidak tahu berapa lama ciuman itu berlangsung. Yang dia sadari, tubuhnya kini sudah terlentang di ranjang dengan Adnan bernaung di atasnya. Sedangkan sejak tadi tangan pria itu memeta di pahanya, meremas kulitnya dari balik gaun malam.

"Sasinka." Bibir Adnan kembali singgah di tepi bibir Inka. "Sasinka," bisiknya seperti merapal. Sasinka. Bukan Sharon. "I need you," ucap Adnan mengukir silabel dengan cara pelan. "Now."

Sebelum bibirnya kembali ke milik Inka, Adnan menurunkan ciumannya ke leher sang istri. Kulit lembut di bawahnya terasa hangat, membawa aroma samar parfum.

Ia isap perlahan, meninggalkan jejak yang tak mungkin luput dari pandangan. Satu tanda ia beri, seakan ingin menegaskan siapa yang kini memiliki wanita ini, siapa yang telah memenangkan hak atasnya.

"Kamu milik saya. Perempuan saya." Setidaknya selama pernikahan ini berlangsung. Sebab Adnan pun tak begitu mengerti, mengapa semakin hari, mengklaim wanita ini adalah sebuah keharusan.

Sebelum Inka sempat merespons, bibir Adnan kembali menemukan jalannya, memagut lebih intens. Dari sana, ciumannya mulai menjelajah, merambat perlahan namun penuh tuntutan hingga segalanya memuncak.

Bukan dalam kepuasan semata, tapi dalam rasa yang nyaris meluruhkan dua insani itu akan ketidakpastian: apakah ini merupakan awal, atau hanya satu lagi bab kekacauan yang lebih besar.

Tetapi kalaupun Adnan tidak menganggap malam pertama mereka bukanlah awal, tidak mengapa. Sebab Inka menikmati tontonan sampai mana pria itu sanggup mengimbanginya.

***

Malam itu seakan jadi malam tak berkesudahan. Napas mereka bertaut, tubuh saling mencari di antara hangatnya seprai.

Tak hanya sekali. Berkali-kali Adnan dan Inka menyerah pada hasrat, seakan dunia di luar kamar tak lagi ada. Keduanya menggila. Gerakan mereka mengalir lancar. Setiap jeda, setiap kali kulit bersentuhan, dan jemari yang kembali menjelajah, hanya menuntut mereka pada puncak keinginan lebih tinggi.

Inka tidak ingat jam berapa mereka tertidur. Dirinya terlelap lebih dulu, membiarkan bajunya terhampar di sana-sini. Satu yang bisa ia temukan adalah gaun malamnya di ujung kasur yang Adnan lucuti tanpa permisi, bahkan pria itu lepas dengan gerakan tidak sabar. Meloloskannya dari pinggul ke kaki.

Itu malam yang gila.

Namun ketika terbangun, tidak Inka dapati sosok suaminya. Sisi tempat tidurnya menyisakan ruang kosong. Seprainya terasa dingin ketika diraba. Sepertinya, Adnan memang tak sempat pejamkan mata di ranjangnya. Pakaian pria itu pun sudah luput dari kamar.

Inka mengambil ponsel, menyingkap selimut, dan membuka kamera depan. Titik fokusnya mengacu pada jejak-jejak merah yang tersebar di tulang selangka hingga payudara.

Bagus tidak tinggalkan jejak itu di leher. Bisa repot.

Tapi... satu, dua, tiga... Seketika Inka membeliak kaget. "Buset!" Ia terperanjat duduk. "Banyak banget! Gila kali ya! Enam, tujuh, Delapan..."

Stres. Sebelas. Bahkan Adnan lengkapi juga di bawah payudara kanan dan kirinya.

Sinting.

Orang gila. Adnan Akhtar itu ternyata orang gila.

Segera ia memasang kembali gaun malamnya, melompat turun dari ranjang, dan membuka pintu tergesa. Tadinya ia ingin mengajukan protes pada pria yang entah kapan meninggalkannya setelah kurang ajar menguras habis tenaganya. Harap-harap pria itu belum meninggalkan rumah. Tetapi kejengkelan hatinya mengabur sewaktu melihat Adnan ada di dapur, sedang berkutat dengan mesin kopi.

"Aku. Aku aja." Ia berjalan berdekat. Menggulung rambut panjangnya menjadi sanggul longgar di kepala. "Istrinya aja yang layanin suami."

Ia mendekati Adnan yang berdiri mengutak-atik mesin kopi. Tangan pria itu baru saja menekan tuas untuk menggiling biji kopi ketika Inka menggeser tubuhnya dengan dorongan pinggul. Adnan sedikit terkejut, namun tetap menyingkir samping.

"Awas, dong ah. Aku aja yang buat." Inka merebut alih kendali, menekan tombol berhenti pada mesin sebelum menakar bubuk kopi yang sudah tergiling ke dalam portafilter. Ia memadatkannya dengan tamping tool, lalu memasangnya ke group head dengan gerakan luwes. "Bapak aku nggak bakal mau nyeduh kopi pakai alat-alat begini. Lebih nikmat seduh manual supaya ada ampasnya."

Adnan tak menyahut. Pandangannya membidik jejak-jejak merah yang ia buat di sekitar kulit dada Inka.

"Tadi malam pindah jam berapa?" tanya Inka tanpa melihat ke arah Adnan. Ia mulai menekan tombol ekstraksi pada mesin, memperhatikan cairan hitam pekat yang menetes perlahan ke dalam cangkir kecil di bawahnya.

Tidak mendapat jawaban, Inka menoleh ke arah pria yang menjulang tinggi di sisinya. "Jam berapa?" Namun tiba-tiba saja ia mengeluh, "Mas Suami ini kenapa tinggi banget, ya. Mana nggak pernah mau nunduk kalo lagi ngobrol sama istrinya. Kalau aku pake heels kan enak. Kalo di rumah gini berasa pendeknya. Masa di rumah juga harus pake sepatu."

Adnan menelan ludah tanpa Inka tahu. Sudah. Sudah cukup, Nan. Semalam itu sudah cukup. Jangan ulangi. Ia harus buang pikiran semacam itu saat mereka berdua dalam jarak sedekat ini.

Namun, selayaknya ada iblis tumbuh dalam benaknya, godaan itu sulit ditahan. Tubuhnya menegang. Kepalanya masih penuh dengan kenangan semalam hingga sulit terlelap.

Sialnya, ia ingin lagi dan lagi setelah mereka tuntaskan pukul setengah dua pagi.

"Sebatas hargain tinggi istri aja masa nggak bisa." Sedang Inka sendiri terus mengoceh. Suara renyahnya memenuhi dapur. Tidak terlalu menyadari bagian tubuhnya yang saat ini terus ditatap Adnan.

Inka berbalik, membuka laci dapur untuk mencari sesuatu, dan terdengar desahan ringan dari bibirnya. "Tuh, liat... repot. Munduran dikit dong ah," Ia melanjutkan, tanpa melihat Adnan yang berdiri lebih dekat di belakangnya. Seolah tak menyadari betapa jarak mereka kini begitu rapat, cukup untuk merasakan hangat tubuh Adnan yang terpapar udara pagi. "Berangkat jam berapa ke RS? Pasti nggak mau jawab. Aku buatin sarapan aja ya. Latihan biar nggak ngopi terus. Eh, kok aku lupa ya tulis catatan kemarin."

"Kamu bisa diam nggak?"

Inka langsung berbalik. Tangannya bertolak di pinggang. "Why?"

"You talk too much, Sasinka."

"So what? Last night we were yelling until I was screaming, and you didn't tell me to shut up tuh." Lalu melanjutkan, "Iya lah. Gimana disuruh diem, kan lagi butuh."

"Saya pusing denger kamu berisik pagi-pagi."

"Nggak pagi-pagi juga tetep pusing. Kepala kamu itu pusing terus. Periksa sana. Ada komplikasi kali."

Adnan seharusnya punya kendali untuk pergi saat ini juga. Namun tidak tahu mengapa ia jadi agak tertarik meladeni kicauan tidak jelas istrinya. "Mulutmu memang sering berkicau gitu, ya?"

"Kicau... emangnya aku burung," tukasnya jengkel. "Mas Dokter nih kalau kasih analog ke istrinya suka asal. Asbun."

Kadang Adnan pun tak paham beberapa kosakata yang disampaikan istrinya. Asbun. Apa itu Asbun. Dari mana wanita ini temukan kata-kata tidak jelas begitu.

"Tau asbun nggak?" Inka menurunkan tangannya dari pinggang dan berbalik kembali pada kopi mereka. "Asal bunyi. Udah ada di KBBI. Makanya kosakata kamu tuh jangan muter-muter di istilah medis doang. Saking pinternya jadi keblinger kan. Udah sana. Tunggunya di sana. Aku masakin telor ceplok sama sayur sop dulu."

"Nggak bisa. Saya buru-buru mau ke rumah sakit."

Inka menoleh lagi pada pria yang tetap setiap berdiri di tempat. "Nggak ah. Buru-buru gimana sih. Rumah sakit yang punya Bapakmu kok buru-buru. Nanti coba aku telepon Papi, tanya kamu ada schedule atau emang males ketemu istri di rumah."

Sekali lagi, Adnan semestinya punya kehendak penuh untuk langsung meninggalkan istrinya. Alih-alih begitu, ia memilih duduk di kursi dapur. Menikmati kopi, menunggu Inka tuntas meramu sarapan mereka, sembari ia mendengar segala kicauan yang tumpah dari mulut wanita itu terkait apa saja. Masih dengan lingerie hitam yang semalam ia luruhkan.

Baju tidur yang bahkan mempertontonkan beberapa beram seukuran jempolnya di kulit Inka.

"Ini telor ceploknya. Ini sayurnya." Inka menatanya di meja sepiring berisi empat telur ceplok dan semangkuk sayur sop di wadah kaca. "Tunggu bentar nasinya belum tanak."

"Saya nggak makan nasi pagi-pagi."

"Makan. Cobain dikit," tekan Inka sambil mengaduk nasi dalam rice cooker dan mengambilkan sedikit porsi untuk Adnan. "Harus ada karbo biar semangat seharian."

"You're acting like you're in charge of me."

Inka berdecak memperingati. "Dicoba dulu, Mas. Dengerin sekali apa kata istrinya. Sarapan." Inka serahkan sepiring kecil nasi ke depan Adnan, dan ia ambil bagiannya sendiri. "Semalem abis nguras tenaga, harus diisi dulu, siapa tau nanti malem butuh lagi." Inka letakkan di piring telur ceplok bagian Adnan. "Cobain. Bapak yang kasih tau cara goreng ceplok yang enak."

Adnan menatap telurnya. Ada bagian kering di ujungnya. Kuningnya belum matang sempurna, namun juga tidak cair. Teksturnya mirip bubur.

"Makan, Mas. Jangan cuma diliat." Inka tempatkan sendok dan garpu di atas piring Adnan.

Meski ragu, Adnan akhirnya mencoba dalam potongan kecil. Suasana dapur sunyi sejenak. Hanya terdengar sendok yang menyentuh piring.

"Enak, kan? Iyalah enak."

"Saya nggak bilang enak," sangkal Adnan.

"Iya, enak. Udah ngaku aja, enak." Inka tidak terima bantahan. "Makan yang banyak. Abisin. Siapa tau nanti malem butuh istrinya lagi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top