24| Titik Nadir Bapak

Sebetulnya aku gak mau update sekarang. Tapi agak kaget karena naiknya cepet. Yaudah gpp deh ya. Anw, halo yg baru datang dan kenal karyaku.

Kalau yg ini bisa 300 lagi belum seminggu, aku lanjut momen gemes pasutri bodong ini

Jangan lupa klik bintang dan komennya

***

Masih ada kemarahan yang tersembunyi di tiap ruas tubuhnya.

Adnan pikir dengan mandi air dingin bisa membuatnya lebih tenang. Namun, rasa panas itu masih membara, menggerogoti ketenangannya.

Setiap tetesan air di kulitnya seolah membawa kembali gambaran Inka dengan tatapan tajam, senyum sinis mencabar, dan kata-kata menikam yang keluar dari bibirnya yang mungkin, mungkin saja membuatnya ingin cicipi lagi.

Bukan karena Adnan memuja dan kecanduan. Sebut saja karena ia marah, dan tak temukan cara lain untuk menghukum wanita sekeras Inka.

Adnan tidak tertarik pada istrinya. Ia kukuhkan itu dalam benak. Ya, benar, Inka tak cukup mampu menarik perhatiannya.

Mungkin secara seksual benar dia ingin, Adnan anggap itu kondisi alami biologis. Tetapi tidak dengan yang lain.

Namun memang benar, Adnan menginginkan wanita itu, tidak lebih dari sebagaimana seorang pria ingin tuntaskan hasratnya.

Benaknya menegaskan, ia tak ingin wanita itu ada di kamarnya. Melayaninya sekarang sampai ia puas setelah polemik mereka beberapa saat lalu.

Ia tak butuh Inka di kamarnya malam ini.

Langkahnya berjalan mendekati rak buku di kamar. Mencari apa yang bisa ia baca sebagai teman sebelum tidur. Jarinya menyusuri satu demi satu punggung buku.

I want you to treat me as a proper wife.

Sasinka... Batinnya mengeluh, karena tanpa sengaja hatinya menggaungkan ulang bagaimana cara Inka bicara, suaranya, tekanan nadanya, semuanya terekam jelas.

What are you, Mas Adnan?

Berusaha hiraukan gema suara itu dalam kepala, Adnan bawa satu buku ke ranjang. Menyamankan punggungnya di sandaran.

Kasihan lihat kamu susah payah dapat sesuatu dari orang tuanya.

Adnan menarik napas. Sasinka...

Two pathetic people living together.

Huruf-huruf di halaman buku seakan menguap. Segala tulisan di sana bagai tak lagi penting.

Two pathetic people living together.

Memang benar, mereka adalah dua orang yang terjebak dalam rutinitas yang sama, dua orang yang terperangkap dalam hubungan yang tampaknya sudah kehilangan arah di bawah satu atap rumah tangga.

Hanya saja Adnan terusik dengan kalimat itu. Suara Inka seperti guntur di tengah langit sunyi.

I want you to touch me.

Lalu muncul lagi suaranya yang lain, silih berganti.

I want you to touch me.

Adnan mencoba menenangkan diri. Tarikan napasnya cukup panjang. Berharap suara itu bisa mereda. Tapi tidak.

Suara Inka semakin menguat. Kalimat itu terus berulang. Memaksa untuk didengar, memaksa untuk...

I want you to touch me.

... membuatnya menutup buku dengan kasar, membantingnya ke samping, dan beranjak turun dari kasur.

Ia sadar ke mana kakinya melangkah. Adnan sepenuhnya sadar di mana kini berada; di depan pintu kamar Inka. Mengetuk dengan sedikit cara tidak sabar.

Ketika penghuninya muncul di ambang pintu, masih berbalut gaun malam tanpa kimono, dengan tatapan seakan bertanya 'mau apalagi' Adnan lekas berkata, "Layani saya." Bak dirinya adalah penguasa.

Penguasa dari tubuh istrinya sendiri.

***

Hidup Bapak cukup pelik. Terlalu banyak disinggahi luka.

Inka tidak tahu dan tidak berani menebak, sebanyak dan sedalam apa luka-luka itu. Titik nadir Bapak sudah merosot jatuh sejak menyadari dirinya bukan hanya gagal menjadi laki-laki yang dicintai Ibu, melainkan juga gagal menjadi ayah yang menjaga putrinya.

Pada satu pekan, Bapak kembali dari Jakarta. Katanya dapat jatah libur dari pemerintahan walau di rumah pun ponselnya tidak mau diam. Tetapi jiwanya sebagai sosok ayah di rumah jauh lebih besar ketimbang tugas-tugas negara.

"Selasa Bapak sudah harus balik," lapornya pada Inka di saat mereka tengah menyiangi empat ikan gurami. Inka tidak bisa masak kalau bukan Bapak yang ajari. Bapak sempat menjeda saat menonton Inka tak cukup becus menyingkap perut gurami. "Potongnya gini loh, Nduk, lihat Bapak ini..."

Inka melihat luwesnya pisau di tangan Bapak membelah perut gurami. Letak sobekannya presisi di bagian tengah.

"Dulu sebelum ke Jakarta juga banyakan waktu di kampus." Inka menjawab perkataan Bapak dengan nada satiris, masih dengan tatapan yang menekuni cara kerja Bapak membuka perut ikan dan mengurai isinya. "Kenapa jadi tiba-tiba banget bilangnya sok sedih begitu."

Bapak tertawa. Menatap saksama putri tengahnya yang tumbuh cantik mirip istrinya, masih berbalut seragam SMA. "Sudah ini, begini." Bapak tunjukkan hasil karyanya. "Hati-hati nyiletnya. Terus kamu ambilin isinya sampai bersih."

Inka ikuti instruksi Bapak, lalu bibirnya tidak tahan untuk menggibah. "Pak, Ibu masih marah ya sama Bapak?"

Bapak tertawa baik-baik, tidak berniat membalas. Dari caranya tertawa saja, Inka langsung merasa iba karena Bapak dijatuhi takdir dengan wanita seperti Ibu.

"Dia yang salah kok dia yang ngambek." Sambil membuka perut ikan, sambil Inka menggerutu. "Berasa jadi korban banget."

"Inka." Bapak menegur, memanjangkan nada dari namanya. Namun Inka tetap tidak terima. "Bener kan apa yang aku bilang, Ibu yang main belakang dari Bapak, dia juga yang ngamuk. Jahat banget loh Ibu sama Bapak. Bapak sekali-kali tegas dong. Masa udah diduain dan jelas-jelas ada bukti masih lembut gini."

"Hati Ibumu itu terlalu sensitif, tidak bisa keras-keras. Nanti yang ada...."

"Nggak, Pak. Ibu kayak gitu karena Bapak selalu ngalah. Karena Ibu tau Bapak nggak akan macem-macem walau Ibu buat salah. Akunya yang kesel. Aku kesel banget, Pak," keluh Inka berapi-api. "Tiap Ibu yang salah, Bapak yang minta maaf. Selalu gitu, diulang lagi, diulang terus, siklusnya selalu sama. Ujung-ujungnya apa? Bapak yang sakit, kan? Bapak yang nanggung beban mental sendiri."

"Nggak apa-apa. Bapak juga nggak keberatan. Tidak merasa dapat beban mental. Mungkin cara Bapak yang salah pas negur," kelakarnya cukup tenang.

"Tuh kan! Gitu!" Saking menggebunya, Inka sudah berhenti berkutat dengan gurami. "Bapak selalu kayak gitu. Itu jeleknya Bapak. Sekali-kali coba Bapak teriak ASU. Nggak papa, Pak."

Menanggapinya, Bapak malah kembali tertawa. Namun tidak berkata apa-apa.

"Udah lah Bapak stop sabar. Nggak usah sabar, sabar, sabaaaar mulu. Bapak bukan Nabi. Bapak-bukan-Nabi," ulangnya menekan agar Bapak mau paham. "Bapak itu manusia biasa yang punya batas sabar."

Hendak Bapak meluruskan ucapan Inka, namun terhalang manakala seseorang tiba-tiba datang ke depan mereka. Wajah gadis itu merah bersimbah air mata.

Itu Tatisla. Putri pertama keluarga.

"Pak..." Kakaknya berdiri di sana, terisak hebat, dengan badan gemetaran. Kemeja yang dipakainya kusut berantakan. "Bapak..." Detik berikutnya Isla berlutut di lantai. Memeluk kaki Bapak amat kencang, dan yang terdengar hanyalah, "Maafin Isla. Maaf.... maaf..."

Sempat terkejut, Bapak membungkuk mencoba menarik Isla berdiri. "Ada apa, Nak?"

"Maaf..." Pelukan di kaki Bapak mengencang, mengirim getaran hebat.

"Nak...."

"Maafin aku..."

"Iya, ayo berdiri dulu."

"Maafin aku... aku hamil."

Hancur. Patah. Tersayat.

Bapak mendadak kaku di tempat, menatap Isla yang terkulai memeluk kakinya, air mata Isla mengalir deras, jatuh ke lantai dan punggung kaki Bapak, menciptakan jejak lara yang tak bisa dibendung. Sementara tubuh Bapak sendiri sudah gemetar, tak mampu menahan perasaan yang menggerus dalam diri.

Seperti terbelah, hatinya terasa hancur mendengar pengakuan itu. Hati ayah bertanggung jawab mana yang mau mendengar ini dari putrinya yang belum menikah?

Mengetahui Bapak yang membeku total dan tidak berbuat apa-apa membuat tangis Isla kian pecah dengan puluhan kata maaf yang tumpah. Seiring dengan itu, genggaman gagang pisau di tangan Inka menguat hingga buku jarinya memucat. Seakan bisa ikut merasakan kehancuran hanya dengan menatap gurat wajah Bapak.

Tapi yang membuat Inka merasa Bapak semakin hancur adalah, di saat Bapak justru dengan lembut menarik Isla ke dalam pelukannya. Bukannya marah atau membentak, Bapak malah menyelimuti kakaknya dengan kasih sayang, seolah-olah ingin merangkul semua kesedihan dan meraup kepedihan itu di atas pundaknya saja.

Pelukan Bapak begitu erat, seakan tak ingin melepaskan Isla. Dan Inka tahu, itu adalah pelukan penuh nestapa, juga keikhlasan.

Namun tanpa Bapak bicara, Inka jelas tahu. Itulah keruntuhan pertama seorang ayah. Kata 'gagal' bagai tercetak jelas di mata Bapak dengan huruf tebal.

Mata Bapak seakan-akan baru menyampaikan jika lelaki itu telah gagal menjaga anak perempuannya.

Dalam hidupnya, Bapak telah menerima dua kali kegagalan. Namun betapa ikhlasnya Bapak ketika Bapak justru menarik putri sulungnya berdiri, mengangkatnya lembut, dan membuka lengan sebelum menyalurkan dekap erat. Sangat erat. Seakan menyalurkan kemarahan, kesedihan, dan rasa terpukul melalui pelukan. Mungkin juga itu pelukan paling erat yang pernah Inka lihat dari sosok Bapak.

Sejak saat itu juga Bapak hampir selalu tegaskan, baik tersirat maupun tersurat, agar tidak ada lagi anak perempuannya yang bisa disakiti pria mana pun. Maka Bapak rela lakukan apa saja agar ketiga anak perempuannya takkan lagi ada yang terluka. Terutama jika itu disebabkan oleh pria.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top