23| Dua Orang Menyedihkan
Jangan lupa klik bintang dan tinggalkan komennya guys
Part ini mencakup 3,5k words sekaligus jadi penutup th 2024. See you di 2025
***
Grup WhatsApp yang hanya dihuni empat orang (ia, Adeline, Agnes, dan Janita) mendadak ramai. Dipenuhi kolom-kolom pesan dari Agnes.
Agnes
Sasinka perempuan anjing
Dirinya disambut kalimat pedas.
Agnes
-Cewek gila
-Laki lo emang bukan orang biasa!!!!
-He is the son of the owner of Dharma Group more than ten tipe A hospitals! Do you even understand what that means?
-Laki you practically own a healthcare empire!
Inka
-Halo, Ibu Agnes. Ada apa nih kalo boleh tau dateng2 ngamuk
-Ngatain saya anjing pula haha
Agnes
Let me break this down for you, okay?
Inka
Sure. Ill be a good girl for you
Agnes
-Gue udah cari tau semua
-Gue cari tau ke akar-akarnya lewat informan laki gue
-Dharma Group owns TWELVE Tipe A hospitals, the TOP TIER in Indo. That means they have EVERY KIND of specialist, ultramodern equipment, and VIP services got it??
Inka
-Aduh ngeri sampe dibold gitu
-Baik. Lalu?
Agnes
-Memang cewek anjing la
-Maksud gue they're not hospitals!!! They're healthcare empires fuck!!!!
-Do you even know how much those hospitals make in a year???
Inka
Haduh... kurang tau beb. Belom nanya laki gue haha
Agnes
-THOSE HOSPITAL ARE PULLING in up to 8 TRILLION RUPIAH Bego you
-You bego
-Yang bego cukup ani-ani aja
Inka
-HAHAHA
-Ya Allah dikatain bego
Adeline mengirim emoji tertawa terbahak-bahak. Sedang Janita tampaknya belum membuka ruang obrolan grup.
Agnes
-TRILIUNAN RUPIAH SETAHUN SINTING!!!
-Can you imagine? Dan angka itu baru perkiraan kasar dari gue dan suami
-And do you even know how they hasilin duit triliunan?
-These hospitals rake in money from multiple streams. Then, those surgeries aren't cheap. Cardiac, neuro, oncology yang mereka punya are goldmines
Sekali lagi Adeline muncul tetapi dengan emoji terkejut. Kali ini lebih banyak hingga dua baris. Sementara Inka tetap menyimak yang bahkan ia baru tahu informasi ini sekarang.
Triliun? Pertahun?
Sinting!
Agnes
-Oh, jangan lupa their pharmacies
-They run the WHOLE system SASINKA ARUMINDARI DJATMIKA!!! You can't get prescriptions filled anywhere else
Inka membaca pesan-pesan Agnes yang penuh semangat seperti tembakan meriam, lalu akhirnya terkekeh sambil menggeleng. Jari-jarinya bergerak cepat di layar ponsel untuk membalas.
Inka
-Agnesia anak bapak Suryono, you chill a bit lah. Why you so drama drama queen? Relax can or not?
Inka balas pesan Agnes dengan gaya bicara singlish, mengingat suami Agnes sendiri berasal dari sana.
Kemudian Inka menambahkan: I know lah my husband not ordinary, but you no need to shout at me in the group like this. Chill leh, nanti you high blood pressure
Agnes
Girl, I don't know if I should be impressed atau mesti khawatir sama lo sekarang
Inka
Why why??
Agnes
-Your husband is the SON of the owner of Dharma Group!!
-And you STILL working HRD???
-Dealing with staff issues, duduk 9 to 5, ngurus spreadsheets etc etc, interview ribuan orang. Seriously babeeee?????
-Nita bilang lo masih masuk kerja. Cuma cuti gak sampe seminggu
-GILA. Kata gue lo gila!!!
-Demi apa gue tanya???
-Demi apa lo menyia-nyiakan nasib baik ini Sasinka????
Inka
-Ya gue masih kerja lah
-I'm still on the clock
-Masih keiket kontrak
-Masa gara2 nikah gue harus resign
Agnes
You're married to the guy who owns all duhhhh. Up to 8 TRILIUN rupiah pertahun sasinka!!
Inka
-Baik. Bisa dimengerti
-Apakah ada lagi informasi tambahannya, Ibu Agnes?
Agnes
-You perempuan gila
-Kalau gue jadi lo, I'd be sipping champagne in a penthouse by now
Inka
-Eyyy, nah lah, my husband got other plans for me
-He wants me to sip something else from his 'anu' iykwim
-That's the best thing I ever taste lah. Nikmatnya lebihin champagne
Agnes
-Bodo amat. Suka2 lo deh
-Ibarat dikasih life insurance premium cuma2 tapi milih paket basic
Inka
-Hahahaha
-I admit my husband memang premium package lah
Adeline cuma mengirim emoji terpingkal.
Agnes
-Gue yakin ure either the HUMBLEST person I've ever met atau emang seriously OUT OF YOUR MIND
-Out of your mind tololnya
Inka tertawa keras membaca rentet pesan menggebu Agnes. Jarinya kembali membalas pesan dengan cara santai dan cukup panjang.
Inka
-Yang kedua sih kayanya
-Tapi gini ya sayang-sayangku. Just because I married him doesn't mean I need to just sit at home doing nothing, setuju?
-Setuju dong
-I got my own life, my own job, not everything is about his money
-Gue akui jadi a rich stay at home woman adalah cita2 gue, but I'm not gonna just stay at home, take care rumah dan anak kita dan lalalala wait for him to throw money at me. Oh, tentu tidak seperti itu sisters
-I want to work juga lah biar gak stress, do something meaningful for myself also
Agnes
-Hmmmmmm
-Susah ngasih tau you
Inka
-But you're right lah, Nes. You ada benernya. I don't mind the triliunan rupiah kalo mau dilempat ke bininya cuma2. Ikhlas lahir batin. Kalo bisa sekalian gue menawarkan diri buka donasi ke laki gue
-But for now, di luar apa yg dikasih laki gue, I still gotta earn my own paycheck, okay?
Untungnya Agnes tidak menanggapi seluruh pesannya secara serius. Sebab perempuan itu malah menjawabnya dengan pesan baru: HUHUHUHU... temen gue jadi konglomerat beneran. Akhirnya wishlist gue punya temen konglo tercapai. Lo tau gak??? Gue gak berenti ngomongin lo sama suami ke laki gue
Inka balas dengan emoji tertawa. Lalu ditutup oleh Agnes: Kadoin gue birkin ya ibukkkk dokter
***
8 triliun. 8 triliun. 8 triliun.
Informasi itu terasa mengitari kepala.
Serius, 8 triliun dalam satu tahun? Meskipun terdengar luar biasa, sebenarnya itu masuk akal, mengingat Rumah Sakit Dharma tidak hanya beroperasi di Jakarta.
Tapi tetap saja... 8 triliun?
Inka mulai berpikir. Mengambil buku catatan untuk mencari celah logika. Hitungan kasarnya, jika pendapatan bruto Rumah Sakit Dharma mencapai 600 miliar per bulan, setelah dipotong biaya-biaya seperti penyusutan, pajak, asuransi, investasi, pemeliharaan fasilitas, hingga gaji dan tunjangan, laba bersih mungkin berkisar antara 100 hingga 160 miliar.
Maka artinya Inka hanya mendapat jatah 18% dari rencana mereka. A single payment. Not monthly, not yearly, just once. Keningnya mengerut tidak terima menatap hasil hitungannya sendiri.
Was that fair? Dahinya semakin mengerut dalam. For something that could be worth so much more?
Ihhh, Adnan Akhtar memang orang kikir.
Lantas sesuatu seperti baru memukul belakang kepalanya. No, Sasinka, no. That's not how hospitals work. Sejenang teringat ucapan Bapak. "Jangan pernah jadikan rumah sakit dan sekolah sebagai ladang bisnis."
They exist to serve, not to profit.
Apalah arti uang 30 miliar.
30 miliar dengan uang bulanan senilai 28 juta rupiah mungkin hanya setetes air di lautan bagi Adnan dan keluarga. Jumlah itu mungkin seperti membuang puntung rokok alias tak punya nilai. Dan kalau di dunia kerja, bayarannya sebagai istri pura-pura ini tergolong underpaid.
Tetapi mau bagaimana lagi. 30 miliar pun lebih dari cukup untuk membeli kebebasan dari tuntutan Ibu. Lebih baik begini. Lebih baik terbebas dari suara ricuh Ibu dan dapat uang sebesar 30 miliar.
30 miliar.
Inka mulai berandai-andai untuk apa uang itu ia pergunakan. Membangun bisnis pakaian? Atau membuka layanan agen perjalanannya sendiri?
Oke, akan ia pikirkan ketika 30 miliar itu sudah jadi miliknya. Saat mereka cerai nanti.
Pikiran itu cepat terganti pada sesuatu yang lain. Ia kembali mengirim pesan di grup.
Inka
Menurut lo bertiga, badan gue ini bikin cowok nafsu nggak?
Agnes
Buset. Pelan-pelan mbak
Giliran Janita muncul setelah ternyata sedari tadi sibuk memberikan reaksi tertawa pada tiap kolom chat yang menurutnya lucu.
Janita
Die nggak tau aje berapa banyak laki yg dm gue kalo post sg bareng die
Adeline
Even gue cewek pun naksir liat kulit eksotis lo. Youre stunning tau. Apalagi pas lagi golden hour
Agnes
-Ask your man lah. Nepsyong gak dia liat istrinya bugil tiap malem. If he's wild, maybe you really do turn him on
-If he doesn't wanna stop, then it means you spiked his drink with something, eh?
-Kalo gak mau udahan tandanya lo paksa dia nenggak afrodisiak
Janita
Teori darimana begitu?
Agnes
Dih nggak percaya
Inka sukses tertawa terbahak-bahak membaca pesan Agnes. Sambil mengetik, mulutnya ikut bergumam mengikuti irama ketikan, "Excuse me?! I don't need tricks, Ibu Agnes. This body is natural seduction. Don't underestimate me."
Belakangan Inka dibuat terlalu banyak berpikir, sebetulnya ada masalah apa pria itu dengannya.
Aneh saja. Saat mereka pertama kali terlibat ciuman panas di Yogyakarta, Adnan tampak seperti ingin melahapnya hidup-hidup.
Sekarang, ketika tiba waktunya diberi ruang untuk mereka bisa tidur bersama, pria itu malah sibuk dengan kegiatannya sendiri, yang entah apa, bahkan sampai enggan menampakkan diri di depan wajah istrinya.
Memang sesibuk apa Adnan Akhtar di rumah sakit?
Apakah dokter memang selalu sibuk hingga tak punya waktu menetap di rumah barang semalam?
Atau mungkin rumah sakit hanya jadi akal-akalan Adnan agar mereka tak berjumpa di rumah?
Atau sebetulnya Adnan memang tak minat padanya? Masa iya begitu?
Puluhan tanya hadir silih berganti melintasi kepala.
Sungguh mustahil, Adnan tak tertarik mencumbunya di malam pertama mereka selesai resepsi. Di atas ranjang, ketika ada banyak kesempatan datang.
Malam itu akhirnya ia putuskan memakai gaun malam paling seksi, baju dinas yang baru dibelinya kemarin melalui situs belanja daring.
Benar apa kata Adeline, kulit eksotisnya memang senjata. Inka tidak berkulit putih seperti yang dianggap ideal oleh kebanyakan wanita Indonesia, dilihat dari banyaknya produk pemutih yang beredar.
Kulitnya sendiri cokelat khas Jawa, bercahaya seperti tanah setelah hujan, dan itu yang membuatnya istimewa.
Ia tak pernah berniat menggunakan produk pemutih apa pun. Bukan karena tak mampu, melainkan karena ia kepalang mencintai kulitnya. Baginya, warna kulitnya adalah identitas, sesuatu yang membuatnya merasa utuh.
Lagi pula, ia tak mau makin terlihat mirip Ibu. Sosok dengan kulit putih bersih dan cerah. Jika dilahirkan kembali Inka akan jawab hal yang paling tak diinginkannya adalah menjadi semirip Ibu.
"Oke." Ia berseru. Di depan cermin, Inka berpose sensual, mengabadikan dalam ponsel, lalu mengirim dua foto yang dianggapnya paling panas kepada Adnan melalui pesan WhatsApp. "Mampus deh. Masa nggak terangsang."
Bentuk tubuhnya dalam foto tampak sekal dan kencang, dipoles dari hasil latihan pilates dan alat-alat gym tiga tahun terakhir. Tapi apakah itu cukup? Apakah itu yang Adnan inginkan?
Harap-harap cemas, Inka berdiri lagi di depan cermin panjang, menilai diri sendiri. Gaun hitam dengan belahan tinggi (lebih mirip potongan kain serba kekurangan daripada pakaian layak) menonjolkan lekuk tubuhnya yang tampak menggairah-kan, atau setidaknya itulah yang ia yakini.
Mungkin, pikirnya, ini adalah cara tepat menarik perhatian pria yang bahkan tidak terlihat berminat padanya. Sebab, sejauh ini, sikap Adnan sudah cukup jelas. Alih-alih menyentuh istrinya, Adnan lebih memilih tidur terpisah, sering kali menghilang dari radar tanpa penjelasan.
Oke, Adnan Akhtar, mari lihat siapa yang bisa bertahan sampai akhir. Batinnya berseru riang diikuti suara samar deru mobil dari luar jendela kamar.
Inka lari membuka pintu kamar, menyibak sedikit tirai jendela rumah, dan menemukan Adnan sedang membereskan mobil. Setelah itu turun mengunci mobilnya dengan remote di tangan.
Saat Adnan menuju pintu, ia lekas berhambur duduk setengah berbaring di sofa, menjulurkan kaki rampingnya dan menekuk satunya. Pura-pura membaca buku kedokteran Adnan yang ia temukan di rak-rak luar kamar Adnan.
Sayangnya, Adnan berlalu begitu saja. Melintasi ruang tengah dan berhenti di dapur. Mencari satu atau dua teguk air putih, dan saat ingin beranjak ke kamar langkahnya terhenti. Menatap dalam sosok Inka dengan balutan gaun malam yang entah dengan apa harus ia deskripsikan. Pahanya dipertonton-kan. Tali di kanan kiri pundaknya seolah malfungsi. Tiada guna untuk menyangga buah dadanya yang hampir tak tersamarkan.
Hanya saja mata tajamnya tak berlama-lama di sana. Yang jadi daya tarik perhatian Adnan justru buku dalam genggaman tangan Inka.
"Eh, Mas Adnan udah pulang." Inka lekas menutup buku, pura-pura terkejut, lantas memberi atensi pada suaminya dan berdiri bangun menghampiri.
Namun, Adnan justru mengabaikannya, melangkah ke sofa dan menarik bukunya dengan kasar. "Berani kamu sentuh buku saya." Tidak ada unsur kemarahan, hanya ada nada tegas dan sikap protektif pada barang miliknya. "Jangan pegang barang saya, kalau saya nggak di rumah."
Inka mengerutkan kening. Jelas sekali mengandung perlawanan dan tampak tak suka. "Excuse me?"
"Saya nggak suka barang saya disentuh orang."
Inka melipat tangan di depan dada, menatap Adnan dengan gurat serius yang hampir kehilangan jejak canda. "I've told you before. Kemarin aku bilang apa coba ke suamiku? I don't like it when you treat me like I'm some freeloader." Suaranya tegas, meski masih terkendali. "This isn't just your house. I live here too, okay? Bisa dipahami, Mas Adnan?"
Adnan mengembuskan napas sejenak, tidak menghindari konfrontasi, tetapi memilih untuk memilih kata-kata dengan hati-hati. "That's not what I meant." Ia akhirnya menjawab, suaranya lebih tenang. "It's not about the house. It's about my things."
Inka tatap Adnan lebih lama, mencari jejak ketidakkejujuran di balik kata-katanya. "Oke. Fine," ujarnya mengalah, suaranya sedikit melunak. "But stop acting like everything around you untouchable. We're sharing this life now, Mas-Ad-Nan-Akh-Tar. I still deserve dihargai sebagai istri."
Adnan mengalihkan pandangannya sejenak, rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang tak ingin diucapkan. "Fair enough," tuturnya singkat, suaranya tetap rendah namun tak sepenuhnya lembut, mirip ujaran konsesi. "Next time, ask first. That's all I'm saying."
Inka bergeming. Tatapnya tertuju pada pria yang sudah mendaki anak tangga.
"Mas Adnan," panggilnya pelan ketika lelaki itu sudah mencapai tangga keempat, membuat Adnan menoleh setengah hati.
Inka menghela napas pendek, menatap Adnan lurus-lurus, lalu berkata mantap, "I want you to touch me." Dalam kata lain Ia ingin Adnan juga menginginkannya sama seperti malam mereka di Jogja yang sempat tertunda. "I want you to touch me," ulangnya.
Adnan tertegun. Memandangi wajah Inka dengan sorot mata sulit diartikan.
"I'm..." Inka menelan ludah, tak ingin tampak kecil di depan pria itu. "I'm done with my period," ujarnya dengan berani. Dagunya sedikit terangkat walau di dalam sana jantungnya menabuh genderang. "Don't you want me?"
Berhenti, Inka. Sudah cukup. Nalarnya menekan ia mundur.
"Or you're scared you actually want me?"
Akal sehatnya mungkin sudah benar-benar musnah.
Adnan seketika menyunggingkan senyum meledek. "Hati-hati sama yang minta, Sasinka."
Inka menaikkan sebelah alis. "Oh really?" Bibirnya melintang tinggi. "Then prove it." Berhenti Inka, berengsek. Berhenti! Batinnya terus berteriak. Bertentangan dengan mulutnya yang tak mau diam. "Unless..." Ia mendekatkan tubuhnya ke tangga pertama. Tangannya dengan mudah meloloskan kimono hitam yang langsung meluncur ke lantai. Sukses menjadikan lingerie hitamnya sebagai tontonan gratis Adnan. "You're planning to spend the night alone. Again," katanya menggoda.
Demi Tuhan... apa yang baru saja ia katakan? Otaknya pasti sudah rusak.
Adnan tetap diam. Ingin tahu sampai mana wanita yang hampir setengah telanjang itu bertahan dengan ucapannya.
"I mean... we're married. A real marriage. Nikah beneran." Inka angkat sebelah pundaknya coba tutupi rasa gugup. "You wanted me once. I remember that. Waktu di Jogja aku tau kamu juga mau. Aku bisa ngerasain semangatnya kamu waktu mau lucutin bajuku."
Adnan masih bergeming. Namun tatapnya menyortir tubuh Inka dari ujung pundak, turun ke perut, kaki, lalu kembali lagi ke wajah Inka. "Kamu mau tau apa yang saya pikirin soal kamu sekarang?"
Hening menguasai. Tatap keduanya bersirobok.
"You're pathetic, Sasinka. Lama-lama saya kasihan lihat kamu."
Bagai ditampar bolak-balik tanpa ampun, Inka mencoba menarik napas. Tapi rasanya udara tidak sampai ke paru-parunya.
"Pathetic?" Suara Inka rasanya seperti ikut membeku, tetapi ada tawa geli yang terselip di antara kalimatnya. "Then what are you?" Tangannya di bawah sana mengepal. "You think you're perfect enough to judge me? Then what are you, Mas Adnan?"
Selanjutnya Inka melangkah maju, mencoba menapaki beberapa anak tangga tersisa hingga dirinya berhadapan dengan sosok jangkung suaminya. "Then... who-are-you?" tanyanya lebih pelan. "Siapa kamu bisa nilai saya?"
Adnan belum kunjung menjawab. Selama mengenal Inka, baru kali ini ia temukan tatapan lain dari wanita yang hampir selalu menunjukkan sisi main-main di depannya.
"Kalau aku menyedihkan... terus kamu apa, Mas Adnan?" Inka menyunggingkan senyum sadistis.
Tatapan Adnan tidak berpaling. Masih bergeming. Rautnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda terpancing.
"Tadinya aku nggak mau bilang ini, tapi..." Inka menilai Adnan sejenak. "Aku juga kasihan lihat kamu yang harus susah payah untuk dapat sesuatu dari orang tuanya. Pada dasarnya kita memang dua orang yang butuh dikasihanin, aren't we?"
Kali ini Adnan sedikit terpancing. Otot rahangnya tampak mengencang melihat wanita yang tiba-tiba tertawa geli.
"Aku, kamu, nikah. It's hilarious, isn't it? Two pathetic people living together and playing house." Inka tutup dengan endikan bahu dan tawa penuh ironi. "Kasihan. Aku, kamu, kasihan," gumamnya sambil menuruni anak tangga satu persatu dan memungut kimononya dari lantai.
Selama itu pula pandangan Adnan mengintai punggung wanita itu. "Be careful with your words, Sasinka."
Inka sigap berbalik dan temukan raut Adnan yang sudah membara. "Oh? Hati-hati?" Kemudian ia terkekeh. "Mas Adnan mau ngancem aku? Iya? Seneng ngancem istrinya? Seneng buat istrinya takut? Uuu, takut banget," katanya meniru dengan cara meremehkan. "Gitu? Suka? Suka liat istrinya ketakutan, Mas?"
Adnan tahu saat ini ada kemarahan yang mendidih di pelosok sanubarinya. Tetapi entah bagaimana ia sendiri tidak mampu mengatakan dengan lantang.
"Coba aku mau tau, kenapa suka ngancem istrinya?" Inka menaikkan dagu. "Kenapa istrinya disuruh hati-hati sedangkan kamu sendiri nggak bisa hati-hati. Coba tolong dijelaskan, Mas Dokter."
Masih bergeming, Adnan kunci bibirnya rapat. Tetapi kemarahan terus bernaung di depan wajahnya.
Tidak kunjung mendapat jawab, Inka lekas menggeleng "No. I'm not a puppet in your house, Mas. I want to you to treat me as a proper wife, it's because I know I deserve it. Kalau kamu mau aku hati-hati, kamu juga harus hati-hati, karena selain Om Parma, aku yang punya kartu AS kamu. This marriage."
Inka pikir ucapan panjangnya sudah berhasil mendorong jauh Adnan dari arena pergulatan. Akan tetapi pria itu kini justru tersenyum geli. "Kamu mulai coba ancam saya?"
"Oh? Do you think that was a threat? Of course not, Mas sayang. I know my place," tandasnya dengan nada lembut.
Ada sedikit senyum tipis di bibir Inka. Terkesan pasrah. Tatapannya pun turut melunak. "Kapasitasku nggak akan mampu saingin kamu," lanjutnya, "Barusan aku cuma bilang aku punya kartu AS kamu supaya kamu bisa lebih hargai aku."
Di balik tampilan merendah itu, Inka tahu persis apa yang sedang ia perbuat. Sebagai kepala HR, ia sudah lama belajar tentang manipulasi psikologis, tentang bagaimana seseorang bisa menggunakan ketidakberdayaan untuk dapat apa yang diinginkan.
Ia ingin membuat Adnan merasa lebih unggul, lebih berkuasa, lantas menciptakan ilusi kemenangan bagi Adnan semata-mata untuk mencari di mana saja keberadaan titik lemah pria ini.
"Mirip pelacur." Tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur dari bibir Adnan.
Inka mengerutkan dahi. Berharap salah dengar. "Pardon?"
"Kamu makin mirip pelacur, Sasinka."
Bagai lecutan di kulit, kalimat itu sudah mampu membuatnya mengeratkan genggaman pada kimononya di bawah sana. Perih. Lecutan dari ucapan Adnan terasa pedih, walau kulitnya tak terluka.
Tidak temukan padanan kata yang cukup tepat untuk membalas Adnan, ia tatap murka suaminya. Sudah tak sanggup sembunyikan amarah.
Namun ketika akhirnya tubuhnya tak lagi membisu, ia ambil langkah menuju Adnan. Membuang halus kimononya di tangga sebelum menarik sejumput kerah kemeja Adnan dengan ganas. Bibir mereka bertubrukan, kakinya bahkan berjinjit untuk bisa melumat liar bibir lelaki itu tanpa permisi.
Persetan. Persetan. Dialah setannya.
Biar ia tunjukkan bagaimana pelacur yang sebenarnya pria itu tuduhkan. Jika memang Adnan melihatnya tak lebih dari sekadar pelacur, maka akan ia kabulkan sendiri apa yang lelaki itu katakan.
Tidak peduli lagi apa yang sekarang dipikirkan lelaki itu tentangnya. Tidak peduli seberapa murahan ia saat ini di hadapannya suaminya. Ia hanya marah, marah lantaran Adnan terlalu apatis bahkan untuk sekadar mereka bisa berbicara dengan tenang.
Pagutan Inka berlangsung tanpa balasan. Seolah-olah yang dicumbunya adalah miniatur elastis belaka. Bahkan ketika tangannya merangkul leher Adnan, tak ada tanda-tanda lelaki itu bersedia membalas ciumannya.
Dan detik ketika bibir Inka hampir menjauh, saat itulah satu tangan Adnan meraup pinggang Inka. Menarik Inka untuk hapus sisa ruang dari tubuh mereka. Di mana pelukan Adnan sekarang tak bisa membuat Inka kabur atau menapak dengan benar di lantai, bahkan rasanya hampir melayang.
Tanpa menunggu, Adnan hadirkan pagutan yang tak kalah gila dari cara Inka memberi. Cukup panas sampai liur saling berbagi. Cukup panas sampai Inka tidak tahu apakah napasnya masih utuh ataukah sudah berhenti. Cukup panas sampai-sampai tubuhnya seakan meleleh dalam satu genggaman tangan kokoh Adnan.
Patut ia akui, detik ini Inka kehilangan arah, kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Semua yang tersisa hanyalah sensasi, panas yang membara, dan kehadiran Adnan yang memenuhi setiap celah kesadarannya.
Ketika kemudian ruang gerak punggung Inka terbatas, terpasung dalam satu lengan Adnan di pinggangnya, dan merasakan dinding tebal sebagai sekat, lelaki itu malah menarik diri. Melepas cumbuan panas tadi, sisakan napas yang terpenggal putus dan acak.
Entah mereka sudah ada di bawah tangga, berdiri di dekat pintu kamarnya.
Inka pikir mereka akan melanjutkan ke sesi lainnya dan Adnan takkan meninggalkannya setelah ciuman tadi.
Hingga pria berkata, "Saya capek. Butuh tidur."
Dengan kata lain, Adnan hanya menggiringnya kembali ke teritorinya, tepat di depan kamarnya sendiri, dan menjauhkan Inka dari pria itu secara tersirat.
Sekujur tubuh Inka mendadak dirajam rasa kaku. Sedang matanya memperhatikan punggung pria itu bergerak menjauh.
Dua kali.
Dua kali ia mendapat penolakan.
Dua kali, Adnan Akhtar tak mau menyentuh istrinya sendiri.
Dan sudah berkali-kali ia Adnan berhasil buktikan kata-katanya, bahwa di mata Adnan, ia tak lebih dari sekadar pelacur.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top