20| Berbagi Rumah

Ayo klik bintang dan komen
Untuk ikut batch 2 preorder novel, silakan lihat disorotan instagram idy.books. Masuk link channel whatsapp

***

"Kenapa tempel ini di kulkas saya?" Adnan meremukkan dalam kepal kertas yang belum lima jam lalu Inka tempelkan; sticky notes berwarna oranye keemasan yang ia tulis dengan tinta spidol biru bertuliskan: Our Beginning. 20/09/2024

Tidak terima dengan apa yang baru disebut Adnan barusan, Inka bertolak pinggang. "Apa? Apa? Tadi gimana? Kulkas saya?" Inka menyahut sarkas. "Kok bahasanya gitu, Dok? Apa tadi? Kulkas saya? Coba ulangi."

"Right, kulkas saya." Adnan berjalan cepat menyusuri dapur. Memeriksa apa saja yang salah di tempatnya yang mendadak sudah terasa sumpek. Bahkan meja ruang tengah yang ia biarkan kosong selama bertahun-tahun tiba-tiba sudah disinggahi figura foto mereka di hari pernikahan. "Kenapa iini di sini? Stink, kotor" katanya seraya mengangkat piring di atas countertop. "Buat kotor rumah saya."

Inka lekas menyambar piring keramik hijau tempatnya meletakkan sepotong kue tiramisu yang belum tuntas dinikmati. "Nggak usah lebay dong ah. Saya tau kok situ hygiene freak tapi bilang makanan bau itu namanya nggak ada adab."

Adnan bergerak membuka kulkas dan amarahnya naik satu tingkat. "Siapa juga yang kasih izin kulkas saya diisi sampah begini?" Yang dimaksud Adnan adalah minuman soda kaleng dan beberapa camilan yang baru dipesan Inka melalui aplikasi belanja online. Memang isinya cukup banyak, hampir memakan seluruh tempat yang ada. "Jangan sembarang di rumah saya, Sasinka"

Buru-buru Adnan mengambil beberapa kaleng sekaligus dalam satu raupan tangan.

Panik bukan main, Inka melepas piringnya ke meja dan kali ini merampas tiga kaleng minuman sekaligus dari genggaman Adnan. "Nggak, ya. Nggak bisa kamu kayak gini. Aku cuma nitip. Apa perlu aku beli kulkas sendiri?" ketusnya. "Aku lagi mens hari pertama. Kamu tau nggak ada yang namanya hormon estrogen, progesteron, atau peningkatan prostaglandin?" ucapnya secepat kereta. Berharap Adnan mau paham.

Namun seolah tidak mau peduli, Adnan terus bergerak mengeluarkan barang, berniat membuangnya ke tempat sampah tapi Inka lebih dulu mengambilnya dari tangan pria itu sebelum benar-benar mendarat di bak sampah. Wanita itu turut kelimpungan membenahi belanjaannya ke meja.

"Gara-gara itu tadi aku kram. Tau nggak tersiksanya kalau perempuan udah kram karena mens? Kamu tau kan dismenorea? Nyeri haid?"

Adnan mengeluarkan banyak bungkusan cokelat yang kembali dirampas Inka dengan cekatan, dan meletakkan lagi ke countertop bergabung dengan camilan lain. Beberapa bungkus jajannya bahkan sampai jatuh ke lantai.

"Masa dokter nggak bisa paham perempuan haid di pertama bisa nyeri banget," protesnya ikut mondar-mandir dan sesekali wajahnya hampir menabrak punggung besar Adnan.

"Saya nggak suka rumah saya kotor."

"Nggak usah mancing-mancing perempuan mens deh. Aku lagi nggak enak badan, makanya tadi belanja banyak, masa cuma perkara kulkas aja... Mas Adnan!" teriakan Inka seketika melengking karena sejak tadi ocehannya tak ditanggapi.

Suara ribut-ribut bunyi kemasan makanan tadi seketika berhenti.

"Kamu bisa dengerin aku nggak? Keterlaluan ya kamu. Apa sih artinya kulkas gitu ketimbang sakit perut dan mood istrinya. Toh, kulkasnya juga masih banyak space. Percuma hobi nolong nyawa orang kalau nolong mood istri sendiri nggak mau."

Adnan terdiam. Menatap pekat wajah cantik istrinya yang tampak belum mandi seharian ini. Lantas melempar segenggam sosis siap saji kemasan ke meja bercampur dengan makanan lain. "Beresin. Jangan buat rumah saya kotor."

"Rumah saya?" Tangan Inka kembali berkacak menonton wajah masam suaminya. Mengambil satu langkah maju dengan berani. "Gimana tadi? Rumah saya? Iya, iya, semua ini punya kamu. Iya, rumah kamu. Aku numpang. Iya. Terus apalagi yang nggak boleh? Biar besok sekalian aku obrak-abrik kalau masih bilang begitu. Bilang aja, ayo, sebut semua," balas Inka tanpa disertai amukan, sudah kembali ke taraf normal. "Coba sebut. Apalagi yang nggak boleh? Nggak boleh nitip makanan di kulkas, nggak boleh pake kamar mandi, nggak boleh makan di rumah, nggak boleh duduk di sofa, nggak boleh napak lantai, nggak boleh keliatan di depan muka kamu, nggak boleh main klarinet...."

"Saya nggak bilang itu, Sasinka."

"Lama-lama tak preteli beneran rumahmu loh, Mas," katanya dengan logat Jawa kental. "Beneran. Aku serius, pas kamu lagi dinas aku bongkar pasang sendiri rumahmu. Aku preteli gentengnya, aku copotin kaca rumahnya satu-satu, biar kamu makin gila sendiri. Aku jadiin kandang babi sekalian rumahmu. Hayo mau apa?"

"You better not disrespect me in my own house. Belajar jangan kurang ajar di rumah saya. Saya udah kasih kamu tempat—"

"Nggak ada ya, dokter Adnan Akhtar, nggak ada istilah kamu kasih aku tempat tinggal. Enak aja. Kamu sendiri yang minta aku ke sini. Ditawarin rumah sama Papa nolak. Maunya apasih, kok baru sehari nikah udah ngajak ribut." Dagu Inka menantang naik. "Coba kasih paham istrinya harus gimana? Di kontrak nggak ada tuh perjanjian was wes wes wos fafifu. Nggak boleh inilah, nggak boleh itulah, nggak ada tuh di kontak. Coba sebutin pasal berapa, ayat berapa?"

Sepanjang ocehan itu, Adnan tidak mendebat. Lebih banyak diamnya namun kentara jelas raut wajah frustrasi yang makin menjadi-jadi. "Buang. Saya capek."

"Sama. Saya juga capek liat Anda," balas Inka tidak mau kalah. Lalu mengambil kantung belanja paling besar yang baru ia simpan di bufet.

Melihat tas itu keluar dari bufetnya, kening Adnan sukses mengerut. "Siapa yang suruh simpen tas-tas nggak jelas begitu di lemari dapur saya?"

"Saya. Istrinya. Kenapa? Nggak pernah ya liat tas belanja? Makanya keluar. Belanja. Biar tau di dunia ini ada yang namanya tas spunbond. Keluar, jangan mainin saraf orang mulu. Jadi rusak kan sarafnya," singgungnya sembari mengepakkan tas spunbond berwarna lemon untuk mengemas semua belanjaan kembali. Besok akan ia tata lagi semua makanan ini kembali ke dalam kulkas. Lihat saja. Jangan pikir dia mau menyerah hanya karena amukan sementara itu.

Setelah beres semua ia angkut tiga tas sekaligus ke dalam kamarnya. Melengos kesal dengan entakkan kaki saat melintas di samping tubuh Adnan. "Rese."

Sepeninggal Inka, Adnan pandangi lagi tiap sisi dapurnya, memeriksa apa lagi yang salah. Peciumannya tidak pernah bermasalah. Tetapi ia sadar rumah ini seperti bukan lagi miliknya.

Semilir aroma wanita itu baru saja memenuhi penghidunya dan hampir tiap-tiap bagian rumahnya yang biasanya berbau clean tahu-tahu disinggahi sesuatu yang berbau manis.

Tak begitu lama, Inka keluar lagi. Memungut gumpalan kertas kecil yang baru dibuang Adnan ke tempat sampah. Lalu ia luruskan kembali dan tempelkan lagi di kulkas dengan sepotong stiker kecil yang baru ia bawa.

"Kamu...."

"Bodo amat." Inka melengos kembali, tidak mau peduli protes yang hendak dilempar suaminya. "Berani copot kertasnya lagi, aku pasang lebih banyak sampe ke jidat kamu." Selepas itu ia masuk ke kamar dan membanting pintunya hingga membuat bunyinya menggema di seluruh penjuru rumah.

"Jangan banting-banting pintu di rumah saya."

Dengan cepat Inka kembali membuka pintu. Wajahnya muncul di sana tanpa mengatakan apa-apa. Hanya menatap bengis Adnan dalam diam. Dan detik berikutnya, ia kembali membanting daun pintu dengan sengaja. Kali ini jauh lebih kencang.

***

Belum genap dua jam perdebatan, tahu-tahu Adnan mengetuk pintu kamarnya, yang Inka pikir pasti pria itu mau cari perkara baru. Tetapi yang dijumpainya adalah sosok besar Adnan Akhtar yang sudah harum berganti pakaian. Wajahnya telihat dingin dan segar sehabis mandi. Di tangan kanannya menjepit paper bag putih kecil.

"Kenapa?" Inka memutar bola mata. "Mood-nya belum naik."

"Bagian mana yang sakit? Sini." Derap langkah Adnan menuntunnya ke sofa. Mengeluarkan bungkusan berlabel rumah sakit yang baru diantar kenalannya beberapa waktu lalu. "Kamu bilang dismenorea? Nyeri bagian bawah perut?"

Berakting seolah masih kesal, Inka menjatuhkan diri di sisi kanan Adnan. Pandangannya terpusat pada bungkusan obat yang dikeluarkan lelaki itu dari tas kertas apotek, lalu berganti pandang menyorot figur tampan suaminya.

"Hari pertama memang kadar prostagladin meningkat." Sembari menyusun beberapa obat, sembari Adnan menerangkan. "Tadi kamu singgung soal dysmenorrhea, kan."

"Takut." Sengaja ingin memperpanjang masa obrolan, Inka pura-pura mengeluh. "Takut mati gimana, Dok. Takut banget ada penyakit dalem. Baru kali ini crampy-nya nggak biasa. Kepikiran kayaknya udah mau mati."

Mata Adnan mengekor. Menatap tajam istrinya sepintas. "Jangan berlebihan kamu. It normally lasts for a few days." Ia menata obat di meja. "Terlebih sakitnya perempuan di hari pertama karena adanya kadar prostagladin cukup tinggi yang picu kontraksi otot rahim. Fungsinya meluruhkan endometrium atau lapisan dinding rahim yang nggak terpakai."

Berani jamin, Inka mengerti semua apa yang Adnan sampaikan. Ia sudah menamatkan lebih dari enam buku mengenai pengetahuan fundamental wanita, termasuk masalah datang bulan di dalamnya. Akan tetapi, bagian paling menarik dari pelajaran tersebut ternyata mendengar langsung suaminya.

Aduh, boleh jelasin sampai cerai aja nggak sih?

Inka manggut-manggut. Inka menopang sebelah pipi selagi Adnan menejelaskan. Sesaat nyeri yang bedenyar-denyar di balik perutnya sejak sore tadi mendadak sirna.

"I see. Lalu? Coba tolong jelasin lagi istrinya biar makin paham." Ternyata lebih seru mendengar penjelasan langsung dari dokter yang merangkap suami ketimbang membaca buku.

"Seberapa parah?"

"Apa?"

Adnan menoleh. "Seberapa parah sakitnya sekarang?"

Inka menegakkan punggung. Tangannya meraba-raba dan sesekali memberi tekanan kecil di sekitar perut bawah. "Udah nggak begitu sakit sih, Dok. Tadi waktu pee sakit banget di bagian lower abdomen. Darahnya thick gitu, menggumpal kayak jelly, warnanya hitam pekat. Tapi siklus mens saya teratur kok, Dok." Inka melaporkan bersikap seolah dirinya pasien. "Aman nggak, Dok?"

"Besok kalau masih nyeri, bisa datang ke rumah sakit. Saya buatkan surat referral ke dokter OBGYN."

"Sama dokter yang ini nggak bisa?"

"Bukan scope saya." Adnan menggeser dengan jari satu strip ibuprofen 400mg. "Ini bisa kamu minum satu tablet kalau nyeri di perutnya dateng lagi. Bisa untuk kurangi kadar prostaglandin. Sebelumnya ada riwayat penyakit lambung? Atau lambung kamu kerasa mual dan ikut nyeri?"

Inka menggeleng. "Nggak ada, Dok. Ngomong-ngomong ini perlu bayar nggak? BPJS saya mati. Nanti saya reimburse ke suami dulu. Tapi suami saya galak, Dok. Mukanya asem. Kecut."

Namun Adnan acuhkan guyonan sang istri. Lelaki itu menarik satu strip obat antasida yang tak perlu. Lalu menggeser ke dekat strip ibuprofen tadi. "Ini paracetamol. Bisa diminum sama ibuprofen tadi atau di waktu terpisah. Tapi pastikan kamu sudah makan dulu. Perutnya dikompres juga pakai air hangat." Dan kemudian menyimpan strip buscopan bergabung dengan obat antasida yang tak lolos. "Yang ini nggak perlu. Cukup dua itu tadi aja yang kamu minum. Waktu tidur coba pakai posisi fetal."

"Aight."

Adnan memasukkan ibuprofen dan paracetamol kembali ke dalam paperbag. "Kalau dirasa nyerinya udah hilang, nggak perlu dilanjut obatnya. Diminum lagi obatnya kalau masih ada keluhan. Diberi jarak lima sampai enam jam setelah makan."

Inka tersenyum. "Dokter makasih ya. Liat muka Dokter aja aslinya aku udah sembuh, begitulah kata pasien gatel. Besok malem kosong, Dok? Makan yuk, tanya si pasien gatel berusaha membujuk."

"Saya rasa kepala kamu yang sakit." Adnan bertutur samar sembari berdiri dari sofa.

"Mas, Tunggu." Dengan cekatan Inka raih pergelangan tangan Adnan yang belum sempat menjauh. "Ngobrol yuk. Kali ini serius aku mau ngomongin sesuatu." Tatapnya meminta tulus. "A real talk, as two grown-ups," tambahnya.

Adnan mengorek kelakar di balik mata Inka, namun tak ditemukannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk kembali duduk. "Jangan lama."

Mendapat respons positif, Inka kembali tersenyum dan memperbaiki posisi duduknya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dari mulut. "Oke. I'll make it quick. So, aku... mau mengakui kalau tadi aku tersinggung sama omongan kamu." Ia mengakui dengan nada yang begitu tenang. "Berkali-kali kamu bilang ini rumah kamu—rumah saya—seolah-olah aku nggak punya tempat di sini. Termasuk soal kulkas dan barang lainnya. Aku ngerti, kok. Rumah ini milik kamu. Tapi..."

Inka berhenti sejenak, tatapannya sedikit melembut. "Aku ini udah jadi istri kamu, Mas. Sure, our marriage is just a contract, I get that. But like it or not, for better or worst, I'm part of your life now," terangnya tanpa lonjakan emosi.

Inka memiringkan kepalanya sedikit, mencoba memberi pengertian pada Adnan tanpa terkesan menuntut atau mengajari. "Di salah satu klausul Perjanjian Hubungan, tepatnya pasal lima ayat satu, cleary states, kamu ensuring tempat tinggal dan kesejahteraan mental dan fisik aku," katanya teramat pelan. "I haven't crossed any of your boundaries sejauh kita menikah belum dua hari ini. Sebaliknya, if there are unspoken rules I'm breaking, just tell me, bilang aja langsung. Kita diskusiin. Tapi jangan lempar kata-kata yang bikin aku merasa kayak cuma tamu numpang di rumah suami sendiri."

Jawaban Adnan hanyalah desauan napas.

Senyum kecil kembali muncul di tepi bibir Inka. "Be kind, Mas. Please be kind to each other. Aku respect batasan kamu, I won't cross any lines, nggak akan ganggu-ganggu, nggak akan acak-acak juga kerjaan Mas Adnan."

Ia berhenti sejenak, memandang Adnan dengan sorot mata tulus, nyaris memohon. "Tapi aku juga butuh dihormati. Nggak banyak kok yang aku minta. Aku cuma nggak mau merasa kayak orang luar di tempat yang sekarang harusnya jadi rumah aku."

Selesai sampai sana Inka menyampaikan ganjalan hatinya. "Udah sih itu aja." Setelah tidak ada lagi yang mau disampaikan, Inka mengangguk-angguk. Beradu tatap dengan kedalaman mata Adnan. "Thanks reassurance dan obatnya, Dok. Pasti istrinya minum sebelum tidur."

Giliran Inka yang beranjak dari sofa lebih dulu. Membawa serta obatnya pergi.

"Sasinka."

Inka lekas menoleh. Adnan masih diam di posisinya. "Saya kurang nyaman lihat baju kamu."

Tatapan Inka bergulir ke arah pakaiannya. Malam ini ia kenakan gaun satin hitam panjang. Potongan rendah di bagian dada menonjolkan tulang selangka. Pundaknya hanya dijaga oleh sepasang tali yang lebarnya bahkan tak sampai satu senti.

"Besok jangan keliaran pakai baju itu di rumah." Ada perubahan halus dari cara Adnan menyebut rumah. Sudah tidak ada imbuhan kepemilikan dari mulutnya.

"Kurang nyaman atau karena..." Inka berdeham keras, mengganti kata rumpangnya dengan seraut ekspresi menggoda. "Ya, ya, ya. I know." Ia tertawa geli, memperhatikan kejengkelan membalur ekspresi suaminya. "Cashing in on some husband-wife perks-nya tunggu sampai beres mens ya, Mas Suami. Sekarang tahan-tahan aja libidonya, soalnya istri binal dan pakai lingerie depan suami nggak masuk pasal."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top