18| Malam Pertama Pasutri
Part ini agak sedikit pendek dan sebelum2nya but still enjoy ya. Selalu klik bintang dan tinggalin komen
***
Belum ada tanda-tanda dirinya mengantuk.
Seharian bertumpu di atas heels dan tersenyum pada setiap tamu yang hadir, tak jua membuat Inka ingin tidur.
Pandangannya mengawang bebas pada langit kamar gelap. Sunyi membekam situasi keduanya sampai-sampai suara desau pendingin ruangan pun terdengar bising.
"Are you tired?" Itu adalah pertanyaan sama yang Inka ajukan ketiga kalinya di hari ini. "Kok aku nggak ngerasa capek, ya? Kayak kerja biasanya aja. Just came and went. No excitement."
Hening. Tidak ada sautan dari pria yang ia ajak bicara.
"Sekarang jam berapa?" Inka bertanya sendiri, lalu memutar tubuhnya menggapai ponsel yang tersimpan di atas nightstand. Menyalakan sebentar dalam gelap. "Oh, masih jam sebelas. Biasanya aku masih ngurus dokumen jam segini."
Akan tetapi yang diajaknya bicara setia bergeming. Enggan terlibat adu percakapan. Masih tidur telentang, entah sudah memejamkan mata atau sama sepertinya: menjelajahi langit-langit gelap kamar.
Inka menghela diikuti bunyi tawanya yang tipis. "Lucu kalau dipikir-pikir, yang katanya 'the best day of our lives,' but here we are, cuma sambut tamu seharian, senyum sana sini, staring into the void, aneh, ya?"
Adnan tidak tertidur, dan Inka tahu akan hal itu. Tarikan napas pria itu terdengar teratur, mendengar potongan demi potongan dari ucapannya.
"Aku dari tadi mikir ini," Inka mengubah posisi tidur menghadap Adnan, mengganjal sebelah kepala dengan satu tangan tertekuk. "What are we actually doing here—signed the contract, planned everything terus sekarang udah jadi suami istri—like... this isn't weird? Menurut aku iya. Aneh banget, Mas."
Dalam gelap kamar, bisa Inka lihat bulu mata panjang Adnan yang bergerak naik dan turun mengerjap. Siluet Adnan tampak menonjol. Hidung yang tegak dan garis rahang yang tegas membuat pria itu terlihat lebih menawan.
"Rating satu sampai sepuluh seberapa gloomy perasaan kamu setelah ijab kabul?"
Hening. Namun Inka bisa melihat bula mata Adna baru saja bergerak. Tanda pria itu memang belum tertidur.
"Beneran istrinya dicuekin nih, Dok?" Inka mencebik. Menekan lembut pipi Adnan yang dingin dengan ujung telunjuk. "Beneran dianggurin istrinya? Nggak mau gitu digigit sedikit? Nggak mau nagih jatah pertama? Aku siap nih buka baju kalau kamu masih ada tenaga." Ia keluarkan jurus rayunya. Playing her charm. Ia sebut begitu.
Come on, Inka, pulling out all the stops. Lo harus lebih menggigit lagi. Pria mateng kayak gini haram hukumnya dianggurin, mumpung udah jadi laki.
Jiwa nakal Inka menggelepar hebat. Semakin mencium aroma raksi suaminya, semakin ingin dia mendekat.
Apa gue langsung telanjang aja kali, ya? Bugil depan dia terus gue terjang? Pikiran intrusifnya menodong. Sedikit membayangkan bilamana sungguh nekat lompat dari ranjang dan melepas pakaian di depan Adnan.
Harga diri, beb. Nalarnya menolak. Jangan murah banget walau depan suami.
"Abis ini mau tinggal di mana?" Inka bertanya lagi. "Nanti kalau udah serumah kamarnya campur atau pisah? Masa pisah ranjang. Sayang banget nggak bisa—"
"Kamu bisa diem nggak?" Adnan seketika menoleh. Air mukanya sudah kusut. "Mulutmu itu kenapa berisik banget?"
"Sengaja," tukasnya ringkas. "Nggak mau diem. Maunya diperhatiin dokter. Aduh, Mas Dokter, pundak istrinya pegel. Betis istrinya juga sakit. Istrinya pengen dimanja."
Tuh kan jadi kebablasan. Padahal sekuat tenaga sudah ia tahan sisi binalnya.
"Manjain dong, Mas Dok." Inka beringsut mendekat, menopang sisi kepalanya di atas bantal dengan satu tangan. Membuat posisi wajahnya kini lebih tinggi dan wajah Adnan dan bisa leluasa menyimak ketampanan pria yang sebetulnya sejak tadi tidak memejamkan mata. "Seru ya, main suami-istrian gini. Menantang."
Dalam detik-detik kosong dan gulita, mata keduanya bertemu. Beberapa senti bergeser saja, wajah Inka sudah sejajar dengan pangkal hidung Adnan. Meski demikian, dari jarak ini, Adnan sudah bisa merasakan napas istrinya yang berembus pelan ke di atas kulit wajahnya. Ingin tahu apa yang bisa Inka lakukan selanjutnya. Lagipula, wanita ini patut bersyukur dia sedang tidak dalam kondisi prima.
"Penasaran." Inka berbisik. Nadanya mengandung bisikan nakal. "Sehebat apa ya ciuman pasutri di malam pertama."
Diam. Adnan biarkan lebih dulu wanita ini bertindak.
"Mau coba, Mas?" Betapa dekatnya bibir Inka. Mungkin satu jentikan saja, birai kedua bibir mereka sudah pasti bertemu. "Sekarang?" bisiknya. "Siapa tau suka."
Dan saat itu pula Inka merasakan jari Adnan merambat di sekitar panggulnya, menekan lembut agar jarak mereka terkikis. Hingga tanpa ancar-ancar lagi Adnan menarik Inka jatuh menabrak keras tubuhnya, lalu secara kilat membanting tubuh Inka menggelepar ke samping, mengembalikan Inka ke tempat semula. "Saya capek. Kamu paham, nggak? Berenti ngomong." Setelah ultimatum itu, Adnan melepaskan diri, menarik tangan keluar dari pinggang Inka, dan memutar balik badan untuk tidur memunggungi.
Namun upaya tadi pun tak lantas membuat Inka takut. Wanita itu malah tersenyum di belakang punggung Adnan. Berbisik dengan colekan tulang punggung pria itu. "Kamu ganteng waktu pakai beskap sama blangkon. Mirip Bapak," bisiknya di akhir kalimat.
Tidak ada sahutan. Baiklah, waktunya tidur, yang penting sudah Inka utarakan apa yang mengganggunya sejak pagi.
Adnan dengan beskap putih dan blangkon memang mengingatkannya pada penampilan Bapak di hari pernikahan. Sama-sama gagah dan tampan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top