13| Cincin Tanpa Diminta
Vote dan ramaikan seperti biasa yuk.
Terima kasih <3
***
Ada doa yang Inka panjatkan nyaris setiap malam selama satu tahun terakhir.
Semoga perputaran bumi semakin cepat.
September ke Oktober, Oktober ke November, dan usianya bertambah satu. Tak sabar ingin memasuki kepala tiga. Orang bilang usia 30 tak lagi memikirkan banyak hal, perkara jodoh, mental, finansial, maupun pikiran sudah stabil secara emosional.
Jonathan Rauch dalam bukunya, The Happiness Curve: Why Life Gets Better After 50, menyimpulkan kebahagiaan sering kali mengikuti pola kurva U, di mana usia 30-an hingga awal 40-an bisa menjadi masa yang paling menantang, tetapi seiring berjalannya waktu, orang mulai merasa lebih bahagia dan lebih damai dengan diri mereka sendiri.
Inka ingin cepat-cepat ada di titik itu lantaran belum bahagia sepenuhnya. Masih ditekan tuntutan yang tiada habisnya.
Pernikahan yang acap dijanjikannya pada Bapak pun ujungnya hanya jadi buah bibir saja.
Nanti menikah, jatuh cintanya berdua. Rumahnya luas, halamannya juga. Punya anak ceria, satu atau dua. Tuanya bersama, masih ada berdua.
Sambil mengiris daun bawang bibirnya mengulum senyum getir. Mengadai-andai seluruh doa dari ucapannya terdahulu di hadapan Bapak. Sekarang berandai pun ia tidak mau lagi atau lebih tepatnya sudah habis masa.
Pun, pernikahan seindah di negeri dongeng bisa jadi hanya khayalan belaka. Tidak benar-benar ada. Ditulis oleh orang-orang dewasa yang kemungkinan mengubur diri dalam rasa sepi dan meromatisasi kepedihan. Terbukti dari kisah-kisah para putri Disney yang aslinya mengerikan.
"Mbak Inka." Suara itu menggelegar, memasuki setiap sudut rumah hingga terdengar sampai ke lahan terbuka di belakang rumah yang biasa digunakan untuk memasak, tempatnya sekarang duduk melipat kaki di kursi tunggal, menyiangi bumbu dapur. "Mbak Inka."
Kendati namanya dipanggil berulang-ulang, Inka tetap diam. Ingin tahu bagaimana adiknya bisa menemukannya.
"Beneran udah pulang kan? Di rumah sekarang?" Kasak-kusuk percakapan Inga dan Mbah Wiryo, pelayan rumah berumur 70-an itu sedikit terdengar. "Mana? Nggak ada di kamarnya... tapi beneran ada di Jogja, kan? Aku mau ngomong penting... Ke pasar tadi?... Mbak Inka ke pasar? Sendiri?... Orang udah aku cari nggak ada di mana-mana, Mbah. Mobilnya juga mana?"
Percakapan tadi menghilang. Sekali lagi Inka mendengar namanya disebut sebelum kemudian wajah mungil adiknya muncul di antara dua kusen pintu. "Mbak, ih," katanya agak merajuk. "Aku cari-cari dari tadi."
Inka tertawa tidak melihat air muka sebal adiknya. Di tangan masih ada satu siung bawang merah. "Kenapa?"
"Mbak beneran mau nikah? Benaran apa bohongan?" Inka menghambur masuk, lekas duduk di kursi kosong lainnya terburu-buru. "Gara-gara aku bukan? Mbak jawab jujur dulu. Aku, ya? Iya, pasti gara-gara aku bilang mau nikah, ya?"
"Pede banget gara-gara kamu, Dek." Inka mengupas siung bawang merah baru. Bibirnya tak luput dari senyum.
"Kata Ibu Mbak mau menikah. Tapi aku suruh tanya sendiri. Terus Ibu bilang Mbak lagi di rumah. Aku sampe minta izin libur."
"Kenapa nggak tunggu Mbak balik ke Jakarta aja?"
"Aku kepalang deg-degan. Hp Mbak juga nggak aktif masa." Wajah Inga saat ini berantakan. Rambut panjang gadis itu yang biasanya lembut dan halus tampak lempek. Bagian atasnya tertutup bucket hat merah jambu. "Aku jadinya nggak pikir panjang pas Ibu bilang suruh pulang."
"Ah, alesan," singgung Inka. "Sengaja itu Ibu aslinya kangen kamu. Terus ke sini naik apa, Dek?"
"Pesen tiket jadinya," katanya dengan nada seakan menyesal. "Mana mahal banget. Udah gitu aku cuma bawa tas satu, nggak ada baju salin."
Inka kembali dibuat tertawa. Urusan mengupas bawang merah sudah beres, ia lanjut mengupas siung-siung bawang putih.
"Mbak, jawab aku dulu. Jawab jujur. Mbak mau nikah sama siapa?"
"Sama calon Mbak, lah."
"Mbak, serius atulah. Naha atuh ih." Inga mengentak-entak kakinya gelisah. "Pusing aku jadinya."
"Eh logatnya udah persis mojang Bandung ieu mah, bukan Adeknya Mbak lagi," ledek Inka berusaha memakai logat Sunda.
"Mbak. Serius dulu atuh ih. Gara-gara aku bukan? Soalnya pas kita ngobrol waktu itu nggak ada omongan Mbak yang singgung-singgung calon suami."
"Sedang malas menjawab pertanyaan."
Inga menekuk bibirnya ke bawah. "Gara-gara aku pasti, ya?" tanyanya sendu.
"Mbaknya males dicecar pertanyaan aneh-aneh."
Tak lagi menyahut, Inga memilih diam agak lama. Hanya melihat gerakan telaten Inka yang sekarang sedang menyelesaikan kupasan empat siung terakhir bawang putih.
"Peluk dulu Mbaknya."
Dengan patuh namun lesu, Inga bangun dari kursi. Datang sedikit membungkuk memeluk bahu Inka dari samping.
"Aw, that's sweet of you, Dek." Ia sandarkan pelan kepalanya pada pipi Inga.
"Mbak, I know life must be complicated and tough for you, just don't try to handle it all by yourself, okay?" Gadis itu mengurai pelukan dan menegakkan diri sebelum kembali ke kursinya. "Kadang aku sedih, jadi kayak adik nggak berguna."
"Stop saying that." Inka jelas marah. "Awas aja sebut useless sekali. Nggak usah juga ngomong gitu-gitu."
"Abisnya..."
"Nggak. Nggak ada. Memang jodohnya udah dapat. Cepet-lambat itu termasuk jalan Tuhan. Nggak ada kaitannya sama kamu."
Inga tercenung. Bibirnya merapat melihat Inka sedang mencuci bawang dan kembali ke tempat semula. Lalu mengiris bawang-bawang tadi dalam potongan tipis.
"Sini aku bantuin." Inga mengambil satu bawang merah.
Inka sontak menepak punggung tangan adiknya. Bawangnya jatuh lagi ke wadah.
"Kotor," cela Inka. "Bau bawang nanti tanganmu itu."
Dan Inga baru menyadari ini. "Mbak kok masak?! Dulu kan selalu nggak pernah mau pegang bawang merah. Ih ya ampun Mbak udah bisa masak?"
"Belajar buat calon suami," singkatnya.
Inga tersipu mendengarnya. Ia senang melihat Inka yang terlihat dikelilingi nuansa asmara.
Hening sempat menyita ruang di antara keduanya.
Mata Inga lurus pada irisan bawang. Sedang pikirannya melanglang buana. "Siapa, Mbak?" tanyanya. "Pengen tau laki-laki yang beruntung punya Mbak Inka di hidupnya?"
"Nanti kamu lihat fotonya sendiri."
Inga mengangguk. Terdiam sebentar. "Mbak?"
"Iya."
"Mbak dipaksa Ibu, ya?" tanya dengan suara sekecil helaan napas. "Ibu paksa Mbak, 'kan supaya aku nggak langkahin?"
"Ngaco kamu. Nggak lah."
"Terus, laki-laki yang waktu itu datang ke rumah siapa? Anak pejabat katanya. Ibu bilang jodohnya Mbak."
"Mana mau Mbak sama modelan gitu. Bukan—bukan dia."
"Iya ih Mbak, semoga bukan ya." Intonasinya naik satu tingkat. "Aku juga bukan mau ngomongin aib orang ya, Mbak. Tapi gimana ya, aku agak kurang seneng sama kesan pertama. Masa waktu itu tiba-tiba dia rangkul aku coba."
"Hah? Kok bisa?"
"Iya, waktu itu aku mau nangis banget tapi nggak bisa apa-apa. Badan aku udah gemeteran. Mau nangis," bebernya. "Dia kayak sok akrab gitu sama aku di sofa. Nanya soal Mbak. Aku risih banget pas itu."
"Iya?"
"Beneran Mbak. Aku takut banget digituin sama cowok. Terus untungnya nggak lama cowok aku masuk ke rumah 'kan abis beresin mobil. Baru abis itu aku ada kesempatan lari ke cowok aku."
"Apa, apa, gimana tadi?"
"Ada bos aku itu yang aku ceritain naksir aku, kita emang lagi liburan ke Jogja sekalian dia kenalan sama Ibu. Lanjut tadi, dia masuk tuh—"
"Bukan, bukan. Tadi Adek nyebut apa?"
"Yang mana?" Muncul kerutan samar di dahi Inga.
"Nyebut apa tadi? Cowok aku? Udah punya cowok sekarang nih ceritanya." Inka mengulurkan tangannya yang tidak memegang pisau, mencolek hidung mancung adiknya dengan kelingking yang tidak bau bawang. "Sekarang udah ada yang jagain Adeknya Mbak, ya? Iya, gitu? Nggak bakal ngerek-rengek lagi sama Mbaknya soalnya udah punya cowok."
Rona kemerahan di pipi Inga dengan cepat menyebar keseluruh kulit wajah hingga telinga yang seputih milik Ibu. Malu karena ini pertama kalinya Inga punya laki-laki penting selain Bapak.
Sejak dulu tidak mau punya pacar, sebab takut disakiti laki-laki katanya. Alasan lainnya, karena cinta Bapak kepada tiga putrinya terlanjur tumbuh subur, lembut dan penuh perhatian.
"Intinya you're never truly alone, Mbak. I'm here. Siap belain Mbak kalo Ibu udah ngamuk-ngamuk ke Mbak," ujarnya penuh semangat. "Pacar aku juga aku suruh buat belain Mbak depan Ibu."
Bunyi gelak Inka memenuhi dapur. "Hush, ngaco. Yang ada dia gugur duluan sebelum lamaran."
"Abisnya kadang aku juga kesel sama Ibu. Marah-marah terus. Udah gitu kenapa Ibu selalu gitu sih sama Mbak. Dari dulu Mbak suka diketusin Ibu. Setiap Mbak diketusin atau dicuekin aku aslinya sedih tau Mbak," gerutunya menopang dagu. Melihat lihainya tangan Inka memotong, kali ini cabai merah keriting.
"Aku pernah diem-diem nangis di kamar. Marah sama Ibu padahal bukan aku yang digituin."
"Oh ya? Pernah nangis Adek gara-gara Mbak dimarahin?"
"Pernah. Bapak yang tau. Aku cerita panjang ke Bapak. Terus Mbak inget nggak, waktu Mbak Isla nanya ke Ibu soal beasiswa ke Eropa gitu. Aku ngerasa sikap Ibu juga agak nyebelin pas Mbak Inka yang tanya. Padahal aku inget waktu itu Mbak tanya baik-baik soal kuliah ke Belanda atau Jerman. Ibu jawabnya malah ketus."
Tawa Inka membuncah. Ia ingat hari itu. Sewaktu menghampiri Ibu yang sedang duduk mengendus berbagai jenis cengkeh dan dauh teh kering.
***
Hari itu Inka baru saja pulang, pukul lima sore lebih lima menit. Seragam putih SMA bagian perutnya kotor terkena tumpahan kuah rawon.
"Bu," Inka menarik kursi, duduk persis di seberang meja, persis di kursi seberang meja. "Mau tanya dong."
"Kenapa itu bajumu?"
"Biasa. Bercanda sama temen, terus tumpah."
"Hidupmu kok kebanyakan bercanda, Sasinka. Cuci sendiri nanti."
"Nggih, Kanjeng Ratu," katanya mengalah. "Bu, Aku mau tanya, Ibu kan pernah ya kerja di kedubes Belanda." Jarinya iseng mengambil satu batang cengkeh kering dan ikut menciumnya seperti cara ibu melakukan itu. "Ibu tau nggak sih cara kuliah ke sana? Soalnya aku minim info banget. Mau cari beasiswa."
"Perlu usaha. Jangan apa-apa maunya disuapin kamu itu."
"Yakan siapa tau Ibu tau."
"Ndak usah jauh-jauh pun bisa. Ada UII. UIN juga mungkin bisa."
"UGM?"
"Alah wong kamu kelayapan terus. Pulang sekolah kumpul sama teman laki-laki. Belajarnya mboh ra tau kapan."
"Nilaiku selalu di atas KKN tuh. Jauh malah. Ibu aja yang nggak mau cek rapor aku."
"Lha wong sekarang pakean kamu saja begitu, Inka. Lihat itu." Ibu menunjuk bekas noda di pakaian Inka. "Mau jadi perempuan apa kamu itu? Rok ketat, semua dipendeki, baju seragam digulung-gulung, diikat-ikat, sepatu dekil, tas seperti mau pergi wisata." Tumpah emosi Ibu lewat tutur kata, enggan juga menatap orang yang ia ajak bicara.
Matanya hanya meneliti cengkeh satu persatu dan memisahkannya dari kualitas cengkeh yang menurutnya tak sedap diseduh.
Lalu ia melanjutkan, "Gelangmu juga itu mentereng ngalah-ngalahi prestasimu."
Gelang yang dimaksud Ibu adalah gelang-gelang prusik warna-warni. Gelang yang menyimbolkan maskulinitas, berani, dan punya citra keren pada masanya. "Seperti bukan anak mentri saja. Tidak punya adab."
Berdebat dengan Ibu tidak akan menghasilkan apa-apa. Inka tahu itu. Ditariknya napas pelan. Dijatuhi pandangannya pada jejak kuah kecap di seragam sebelum kemudian kembali menatap Ibu yang berwajah sangat cantik, mirip dengannya.
"Iyadeh. Maafin Inka selalu buat Ibu malu," katanya. "Terus jadinya gimana, Bu? Punya 'kan info beasiswa ke sana? Belanda, misalnya? Aku cocok ya kayaknya tinggal di Belanda atau Jerman? Aduh keren banget deh pasti, Sasinka Arumindari jadi cewek necis di Eropa."
"Tanya Bapakmu saja," ketus Ibu yang sepertinya sudah tak berselera menanggapi. "Soal beasiswa lebih paham Bapakmu daripada Ibu. Susah juga lihat kamu yang masih seperti ini. Pakai orang dalam Bapakmu saja."
Begitulah mimpinya untuk terbang ke Eropa terputus.
Hari itu Inka bukan hanya menolak melanjutkan pendidikan di Eropa. Melainkan juga ia jadi membenci dua kata baru: Orang Dalam. Titipan anak Bapak.
Sejak saat itu, selalu, selamanya, siapa pun yang gunakan istilah Orang Dalam di depannya sudah orang yang paling ingin Inka habisi.
***
Esok pagi Inka sudah mesti kembali. Kunjungannya ke Jogja hanya mau bicara pada Ibu soal rencana pernikahan.
Setelah dengar kabar bahwa putri tengahnya akan menikah, Ibu mendadak menjadi sangat sibuk. Ia memboyong Eyang ke toko kain langganan, mencari bahan terbaik, paling mahal, paling mewah untuk dijahit nanti.
Ibu berceloteh total belanjanya hampir habis sepuluh juta, cuma untuk kain mentah. Ibu minta Adnan mengganti biayanya, karena Inka bersikeras hanya akan menutup lima juta rupiah dari uang Ibu. Selebihnya, ia berjanji akan menggantinya setelah persiapan pernikahannya dengan Adnan sudah lebih matang.
Malam ini ia duduk di tepi ranjang dengan jendela kamar dibiarkan terbuka. Udara luar jadi pengering alami rambutnya yang masih basah.
Tidak tahu mengapa muncul satu keinginan. Dikirimnya foto ayam bakar kecap buatannya tadi pada Adnan.
[Cooked something today]
Dua menit berlalu, muncul balasan Adnan. [Alamat kamu di mana? Ada yang mau saya bahas]
[Gak boleh malem-malem, Dok. Takut kelepasan lagi]
[Saya minta alamat kamu]
[Alamat di mana ya?]
[Alamat kamu sekarang, Sasinka.]
[Jl. Suryodiningratan no. 29.
Kelurahan Patehan. Kec Kraton.
Yogyakarta]
Agak lama Adnan tidak membalas pesannya.
[Alamat kamu di Jakarta, Sasinka]
[Tadi Mas Adnan bilang sekarang.
Sekarang saya di Jogja.
Omong-omong saya udah
boleh pakai aku, kan?]
[Aku lagi di Jogja, Mas]
[Kasih alamat di Jakarta]
Inka mengetikan cepat alamat sekaligus nomor unit apartemen.
[Saya kirim barangnya ke sana]
[Mas Adnan mau kirim apa
ke calon istrinya hayo?]
[Wedding ring kamu]
[Whether like it or not, that's all I've got.]
Inka menghela. Tidak lagi membalas. Cukup kecewa karena bahkan cincinnya pun seeprti dipaksa punya.
Pandangannya berpaling pada foto berbingkai perak di meja. Di mana Bapak tengah memeluk dari belakang Sasinka usia sepuluh tahun. "Liat nih, Pak. Anaknya lagi main-main sama pernikahan."
"Kasihan," katanya lagi. "Miris."
Maaf.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top